"Selamat pagi, dunia!"
Aiden merasa dirinya terlalu berlebihan, tapi ia bersyukur bisa kembali bangun hari ini. Senyum yang lebar meski bibirnya tampak pucat menjadi pembuka di pagi yang mendung. Terasa hangat, meski suhu udara mencapai 21 derajat, cukup dingin untuk ukuran Kota Jakarta.
Hari ini menjadi satu hari yang penting bagi Aiden. Setelah berhari-hari tidak masuk sekolah, akhirnya ia bisa kembali beraktivitas. Meski dengan sedikit perbedaan di tubuh yang terasa sangat signifikan. Aiden hanya berharap, harinya tidak berakhir buruk seperti yang lalu.
Setelah melaksanakan kewajibannya dan membersihkan tubuh, dengan sudah mengenakan seragam, Aiden berderap menuju dapur. Agak merasa déjà vu karena beberapa minggu yang lalu juga melakukan hal serupa. Hingga setelahnya Aiden berpikir, memang ini kegiatan normal yang ia lakukan setiap pagi, 'kan?
"Selamat pagi, Bunda!" sapa Aiden hangat, meski tidak ada jawaban sama sekali.
Ana tetap fokus pada ponsel, tanpa menyentuh roti selai cokelatnya. Ia kemudian melirik Aiden, namun hanya sesaat. Tidak ada ekspresi di wajah.
"Tumben Bunda udah bikin roti duluan." Aiden lanjut berbicara. Ia mengambil segelas susu dan duduk di hadapan Ana. Meski begitu, masih ada tembok semu yang memisahkan mereka.
"Oh, ya. Ulangan kemarin aku dapat seratus lagi, loh, Bun." Aiden menyombongkan dirinya sendiri. Senyum yang lebih lebar dan tampak percaya diri terlukis di wajah. Meski tidak sedikit pun, Ana menoleh.
"Terus, nanti aku rencananya mau ikut olimpiade juga. Kayak pas SMP," lanjut Aiden. Ia tidak peduli sama sekali meski Ana tetap tak acuh. "Kalau aku menang, nanti kita makan-makan, ya, Bun. Aku yang traktir, deh. Nanti, kita ajak Kak Rafka juga."
Ana berdecak pelan, meski ia tetap fokus pada layar di hadapannya. Kemudian, ponsel di tangan Ana turunkan. Netranya menatap Aiden lekat-lekat.
"Apa kata dokter kemarin?"
Aiden terkesiap. Niatnya untuk bangkit dan menyiapkan sarapan seketika terhenti. Kedua kelopaknya mengerjap beberapa kali. Tidak menyangka bahwa Ana akan bertanya. Lalu, ketika kesadaran Aiden kembali, tangannya terangkat, mencubit pipi.
"Sakit," gumam Aiden pelan. "Berarti bukan mimpi."
Ana tidak merespon tingkah Aiden sama sekali. Ia menghabiskan rotinya, kemudian bangkit. Membawa piring kotornya ke wastafel.
"Oh, ya. Kata dokter kemarin ...." Aiden kembali berbicara, tepat ketika kesadarannya kembali sepenuhnya. Ia berdiri, agak sedikit menggebrak meja hingga menarik perhatian Ana. "Katanya ... apa katanya, ya? Sebentar, sebentar. Bunda jangan ke kamar dulu. Biar aku ingat-ingat."
Ana diam, bersedekap. Kedua netranya menatap tajam ke arah Aiden. Jika dalam hitungan ke sepuluh laki-laki itu tidak juga berbicara, Ana akan—
"Gini!" seru Aiden tiba-tiba, sebelum bergumam tidak jelas. "Katanya, aku harus kemo sebulan lagi, itu juga kalau kondisi aku baik. Aku juga bisa cuma dua hari di rumah sakit, jadi setelah masuk obat, observasi, aku bisa pulang. Terus ... apa lagi, ya?"
Aiden tampak berpikir sejenak. "Aku sempat bicara soal pengobatan lain juga. Kalau nggak salah namanya transplantasi sumsum tulang belakang. Katanya, sih, kalau ngelakuin itu, harapan buat sembuhnya lebih tinggi. Cuma, harus nyari pendonor yang cocok."
Sempat diam sejenak, Aiden menghela napas panjang. "Dan nyari pendonor itu yang susah, Bun. Syaratnya juga cukup banyak, sih. Aku juga nggak terlalu berharap sama yang satu itu. Kapan hari itu, pas diambil cairan tulang belakang aja aku nggak tahan, apalagi kalau tahu ada orang yang harus ngerasain sakit cuma biar aku sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?