Aiden kira, akan ada perubahan yang signifikan di hidupnya.
Meski Ana mulai peduli, nyatanya pekerjaan jauh lebih menyita. Rafka yang tidak setiap saat bisa datang pun kadang membuat Aiden kesepian ketika berada di rumah. Hanya sesekali, pada akhirnya ada seseorang yang menemani ketika berkunjung ke rumah sakit.
Hari berlalu tanpa Aiden sadari, meski aktivitasnya terasa membosankan.
Tubuh yang terasa semakin tidak bertenaga, waktu yang terasa semakin sedikit. Berhari-hari Aiden hanya melakukan hal yang sama. Tambahan, waktunya untuk belajar materi olimpiade semakin panjang.
Tidak dapat Aiden sangka, waktu olimpiade akan terjadi besok.
Sialnya, malam ini suhu tubuhnya kembali meningkat. Nafsu makan yang kemudian semakin menurun, hingga tidak ada asupan yang masuk. Aiden seharusnya beristirahat, namun ia tetap memaksakan duduk di meja belajar. Menatap kertas soal yang belum ia kerjakan. Kepala yang terasa pening membuatnya mengernyit.
"Kalau gue mati, dunia ini nggak akan punya seseorang yang kayak gue lagi ... ya?"
Aiden mengusap wajah. Menarik napas panjang. Ucapan Rafka terdengar begitu lucu ketika diingat-ingat. Padahal, bukannya itu hal yang bagus? Toh, Aiden memang tidak seharusnya lahir sejak awal.
"Nggak apa-apa. Harusnya, emang nggak ada orang yang punya kisah sama kayak gue." Terkekeh pelan, Aiden menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Ia mendongak, menatap langit-langit kamar.
Aiden melirik secangkir kopi yang tergeletak di atas meja. Entah sejak kapan kebiasaannya meminum minuman tersebut muncul. Padahal, seteguk saja cukup membuat detak jantungnya menggila.
Seperti efek samping tersebut, pikiran Aiden juga sepertinya sudah mulai berantakan.
Pintu yang kemudian diketuk membuat Aiden menoleh. Tak lama, daun pintu mengayun terbuka. Sosok Ana lalu muncul dari baliknya. Masih tanpa senyum, namun dengan sinar hangat yang menari di kedua bola mata legamnya.
"Bunda." Aiden yang pertama kali berbicara. Ia tersenyum lebar dan bangkit dari kursi. Mempersilakan Ana untuk masuk ke kamar. "Ada apa? Bunda belum tidur?"
Ana menggeleng pelan. Tanpa ekspresi sama sekali. Pertanyaan Aiden tentu tidak memerlukan jawaban, jadi Ana beralih pada soal-soal yang berada di atas meja belajar.
Menyadari arah mata Ana, Aiden lantas berdeham. "Besok harinya olimpiade. Jadi, aku coba buat latihan lagi," ucap Aiden meski Ana belum bertanya.
"Hari ini." Ana meralat. "Sekarang sudah jam satu malam."
Mengerjap sejenak, Aiden menoleh ka rah jam dinding. Jarum pendek sudah mengarah ke angka satu, bahkan sudah melewatinya. Entah sudah berapa lama ia termenung, sampai tidak sadar bahwa hari sudah berganti satu jam yang lalu.
"Hah ...." Aiden diam untuk sejenak. "Oh, iya. Nggak sadar saking serunya belajar."
Ana diam sejenak, sebelum kembali berkata, "Kamu harus istirahat. Hasil pemeriksaan terakhir kamu ... bisa dibilang buruk, 'kan? Katanya ... ada penyebaran?"
Aiden mengangguk pelan, meski terasa begitu berat untuk mengiyakan.
"Setelah ini, Bun." Aiden menjawab singkat. Ia duduk di atas kasur, sementara kedua manik mata Ana mengikuti pergerakan sang putra, meski tubuhnya tetap terpaku di tempat. Mengingat bagaimana penjelasan dokter mengenai prognosis penyakitnya yang buruk, lantas membuat Aiden makin takut.
Ia takut, hidupnya berakhir sebelum membuat Ana bangga padanya.
"Bun, semisal. Semisal banget, nih, aku nggak menang. Gimana?" lanjut Aiden bertanya.
"Ya, nggak apa-apa," balas Ana.
"Bunda ... bakal tetap anggap aku anak, 'kan?"
