Maaf terucap, namun canggung tetap menetap.
Aiden baru dipindahkan ke ruang rawat di pukul tiga pagi. Selama itu juga, ia harus menahan diri untuk tidak terus tersenyum. Tangannya yang dibebat lama-lama semakin tidak nyaman, tetapi tidak ada hal yang dapat Aiden lakukan. Antinyeri sudah masuk, hanya saja rasa sakit tetap Aiden rasakan.
Setidaknya, sakitnya berkurang karena ada Ana di sebelahnya.
Keduanya hanya diam. Aiden tidak dapat tidur sama sekali dan Ana fokus dengan pekerjaannya. Padahal, Aiden sempat mengira bahwa Ana akan mengajaknya mengobrol.
Paling tidak, setelah kata maaf—yang Aiden tidak tahu tulus atau tidak—terucap.
Tangan Aiden terangkat, membiarkan darah kemudian mengalir dari area abocath menaiki selang. Agak sedikit menyesal karena setelah itu tetesannya berhenti. Aiden menepuk Ana yang duduk di kursi kecil.
"Bun, Bun, lihat, deh." Aiden berseru. Ia menunjuk selang infusnya. "Darahnya naik!"
Ana diam sejenak, meraih kabel interkom dan menekan tombol di atasnya. Menghela napas panjang sebelum kedua netranya beralih pada Aiden. Berusaha menyunggingkan senyum, namun bibirnya seolah kaku.
"Kenapa kamu nggak tidur?"
Pertanyaan itu membuat Aiden terkekeh. Bukan karena lucu, tapi juatru karena pertanyaan tersebut tidak pernah terbersit di pikiran Aiden sama sekali. Kini, Aiden justru berharap apa yang ia dengar bukan hanya sekadar khayalan.
"Kenapa?" Ana mengerjap heran. Kembali bertanya dengan pertanyaan yang berbeda.
"Enam belas tahun dan ini pertama kalinya aku dengar Bunda nanya gitu," jawab Aiden. Suara Aiden terdengar riang meski tubuhnya begitu lemah. "Ini mimpi bukan, Bun?"
Aiden mencubit pipinya sendiri, meski rasa sakit sebenarnya terasa di sekujur tubuh. Tidak pernah Aiden sangka bahwa Ana akan peduli pada dirinya. Meski masih terasa begitu canggung, tetapi Aiden tidak masalah. Semua pasti akan berubah seiring berjalannya waktu.
Ana tidak lantas menjawab. Tangannya perlahan mengusap lengan Aiden yang bebas, kemudian ia bangkit dan memilih duduk di sofa tepat ketika ketukan di pintu. Daun pintu setelahnya mengayun terbuka.
"Permisi. Ada yang bisa dibantu?"
"Ini, Kak. Infus aku—"
"Infus anak saya macet. Boleh tolong diperbaiki?"
Aiden mengerjap beberapa kali dengan kedua kelopak mata yang agak melebar. Wajahnya yang pucat kini tampak memerah. Senyumnya kemudian terbit, bahkan ketika punggung tangannya terasa sedikit ngilu.
Kedua telinganya masih berfungsi dengan baik, 'kan?
Kalau memang apa yang dialaminya hanya sekadar mimpi ... apa maksudnya?
Apa ini berarti Aiden belum boleh menyerah sama sekali?
Apa impiannya akan segera terwujud?
Jika memang itu benar adanya, Aiden bersyukur ia diberi kesempatan satu kali lagi.
•••
"Loh, Anda tidak masuk sekolah hari ini? Drop lagi?"
Aiden menggeleng pelan, meski tahu bahwa Devin tidak akan dapat melihatnya. "Nggak, gue kecelakaan kemarin," jawab Aiden. "Tangan gue patah. Harus ... apa namanya? ORIF? Semacam itu, deh."
Suara decakan terdengar beberapa kali. Sepertinya, Devin sudah cukup puas mendengar kabar Aiden kembali masuk rumah sakit. Beruntung, kali ini bukan karena penyakitnya—yang kalau dilihat dari hasil pemeriksaan tampak semakin buruk, namun beruntung belum menyebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?