Aiden tidak pernah menyangka meja makan akan kembali terisi, meski tanpa kehadiran sang ayah.
Di hadapan Aiden, Ana duduk, menikmati makanan yang tersaji di atas meja. Sengaja Aiden memasak meski tangan kanannya tidak mampu sama sekali. Setidaknya, untuk merayakan satu hari lagi dirinya masih bernapas, meski dengan nilai ulangan harian yang makin menurun.
Sementara itu, Rafka duduk di sebelah Aiden. Termenung sejenak menatap hasil masakan Aiden, sebelum akhirnya menyantapnya. Meski sejujurnya, pikiran Rafka penuh pada tugas kuliahnya yang belum selesai. Setkdaknya, ia masih dapat menikmati makanan tersebut.
"Enak nggak? Enak, 'kan? Enak, 'kan, ya?" Aiden berseru semangat. Walau wajahnya terlihat pucat, namun senyumnya tampak berseri. Binar tampak di manik cokelatnya. "Setelah sekian lama masak buat diri sendiri, akhirnya ada orang lain yang makan masakan aku."
"Ya ... lumayan," jawab Rafka pada akhirnya. Ia meraih gelas dan meneguk airnya. "Gue harus akui, selain permainan piano lo, masakan lo juga enak. Besok kita buka kedai, oke?"
Aiden terkikik geli. Hatinya menghangat ketika melihat senyum tipis di bibir Ana. Ia tidak pernah mengharap lebih, namun takdir memberi sesuatu yang jauh lebih indah dari ekspektasinya.
"Oh, ya." Aiden berhenti makan. Mengusap bibir dengan punggung tangannya. "Kak Rafka hari ini nginep, 'kan? Gue siapin kasur, ya. Jarang-jarang lo main."
"Iya," jawab Rafka singkat. "Tapi, gue nggak bersedia buat begadang, ya. Besok gue masuk pagi."
"Nggak apa-apa!" seru Aiden semangat. Bertahun-tahun kesepian di kamar, pada akhirnya ada seseorang yang menemani Aiden. Dan setelah sekian lama, orang itu adalah Rafka.
Kakaknya.
Keluarganya.
Dari sekian banyak hal yang terjadi, Aiden merasa umur enam belas adalah umur keberuntungannya. Setelah sekian lama, Aiden tahu bahwa dirinya masih berhak merasakan kebahagiaan. Bahkan, dengan segala kekurangan yang ia miliki.
Bersama dengan itu, Aiden menarik napas panjang. Mengulas senyum yang tampak teduh. Seolah tidak ada beban yang menimpa dada, Aiden kini dapat bernapas dengan leganya. Setiap masalah yang ia hadapi terasa begitu ringan.
Hingga kemudian, Aiden berpikir.
Jika malam ini adalah malam terakhirnya ....
Aiden sudah siap untuk pergi.
•••
Duduk di meja belajar, Aiden harus menyelesaikan latihannya hari ini. Meski kedua kelopak mata sudah memberat, dan Rafka memaksanya untuk segera beristirahat. Tetapi, bukan Aiden kalau tidak keras kepala. Setelah berkata bahwa soal tersebut adalah soal terakhir, Aiden tidak juga berhenti.
"Kalau lo menang, tapi lo mati, apa gunanya, Den?" Rafka lagi-lagi berujar. "Ingat, kesehatan lo itu penting. Guru lo punya ratusan siswa yang bisa gantiin lo kalau lo kenapa-napa. Tapi, diri lo cuma satu. Kalau lo hilang, dunia ini nggak punya gantinya."
Aiden tertawa pelan. Ucapan Rafka terdengar begitu menggelikan di telinganya. Baru Aiden sadari, kakaknya itu kadang bersikap begitu berlebihan. Apalagi, ketika tahu bahwa akhir-akhir ini kondisi Aiden menurun. Ditambah dengan adanya risiko penyebaran sel kanker ke daerah lain.
"Iya, Kak. Satu soal lagi," balas Aiden. Ia mengambil penghapus, sebelum menghapus hitungannya yang salah barusan.
"Lo udah ngomong gitu sepuluh kali, Den." Rafka berdecak beberapa kali. "Besok, lo juga sekolah, 'kan? Lo nggak boleh begadang. Katanya, kalau begadang itu bisa bikin anemia. Soalnya, proses pembentukan sel darah merah yang harusnya terjadi pas lo tidur, justru terhambat."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?