Ana tidak menjawab pertanyaan Aiden yang satu itu. Lantas membuat rasa kecewa menyelinap masuk begitu saja. Berusaha tersenyum, Aiden menunduk, menutupi rautnya yang bahkan terbaca jelas oleh mata Ana.
"Nggak apa-apa, nggak usah dijawab," ujar Aiden pada akhirnya. Mungkin, salahnya juga yang menganggap Ana akan dengan mudah mengatakan bahwa ia adalah anak yang diharapkan. Ucapan Ana di rumah sakit entah kapan itu, mungkin karena sebuah keterpaksaan. Mau tidak mau, Ana harus menyebut Aiden sebagai anaknya.
"Aku ... tidur, ya?" Aiden refleks meraih tangan Ana. Menggenggamnya dengan erat. "Bunda jangan lupa tidur juga. Jangan lupa istirahat. Jangan sampai sakit, ya, Bun."
"Ya, kamu juga." Ana melepas genggaman Aiden perlahan. "Buat lombanya ... semoga berhasil."
Tanpa bersuara lagi, Ana berjalan ke luar kamar. Meninggalkan Aiden yang memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Menatap langit-langit. Memikirkan banyak hal, hingga ia mengingat satu hal.
Seratus delapan puluh harinya ... telah ia lewati kemarin.
•••
Berada di tengah kumpulan banyak orang, kepala Aiden rasanya begitu pening. Ia memperhatikan sekitar. Sekiranya lawannya tidak akan sebanyak ini, nyatanya Aiden salah.
Jemari Aiden mengusap lengannya sendiri. Gugup menguasai hingga keempat akralnya terasa begitu dingin. Selain karena efek penyakit, sepertinya kondisi Aiden tidak juga baik karena semalam baru dapat benar-benar terpejam di pukul empat pagi.
Mau tidak mau, dengan waktu istirahat sedikit, Aiden berangkat ke sekolah. Ia diharuskan berkumpul pukul enam pagi sebelum berangkat bersama ke tempat olimpiade. Sepanjang perjalanan pun sekiranya Aiden dapat tertidur, tapi Bu Erna terus mengajaknya berbicara.
"Pokoknya, gimana pun hasilnya, lo udah berusaha, Den." Suara Rafka lagi-lagi terdengar. Tidak juga membuat Aiden merasa tenang, padahal ia sempat mengira bahwa menelepon Rafka adalah salah satu cara yang ampuh.
"Walau lo kalah nanti, orang-orang nggak akan nyalahin lo. Usaha lo selama ini udah keras banget. Lo mungkin bakal kecewa, tapi nanti lo bisa ikut lomba lagi, 'kan?"
"Ya ... tapi, gue pengin menang."
"Iya, Den, iya. Gue cuma ngomongin kemungkinan terburuknya," balas Rafka. "Jangan nyalahin diri lo sendiri kalau kemenangan bukan akhirnya. You did a really great job, Den. Gue salah satu saksi gimana kerasnya usaha lo."
Air mata menggenangi sudut mata Aiden. "Gue pasti menang, 'kan, Kak?"
"Ya, lo pasti menang."
"Lo percaya sama gue, 'kan?"
"Den, gue yakin banget lo pasti menang. Lo pasti bisa bikin semua orang bangga. Lo bakal bisa masuk ke babak selanjutnya dan lo bakal selalu menang." Rafka berucap. "Pokoknya, lo harus yakin dulu, ya."
Aiden menggigit bibir bawahnya. Perasaan tercampur aduk, membuat ia merasa mual.
"Gue takut, Kak."
"Tenang, Den. Semua bakal baik-baik aja. Oke?"
Nyatanya, Aiden tidak dapat tenang juga.
"Kalau udah pulang nanti, lo harus langsung istirahat. Bunda ngasih tahu kalau lo semalam begadang buat latihan." Rafka kembali bersuara. "Jangan sampai kondisi lo drop, atau kemenangan nggak bakal ada gunanya."
"Doain gue, ya, Kak."
"Iya. Tenang aja. Tanpa lo minta juga, nama lo bakal selalu gue sebut pas lagi berdoa."
Aiden mengulum senyum. Ia mungkin tidak dapat tenang sama sekali. Namun, satu hal yang Aiden yakini; ia pasti bisa melalui hari ini.
Meski harus berakhir dengan kondisinya yang kembali memburuk.
•to be continued•
A/n
Hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?