Pada akhirnya, Aiden memutuskan untuk berbaring di UKS. Dengan segelas teh di atas nakas, yang mungkin tidak akan diminumnya, kedua tatapan Aiden tampak kosong. Menatap langit-langit yang mulai menguning.
Ulangannya hari ini pasti gagal total. Aiden tidak akan dapat menunjukkan nilai sempurnanya ke hadapan Ana.
Setelah sadar bahwa darahnya tidak akan berhenti dengan cepat, Aiden langsung berlari ke toilet sekolah. Tanpa izin sama sekali. Tentu, hal tersebut mengundang kecurigaan dari Bu Erna, namun ia tidak peduli. Nantinya, Aiden akan meminta maaf. Berharap masih dapat mengikuti ulangan susulan agar nilainya tidak kosong.
Setelahnya, bukannya kembali ke kelas, Aiden memutuskan untuk ke unit kesehatan sekolah. Kepalanya pening. Badannya juga terasa lemas. Anemianya mungkin kembali lagi.
Entah apa yang ada di pikiran teman-teman sekelasnya, Aiden tidak tahu. Dua minggu tidak masuk sekolah, sekalinya masuk justru menimbulkan masalah. Mungkin benar, seharusnya Aiden tidak perlu pergi hari ini.
Seharusnya, Aiden tetap beristirahat di rumah.
Atau mungkin ... dirinya akan putus sekolah dan fokus pada pengobatannya.
Aiden tidak dapat berpikir sama sekali. Sudah memaksa untuk tidur pun tidak bisa. Pada akhirnya, Aiden hanya merenungi nasib buruknya, padahal dirinya masih berusia enam belas tahun. Tadi pagi sudah sangat semangat untuk mengerjakan ulangan, pula.
"Den ... Den, nyusahin banget hidup lo." Aiden bergumam pelan. Lengannya menutupi kedua mata yang tampak sayu. "Padahal, rencananya dapat nilai bagus biar bisa pamer di depan bunda. Eh, baru satu soal udah tumbang. Gimana, sih?"
Jujur, Aiden kesal pada dirinya sendiri.
"Dasar nggak berguna. Pantas Bunda nggak mau nerima lo sama sekali, Den. Lo aja nggak pantas hidup." Bisikan lirihnya terdengar. Kalau ada urutan orang yang paling Aiden benci, dirinya akan berada di nomor satu.
Menjadi orang lain ... rasanya tidak terlalu buruk juga.
Suara bel yang berbunyi dua kali lantas membuat Aiden mengembuskan napasnya berat. Sudah waktunya istirahat, namun ia belum juga kembali. Jadi, Aiden segera mendudukkan tubuh, menahan serangan pusing yang dirasakan secara tiba-tiba. Kepalanya sedikit menunduk, menatap noda darah yang mengotori seragam putihnya.
"Aiden, kamu udah baikan?" Bu Hilda, selaku petugas UKS, bertanya. "Kalau masih mau istirahat, nggak apa-apa, kok."
Aiden menggeleng pelan. Ia menurunkan kedua kakinya dari brankar. Inginnya segera ke kelas, kalau bisa langsung bertemu dengan Bu Erna. Aiden ingin meminta ujian ulang agar setidaknya nilai tidak kosong. Dan dengan begitu, Aiden bisa pamer ke bundanya.
Walau mungkin Ana tidak peduli, namun Aiden ingin menunjukkan bahwa ada hal yang dapat dibanggakan dari dirinya.
"Kamu serius? Muka kamu pucat banget. Ibu teleponin—"
Gelengan Aiden memotong ucapan Bu Hilda. "Nggak usah, Bu. Saya nggak apa-apa, kok," jawab Aiden. "Habis tidur tadi, rasanya badan saya lebih enak."
Bohong.
Bu Hilda tidak percaya, namun tidak dapat juga memaksa. Pada akhirnya, ia membiarkan Aiden berjalan melewatinya, setelah izin untuk kembali ke kelas. Nyatanya, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Langkah Aiden yang terasa berat menyusuri lorong menuju kelas. Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Terfokus pada noda merah di seragam yang terlihat jelas. Namun, Aiden tidak peduli sama sekali. Malah merasa risi, hingga ketika kedua netranya bersitatap dengan orang lain, Aiden langsung melayangkan tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?