Katanya, obat kemoterapi yang masuk ke dalam pembuluh darah hanya seperti cairan infus pada umumnya. Hanya saja, ketika melihat perawat yang bertugas mengenakan sarung tangan yang dirangkap dua, ditambah dengan masker, Aiden jadi skeptis sendiri. Sedikit menyesal karena sudah menyetujui pengobatan, namun ia tidak bisa berbuat apapun.
Rafka ikut memperhatikan di sebelah. Menatap tetesan cairan di bagian chamber, dan merasa terkesan. Ia tidak tahu bagaimana cara kerja alat yang sederhana tersebut, selain dengan penggunaan prinsip gravitasi.
Lalu, ketika perawat yang bertugas izin kembali ke nurse station setelah memberitahu efek samping yang mungkin terjadi, Aiden menoleh ke arah Rafka. Kakaknya itu masih sibuk memperhatikan tetesan infus yang mengalir dengan lancar.
"Gue kepikiran buat kerja di rumah sakit," cetus Rafka tiba-tiba. "Apa gue ngulang kuliah lagi, ya? Terus, masuk jurusan kesehatan. Enaknya apa?"
"Nanggung banget. Buang-buang waktu." Aiden berkomentar. Agak tidak habis pikir dengan pikiran Rafka. Masalahnya, ia akan selesai kuliah dalam waktu dekat, jika memang tepat waktu. Masa, ingin mengulang dari awal?
"Lo aja, deh, yang kerja di rumah sakit. Gimana?" Rafka membalas. Ia melipat kedua lengan di atas meja. Persis anak SD yang diperintahkan untuk duduk rapi saat waktunya pulang sekolah. Ditambah dengan senyum lebarnya, yang membuat wajah Rafkanterlihat lebih muda. Meski dengan kantung mata yang lebih tebal dari sebelumnya. Ditatapnya Aiden lekat-lekat, hampir tidak berkedip.
"Nggak mau. Gue trauma masuk rumah sakit," jawab Aiden. "Kalau bisa, sih, nggak mau balik ke sini lagi. Kalau bisa, ya."
"Hm, terus, nanti lo mau kuliah apa?" Kembali, Rafka bertanya. "Lo tinggal bilang mau kuliah apa, gue bakal usahain buat cari biayanya. 'Kan, gue udah janji buat ngajak lo keluar dari rumah."
Aiden diam sejenak. Menatap infus yang ada di punggung tangan. Berpikir, mengira-ngira apa cita-cita yang sejak dulu ia inginkan.
Mengingat apa kata Zello kapan hari itu, Aiden jadi berpikir untuk kembali memiliki cita-cita. Ditambah, sebuket bunga yang Ana berikan, membantu Aiden untuk tetap memiliki harapan. Rasanya berat, namun ia juga ingin memiliki akhir bahagia di hidupnya.
"Gue dari dulu suka lihat bintang," kata Aiden. Ia menoleh, menatap jendela yang gordennya terbuka. Langit sudah gelap. Tidak ada bintang di sana, hanya ada lampu dari gedung-gedung yang berdiri kokoh di sekitar rumah sakit. "Gue suka baca buku astronomi punya lo. Buku yang dibeliin sama bunda pas lo masih kecil itu. Ingat, nggak?"
Rafka menggeleng pelan.
"Buku itu sekarang ada di rak buku gue. Sering banget gue baca ulang, dan bikin gue makin tertarik buat masuk ke bidang itu," lanjut Aiden. "Gue kepikiran mau jadi astronom. Entah nanti kerjanya apa, tapi gue pengin ngelakuin hal yang gue senangi buat masa depan gue."
Rafka tersenyum lembut. Ia senang karena Aiden kembali berani untuk memikirkan masa depannya. Meski masih abu-abu, namun hal itu cukup membuat binar di kedua manik mata Aiden kembali bersinar.
"Kak, bantu gue, ya." Tangan Aiden yang bebas kemudian meraih tangan Rafka dan menggenggamnya erat. "Gue mungkin bakal nyusahin lo, tapi gue harap, lo mau tetap bantu gue buat tetap hidup, ya."
Rafka dengan cepat mengangguk. Mendengar adiknya bisa kembali optimis adalah salah satu hal yang mampu membuat Rafka tersenyum. Ia akan berusaha dengan keras demi sang adik.
