bagian 39

4.4K 538 20
                                    

Rafka meninggalkannya begitu saja, dan Aiden harus menumpang pada Ana. Ia tidak bersuara sama sekali, bahkan ketika pada akhirnya menutup gerbang utama. Kedua kakinya melangkah lesu. Tangan Aiden mengusap area metakarpalnya, tempat di mana sebelumnya infus terpasang.

Lalu, ketika berada di kamar pun, Aiden tidak juga bersuara. Ia belum mengganti baju sama sekali. Dirinya memilih untuk duduk di atas kasur, termenung menatap jendela.

Tamparan yang Rafka layangkan masih begitu terasa menyakitkan. Agak membuat Aiden terkejut, hingga ia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Bahkan, pada Ana di mana sebelumnya Aiden masih berbicara.

Setelahnya, Aiden tidak lagi menemukan keberadaan Rafka.

Panggilan Aiden tidak juga dijawab. Pesan tidak diacuhkan. Kalau ia mau berpikir positif, mungkin kakaknya itu sedang sibuk dan tidak sempat melihat ponsel.

Aiden menghela napas panjang, menekan kontak lain yang mungkin akan mendengarkannya berbicara.

"Kenapa, coy?"

"Lo bisa ke sini sebentar, nggak?"

"Malam ini? Gue mau jalan sama—"

"Lo jomlo."

"Sial, benar juga. Oke."

•••

Sesampainya, Devin kira Aiden akan langsung berbicara. Nyatanya, kedua laki-laki itu termenung. Aiden dengan pikiran sendiri dan Devin yang memperhatikan.

Sedikit bosan, Devin pada akhirnya berdecak. "Kalau lo nyuruh gue ke sini cuma buat ngeliatin lo bengong, mending gue makan sate padang di rumah," ucapnya, hendak bangkit.

Aiden mengerjap. Ia yang awalnya berbaring menatap langit-langit kamar, lantas ikut bangkit. Kedua matanya tampak sayu, ditambah sembap.

"Lo yang manggil gue ke sini, lo juga yang diam aja." Devin berdecih pelan. Ia pindah duduk ke sebelah Aiden. "Biar gue tebak. Masalah keluarga lagi, tapi kali ini bukan bunda lo. Iya, nggak?"

Devin selalu bisa menebaknya.

"Kakak lo?" Devin melanjutkan. Ia melirik punggung tangan Aiden. "Tumben dia nggak keliatan. Lo baru pulang dari rumah sakit, 'kan?"

Aiden lantas tersenyum miris, namun tidak bertahan lama. Ia membuang pandangan. "Ya, semacam itu."

Devin menghela napas panjang. Satu-satunya orang di keluarga Aiden yang paling baik hanya sang kakak. Namun, jika masalahnya hari ini berada di sana ....

"Lo bicara apa lagi sama dia?" Devin lanjut bertanya.

Aiden menggeleng pelan. Semua yang ia ucapkan ketika di rumah sakit terasa semu. Hal yang menyadarkannya hanya tamparan dari Rafka. Bahkan sebelumnya, Aiden seolah tidak dapat mendengar suara yang lain.

"Gue cuma butuh jawaban 'ya' atau 'nggak' dari bunda gue," jawab Aiden pada akhirnya. "Cuma jawaban sederhana kayak gitu. Biar gue tahu, apa usaha gue sia-sia atau nggak."

"Lo ngomong apa, Den?" ulang Devin. "Kalau pertanyaan lo nggak nyeremin, gue bakal anggap itu kesalahan kakak lo."

"Ucapan gue biasa—"

"Dan gue nggak percaya kalau ucapan lo biasa aja," potong Devin.

"Gue ngomong serius, loh, Vin."

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang