bagian 3

9.4K 864 24
                                    

Meski selalu dinomorduakan, namun Aiden tahu bahwa dahulu, keluarganya adalah keluarga yang hangat. Ditambah dengan status ekonomi yang terbilang tinggi. Kalau kata teman-temannya, Aiden beruntung bisa terlahir di keluarga yang memiliki ayah serta bunda yang pengertian dan penuh kasih sayang.

Hanya saja, mereka tidak tahu, jika hal itu hanya berlaku untuk Rafka.

Meski begitu, Aiden harus akui bahwa kondisi rumahnya benar-benar hangat sebelumnya. Hanya dengan memperhatikan bagaimana ayah dan bunda memperhatikan Rafka, sesekali juga memperhatikannya—walau tidak seintens hubungan mereka dengan sang kakak. Harus Aiden akui, ketika ia masuk ke ruang keluarga, ia cukup merindukan suasana yang lalu.

Pukul lima sore, tentu saja bunda belum kembali. Ketika Aiden masuk ke ruang tamu, suasana gelap langsung menyambut. Setelah melempar tas, Aiden langsung melompat ke atas sofa. Kepala yang terbentur lengan sofa lantas membuatnya meringis pelan.

Lalu, kedua netra beriris cokelat cerahnya menatap langit-langit ruang tamu. Gelap, namun cahaya matahari yang masuk ke dalam cukup membantu penglihatan. Hingga seolah, Aiden kembali ke masa lalu.

Ketika ia dan sang kakak pulang ke rumah, lalu sang bunda menyambut. Makanan yang tersedia di atas meja makan merupakan kesukaan Rafka, namun Aiden dengan senang hati ikut memakannya. Pada akhirnya, Aiden beranggapan bahwa makanan favoritnya sama dengan apa yang disukai oleh Rafka.

"Nanti malam makan apa, ya?" Aiden bergumam pelan. Ia berusaha bangkit. Meraih kembali ransel yang tergeletak di lantai dan menjinjingnya. "Masakin apa, ya, buat bunda?"

Dengan langkah ringan, Aiden berjalan menuju kamarnya. Ia sempat menyalakan lampu utama dan lampu teras, sebelum menutup pintu kamar rapat-rapat. Suasana kamar yang dingin lalu menyambut, membuat Aiden tersenyum senang. Selalu, ia menyukai suasana kamarnya yang menenangkan.

Tanpa mengganti seragamnya—yang bahkan terdapat bercak darah—Aiden berbaring di atas tempat tidur. Membiarkan dirinya tenggelam dengan kenyamanan semu. Senyum tidak juga pudar, menebarkan kehangatan bagi siapa pun yang melihatnya.

"Istirahat sebentar, terus masak buat makan malam, makan, terus belajar buat besok." Aiden melirik jam dindingnya. "Tidur sebentar. Sebentar aja. Jangan sampai kebablasan. Biar sempat ... masak ... buat bunda."

Lalu, suara Aiden mengecil di akhir kalimat. Napasnya berembus teratur. Kedua kelopak mata yang makin memberat kemudian menutup.

Sepersekian detik kemudian, Aiden tenggelam dalam mimpinya.

Mimpi yang terlalu indah, hingga mungkinntidak akan pernah terwujud.

•••

Aiden dengan cepat membuka kelopak matanya. Ia langsung bangkit. Suasana di luar yang tampak begitu gelap membuat Aiden melirik jam dinding.

Sudah pukul sepuluh malam.

Aiden langsung berdiri. Namun, berhenti bergerak karena pandangan yang memburam. Sejenak berpikir bahwa itu adalah efek dari kadar sel darah merahnya yang rendah—seingatnya, sih, dokternya berkata bahwa kadar hemoglobin yang rendah dapat menyebabkan hal itu.

Tidak terlalu memedulikan hal tersebut, Aiden langsung berlari ke luar kamar. Berharap sang bunda belum pulang ke rumah, ia langsung bergegas menuju dapur. Setidaknya, beberapa menit untuk menyiapkan makan malam.

Namun, langkah Aiden terhenti ketika melihat Ana, bundanya, berada di ruang keluarga. Senyumnya terulas lebar. Mengalihkan tujuannya, Aiden kemudian berjalan menghampiri.