Setidaknya, demi mempertahankan agar Aiden tetap berada di sisinya.
•••
Sepi.
Seperti tidak ada kehidupan sama sekali, berhari-hari Ana harus duduk sendiri di ruang makan. Sama seperti yang lalu, namun kali ini seperti ada yang mengusik. Membuat wanita yang usianya hampir menyentuh kepala lima itu menghela napas panjang.
Bahan masakan yang awalnya memenuhi kulkas sudah mulai berkurang. Ana bahkan tidak pernah mengisinya, namun biasanya ada Aiden. Tidak akan dibiarkan benda tersebut dalam keadaan kosong. Bahkan, tanpa Ana sadari awalnya, beberapa foto milik putranya tersebut tertempel di sana. Memberikan tanda kepemilikan.
Berusaha mengabaikan rasa kesepian yang tiba-tiba menusuk perasaan, Ana meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Mencari kontak Rafka, sebelum akhirnya memilih opsi panggil. Ia mendekatkan ponsel ke telinga, menunggu panggilan dijawab.
"Halo?" Suara Rafka terdengar dari seberang sana. Terkesan malas dan ogah-ogahan. "Aku lagi nggak mau ngobrol sama Bunda. Ada apa?"
Ana mengetukkan jarinya di atas meja. Berusaha menyunggingkan senyum, meski rasanya begitu sulit. Ia paham Rafka membencinya. Dan memang seharusnya begitu. Setelah apa yang ia perbuat, rasanya tidak pantas Ana mendapat penerimaan dari sang putra.
"Gimana kabar kamu sekarang?"
"Dih. Bunda nggak kreatif. Nanya kabar terus." Rafka berucap. "Aku baik. Aiden juga baik, kalau Bunda masih peduli. Dia lagi kemo, tapi sekarang tidur, sih."
"Begitu." Ana diam sejenak. Matanya menatap ke arah kulkas. Kemudian terfokus pada salah satu foto Aiden di sana. Masih mungil dan tampak begitu rapuh, namun Ana sudah membencinya. Membiarkannya begitu saja di tangan kakek dan nenek. Sementara dirinya terfokus pada Rafka, serta rahasianya.
"Bunda kalau mau ke sini besok aja, ya. Sekarang, jam jenguk udah selesai." Rafka kembali bersuara. "Oh, itu juga kalau Bunda masih punya kepedulian. Kalau nggak, sih, ya udah. Nggak apa-apa. Nggak ada yang berharap Bunda di sini. Apalagi aku."
Ana menggigit bibir bawahnya sejenak. "Soal bunga yang Bunda kasih kemarin ... apa katanya?"
"Bunda mau aku jawab jujur atau bohong?" Bukannya menjawab, Rafka kembali memberikan pertanyaan.
"Jawaban jujur?"
"Aku kasih jawaban bohong aja. Aiden nggak peduli sama bunga itu. Langsung dia buang ke tempat sampah."
Ana tertawa pelan. "Bunda minta jawaban jujur, bukan jawaban bohong."
"Bunda bisa pikir sendiri kebalikannya." Rafka diam sejenak. Tak lama, sebuah foto masuk ke ruang obrolan Ana dengan Rafka. "Lihat. Bunga sederhana itu jadi salah satu penyemangat buat Aiden sekarang."
Ana tidak bisa berkata-kata sama sekali. Merasakan rasa bersalah yang terkumpul selama tujuh belas tahun ke belakang. Namun, hanya sesaat. Karena kemudian, kepalanya menggeleng perlahan.
Apa gunanya rasa bersalah sekarang?
"Bun, aku tutup dulu, ya. Tolong jangan hubungi aku, kecuali kalau mau info abis transfer uang."
Tanpa sempat Ana menjawab, panggilan diputuskan begitu saja. Meninggalkan Ana dalam kesunyian yang kembali merayap. Suara detik jam terdengar kemudian, membuat Ana menyadari satu hal.
Apa semuanya dapat berubah lebih baik?
•to be continued•
A/n
Gak nyangka
Bentar lagi
Akan ada akhir
Gak tau bahagia atau enggak ahahahaha
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?