Trigger warning!
Suicidal Thought
•••
"Halo, Den. Ada apa?"
Aiden diam. Tidak menjawab pertanyaan Devin sama sekali. Kedua manik matanya menatap lurus ke depan. Sementara itu, kaki Aiden mendorong ayunan, membuat gerakan maju dan mundur. Sejak tadi berusaha menghubungi Rafka, namun tidak ada jawaban sama sekali. Beruntung, Devin menjawab panggilannya, tepat di dering ketiga.
"Den? Lo nggak apa-apa?"
"Gue nggak tahu." Suara Aiden terdengar lirih. Seperti bisikan, hingga telinganya sendiri hampir tidak dapat mendengar suaranya. "Gue nggak tahu lagi apa gue bisa tetap hidup atau nggak."
"Lo ngomong apa, sih?"
"Vin ... gue capek banget." Aiden menunduk dalam. Skleranya yang memerah digenangi cairan bening. Tanpa bisa ia cegah, cairan tersebut kemudian menetes. Mengalir begitu saja melewati pipinya yang memerah. "Gue pengin banget nyerah. Boleh nggak ... sekali aja?"
"Hah?"
"Gue masih mau hidup, Vin. Gue takut banget mati. Tapi ... kalau gini caranya ... apa nggak lebih baik gue mati aja?"
Suara ribut terdengar dari seberang sana. Belum ada balasan dari Devin, hingga kemudian membuat Aiden menghela napas panjang. Ia sendiri sadar, omongannya malam ini terdengar aneh.
Tetapi ....
"Den, lo lagi di mana? Gue ke sana sekarang. Jangan ke mana-mana. Tunggu di sana."
"Nggak perlu ke sini. Gue nggak apa-apa. Gue cuma lagi pengin sendiri," balas Aiden. Sebelah tangan Aiden yang memegang rantai ayunan mengepal hingga permukaannya memerah. "Makasih, ya, udah mau jawab telepon gue. Maaf kalau gue ganggu lo selama ini."
"Woy, jangan ngaco, deh. Lo di mana? Biar gue ke sana sekarang." Seruan kemudian terdengar, ketika Aiden hendak memutuskan panggilan.
Aiden tidak menjawab sama sekali. Meski beberapa kali, seperti ada suara yang masuk ke indra pendengarannya. Menyuruhnya untuk berusaha mengakhiri hidup sendiri. Merasa semakin terganggu, pada akhirnya Aiden beranjak ke taman bermain dekat rumah. Berharap suara-suara itu menghilang dengan sendirinya.
"Gue barusan kepikiran. Kalau misal gue mati, apa bunda gue bakal senang? Kalau emang iya ... apa boleh gue akhirin semuanya sendiri sekarang juga? Apa loncat dari ketinggian itu menyeramkan? Apa—"
"Gue tahu hidup lo pasti berat banget. Tapi, please, Den, jangan sampai lo bertindak bodoh. Gue belum siap datang ke pemakaman teman gue sendiri." Suara decakan terdengar. "Nggak usah ngomong aneh-aneh. Jawab gue aja. Lo di mana sekarang?"
"Di taman," jawab Aiden pelan. Pikiran yang kacau membuat lidahnya terasa kelu. "Dekat rumah."
"Lo tunggu di sana. Jangan ke mana-mana. Gue ke sana sekarang."
Kemudian, panggilan diputuskan begitu saja. Membiarkan Aiden dalam kesepian malam hingga ia mampu mendengar suara detak jantungnya sendiri. Kedua kelopak matanya terpejam ketika Aiden berusaha menarik napas panjang. Tangan yang awalnya terkepal, lalu terangkat, menutup kedua telinga.
Maaf.
Maaf.
Maaf ....
"Tolong ... berhenti."
•••
Devin mengedarkan pandangannya ke sekitar. Sedikit berusaha mengatur napas karena barusan memacu kendaraannya dengan cepat. Beruntung, malam ini jalanan tidak terlalu ramai, hingga waktu yang ditempuh tidak terlalu lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?