Satu hal yang tidak pernah Ana kira ketika memasuki dapur adalah rasa aneh yang kemudian merasuki dada ketika melihat ruangan itu begitu kosong. Tidak ada aktivitas sama sekali di sana. Bahkan, sejak tadi malam.
Meja yang mulai berdebu tampak tidak terisi. Beberapa piring kotor tergeletak di wastafel. Tidak ada yang menyentuh, hingga kemudian Ana memutuskan untuk membereskannya.
Tidak ada sapaan hangat yang beberapa hari ke belakang selalu Ana dengar. Area dapur terasa begitu dingin. Keheningan yang mengisi, hingga membuat Ana menghela napas panjang.
Apa yang terjadi pada dirinya ... Ana tidak mengerti sedikit pun.
Masih terbayang ketika melihat Aiden tiba-tiba ambruk di hadapannya. Ana awalnya tidak bergerak sama sekali. Sempat berpikir bahwa laki-laki itu mencari perhatiannya, namun ketika dihampiri, tidak ada respon sama sekali. Satu hal yang menandakan bahwa Aiden masih hidup adalah pergerakan dadanya.
Lalu, hiruk pikuk instalasi gawat darurat membuat Ana kembali tersadar. Di hadapannya, sosok Aiden terbaring. Wajah yang biasanya tampak cerah kini memucat. Senyumnya hilang begitu saja. Tangan Aiden dingin, seolah tidak dialiri oleh darah sama sekali.
Ana tidak pernah memperhatikan bagaimana rupa Aiden sampai saat ini. Bagaimana wajahnya ketika kedua kelopak mata itu tertutup rapat tampak begitu tenang. Sedikit, kemarahan Ana muncul.
Terlalu mirip ....
Ana memejamkan mata. Mengusap wajah dengan kedua tangan yang basah. Kedua kakinya kemudian melangkah menuju kulkas. Dibukanya benda yang jarang digunakannya tersebut.
Hingg ketika Ana membuka bagian freezer, sekotak es krim terlihat dengan secarik kertas menempel. Sedikit heran, Ana meraih kertas tersebut. Dibacanya tulisan rapi yang tercetak di sana.
Es krim buat Bunda :D kalau Bunda nemuin, jangan lupa dimakan, ya!
- Aiden
"Kekanakan," gumam Ana pelan. Ia melipat kertas yang ditemukannya, kemudian membuangnya ke tempat sampah. Namun, tanpa pernah Ana sadari, senyumnya terulas begitu saja. Tangannya meraih kotak es krim yang tergeletak di dalam freezer, kemudian membukanya.
Stroberi. Kesukannya yang bahkan tidak pernah ia beritahu pada Aiden.
Ana bahkan tidak ingat pernah benar-benar berbicara dengan Aiden.
Ada perasaan aneh yang kemudian bergejolak. Ketika pada akhirnya Ana meletakkan kembali kotak es krim tersebut. Berusaha sedikit menetralkan emosinya, Ana membalik tubuh.
Ia harus bersiap saat ini.
•••
"Lemas banget ...." Aiden mengeluh. Ia baru saja membuka mata, merasakan dadanya yang sedikit berdebar. "Kakak, jangan diam aja. Gue takut lo kesurupan penunggu rumah sakit."
Rafka mengerjap. Mengusap kedua matanya yang terasa sedikit gatal. Senyumnya mengembang.
"Hei," sapanya. "Kapan lo bangun?"
"Barusan," jawab Aiden singkat. Ia menatap Rafka dengan penuh pertanyaan. Semalaman, ketika kakaknya itu kembali dari membeli makanan, tingkahnya sudah tampak aneh. Hanya diam seolah sedang berpikir keras dan tidak fokus ketika Aiden mengajaknya berbicara.
"Lo kenapa, Kak? Ada hal yang lo pikirin?"
Rafka menggeleng sesaat, lalu mengangguk. "Tapi, bukan hal yang penting, kok," ucapnya. "Cuma ... hal biasa."
Sorot mata Aiden menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan jawaban Rafka. "Kak, lo pernah marah-marah karena gue rahasiain penyakit gue, tapi lo nggak sadar kalau lo yang sebenarnya penuh rahasia," omelnya. Masih menjaga nada suara agar tidak terlalu tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?