"Bunda baru pulang?" Pertanyaan retorik terlontar begitu saja. "Bunda udah makan? Aku belum masak, Bun. Maaf, ya. Bunda mau aku masakin apa?"

Tidak ada jawaban, melainkan lirikan. Ana kembali fokus pada ponsel, seolah tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"Atau ... aku masakin apa aja buat Bunda, ya. Seenggaknya, Bunda makan sedikit—"

"Nggak perlu." Ana memotong ucapan Aiden, yang untuk sesaat membuat laki-laki tersebut meringis.

"Ah, ya. Kalau gitu, ya udah. Tapi, semoga tadi Bunda udah makan, ya. Kalau Bunda nggak makan, nanti Bunda sakit." Aiden menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak tahu bagaimana ia harus melanjutkan pembicaraan. Rasanya, Ana semakin menjauh, meski kenyataannya memang sudah jauh sejak dulu.

"Oh, ya." Aiden berdeham pelan, berusaha untuk menetralkan ekspresinya. Meski begitu, mau tidak mau, senyum tetap terulas di wajah. "Tadi, aku udah dikasih tahu nilai ulangan Fisika minggu lalu. Aku dapat seratus lagi, loh, Bun. Soalnya emang agak susah, sih. Tapi, ternyata aku bisa juga ngerjainnya. Aku belajar semalaman buat materi itu."

Untuk sejenak, Aiden menggigit bibir bawahnya. "Bunda ... senang nggak dengar itu? Ah, semoga Bunda senang juga, ya. Soalnya, aku senang banget. Walau, ya ... cuma pelajaran itu, sih, yang aku bisa. He-he."

Tidak ada balasan. Aiden tidak berharap Ana akan memujinya. Setidaknya ... hanya satu kata saja, Aiden mungkin akan merasa senang.

"Ya udah, deh, Bun. Kalau gitu, aku ke kamar—"

"Baju kamu. Itu darah?"

Aiden yang awalnya akan kembali ke kamar, lantas berhenti bergerak. Senyum yang semula luntur kembali mengembang. Ia menatap noda darah di bajunya.

"Iya, tadi berdarah sedikit. Tapi, bukan masalah, kok, Bun. Makasih, ya, udah nanya."

Apa Aiden harus berbicara masalah itu juga?

Ah, tapi ... Ana bahkan tidak bertanya mengenai dirinya yang sempat absen sekolah beberapa hari ke belakang.

Atau ... Aiden harus mencobanya?

"Bunda ... lusa ada waktu nggak?"

"Kenapa?"

"Boleh temenin aku sebentar?"

"Nggak ada."

"Oh, gitu. Nggak apa-apa, Bun. Nggak penting juga, kok." Aiden menundukkan kepala, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam. "Kalau gitu, aku ke kamar dulu, ya. Bunda jangan lupa istirahat juga, ya. Jangan terlalu sering begadang, nanti sakit."

Tanpa menunggu balasan—yang mungkin saja tidak akan pernah terdengar—Aiden melangkahkan kedua kakinya, kembali menuju kamar. Ia ingin memasakan makanan untuk dirinya sendiri, namun nafsu makannya belum juga kembali. Bahkan, beberapa kali asam lambungnya seperti memaksa naik, hingga membuatnya mual.

Namun, setidaknya, malam ini ada sedikit peningkatan; Ana bertanya mengenai noda darah yang ada di bajunya. Meski memang tidak terlalu penting, itu berarti Ana memperhatikannya. Iya, 'kan?

"Kalau karena ini Bunda jadi merhatiin aku ... apa besok aku mimisan lagi aja, ya?" Aiden bermonolog, tepat sebelum menutup pintu kamar. "Ah, tapi ... kalau kata dokter itu benar, berarti aku nggak punya waktu yang lama, 'kan? Apa mungkin ... sebelum waktu itu, Bunda bakal benar-benar berubah?"

Aiden lantas tersenyum miris. "Ah, andai aja aku bisa lihat masa depan, aku pengin banget tahu. Gimana, ya, respon Bunda kalau tahu apa penyakit yang aku derita sekarang?"

•••

A/n

Pas banget avv wkwkwk.

Ini kayaknya, kalau ada tokoh di cerita aku yang gak pantas merasakan kebahagiaan, di sini adanya :)

Iya, spoiler dikit. HAHAHAHAHAHAHA

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang