"Selamat pagi, dunia! Selamat tanggal 22!"
Aiden merenggangkan tubuh. Merasa aneh karena terlalu bersemangat, padahal sejak kemarin merasa lesu—efek kurang darah, katanya. Meski begitu, Aiden tidak peduli. Ia segera bangkit, membuka gorden, dan menatap ke luar, padahal suasana di luar masih begitu gelap.
Semalaman, Aiden sudah menyiapkan bahan masakan untuk hari ini. Mengingat Rafka yang ingin berkunjung dan memintanya untuk menyiapkan bahan makanan. Dengan senang hati, tentu Aiden akan menuruti kemauan sang kakak. Apalagi, Rafka jarang sekali datang.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Aiden akan merayakan bertambahnya umur bersama Rafka. Terkesan berlebihan, hanya saja ia ingin menikmati momen kecil tersebut. Entah apa tahun depan akan merasakan hal yang sama atau tidak, oleh karena itu, Aiden tidak ingin menyia-nyiakan waktu tersebut.
Semua bahan masakan sudah tersedia. Seluruhnya merupakan makanan yang disukai oleh Rafka. Hari ini harus menjadi hari yang sempurna. Karenanya, selepas kembali dari sekolah nanti, ia akan menyiapkan semuanya dengan sebaik mungkin.
Setidaknya, walau hari ini adalah ulang tahun terakhirnya, Aiden tidak akan memiliki penyesalan apapun.
•••
"Loh, jadinya hari ini lo masuk?" Pertanyaan itu terdengar, begitu Aiden membuka pintu kelas. "Bukannya hari ini mau ke rumah sakit lagi?"
"Oh, nggak jadi. Bunda gue nggak bisa," jawab Aiden cepat. Ia duduk di kursinya. "Lo nggak mau ngucapin apa-apa, Vin?"
"Misal?"
Aiden sudah biasa dilupakan, jadi harusnya ia bersikap biasa saja. Oleh karenanya, Aiden hanya tersenyum dan menggeleng cepat. Ia melepas tas serta jaketnya, lalu duduk dengan tenang.
"Ucapan selamat pagi, misal," jawab Aiden pada akhirnya.
Seingat Aiden, dirinya pernah memberi tahu kapan ulang tahunnya pada Devin. Hanya saja, laki-laki itu berkata bahwa tanggal itu sulit diingat. Makanya, Aiden tidak lagi berharap. Hanya saja ... entah kenapa untuk sekali ini saja, Aiden ingin ada yang mengingat hari penting tersebut dan memberinya ucapan selamat. Bukan karena umurnya yang akan berkurang, tetapi karena sudah bertahan hidup selama ini.
"Dih, buat apa ucapan selamat pagi? Besok juga ketemu lagi," balas Devin.
"Kalau gue mati duluan?"
Devin melirik tajam ke arah Aiden. "Gue ucapin selamat pagi di depan mayat lo," ucap Devin. Ia mendengkus. "Masih pagi, loh, Den. Nggak usah ngomong aneh-aneh."
"He-he, maaf." Aiden nyengir. Setelah mengucapkan kalimat seram tersebut, kondisi hati Aiden tidak juga berubah—masih bersemangat, bahkan ingin tetap berulah. Tidak seperti langit di luar yang begitu gelap, wajah Aiden terlihat cerah. "Tapi serius, Vin. Lo nggak mau ngucapin?"
"Selamat pagi, Den," ujar Devin pada akhirnya. "Udah. Gitu, 'kan, maksud lo?"
"Bukan itu." Aiden menggeleng cepat. Kedua tangannya kemudian ditempelkan satu sama lain. Senyumannya lebih lebar dari sebelumnya. "Gue hari ini enam belas tahun, loh. Yeay, congratulation, Aiden!"
Devin diam sejenak. Kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali. "Hah? Hari ini tanggal berapa?" Devin balas bertanya. "Tanggal 22? Bukannya ulang tahun lo tanggal 23?"
Aiden untuk sejenak tertawa. "Kalau gue nggak ngasih tahu, apa lo bakal ngucapin besok?" tanyanya penasaran. "Nggak lucu, loh, kalau tiba-tiba besok lo ngasih gue kue ulang tahun."
"Ya, gue nggak mau ngasih kue, sih. Tapi, gue bakal ngucapin besok," aku Devin. "Udah berapa lama, sih, kita temenan? Ini tahun ke empat bukan?"
"Iya, tahun ke empat," balas Aiden. "Dan tahun ketiga lo seharusnya ngucapin selamat ulang tahun ke gue, tapi selalu salah tanggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?