Ruang keluarga yang biasa terasa hangat, kini menjadi dingin. Rafka duduk di sofa. Menunduk dalam. Kedua manik Rafka tampak kosong, padahal pikirannya begitu berisik.
Sosok Abyan duduk di sofa kecil. Melipat kedua lengan dengan tatapan yang tajam.
"Ayah," ucap Rafka setelah sekian lama diam. Ia mengangkat kepala, balas menatap Abyan. Sinar kedua mata legamnya tampak meredup. Penuh dengan rasa marah yang selama ini terpendam begitu saja.
"Udah cukup, Yah," lanjut Rafka. "Ayah udah keterlaluan sama anak yang nggak bersalah sama sekali."
Rafka dapat merasakan jemari tangannya bergetar. Suara yang berusaha dibuat tegas, namun bagi telinga Rafka tetap terdengar takut. Ia sudah berkali-kali berdiri untuk Aiden, namun tetap ada kekhawatiran tersendiri pada apa yang akan terjadi.
"Nggak bersalah ... ya?" Abyan bergumam, masih dapat Rafka dengar dengan jelas. "Ya, kesalahan terbesar memang ada di ibumu itu. "Kamu tahu gimana rasanya peduli sama anak yang jelas-jelas nggak pantas buat hidup? Anak yang ada karena kesalahan?"
"Apa anak yang nggak tahu apa-apa bisa dijadiin sasaran kemarahan Ayah?" Rafka membalas. "Udah bertahun-tahun, Yah. Aiden nggak pernah benar-benar ngerasain gimana rasanya punya orang tua yang sayang sama dia. Bunda nggak pernah mau lihat dia sama sekali. Sementara Ayah ...."
Rafka tertawa miris. "Ayah tahu kalau Aiden nggak pernah mau dilahirin sebagai dirinya, 'kan?"
"Ya." Abyan diam sejenak. "Seharusnya Ayah setuju sama pilihan ibu kamu buat ngegugurin dia dulu. Dengan begitu ... keluarga kita akan tetap utuh, 'kan?"
Napas Rafka seolah tercekat. Senyum yang terbit di bibir Abyan membuatnya sadar. Mau sekeras apapun ia berusaha, hati ayahnya tersebut tidak akan pernah melunak untuk selamanya.
•••
Ana mengerjap, mengalihkan pandangan dari laptop yang sedari tadi menjadi fokus. Kali ini ganti pada jendela yang sedikit terbuka. Suara rintik hujan yang makin lama semakin deras terdengar.
Lantas, Ana bangkit dari kursi kerjanya. Meraih selimut sebelum melingkupi tubuhnya dengan benda tersebut. Dingin yang menyergap masuk melalui sela jendela membuat dirinya sejenak mengusap lengan.
Kedua tungkai Ana melangkah, berjalan ke luar kamar dan menuju ke ruang tamu. Sebelum pada akhirnya ia membuka pintu. Memperhatikan derasnya hujan yang mengguyur bumi. Angin berembus kencang, sontak membuat Ana sedikit memundurkan langkah karena cipratan air yang mengenai wajah.
Kedua netra Ana menyipit. Memperhatikan area garasi. Keningnya lalu berkerut heran.
Hanya ada mobilnya di sana.
"Ke mana anak itu?" Tanpa sadar, Ana bertanya pada dirinya sendiri. Beberapa kali mengerjap keheranan. Tangannya meraih ponsel yang ada di saku celana tidur yang ia kenakan. Menekan tombol power sebelum membaca waktu yang tertera di layar.
Pukul sembilan malam.
Tidak ada pesan sama sekali. Bahkan, sejak satu minggu terakhir. Jemari Ana memilih kontak Aiden—yang bahkan tidak pernah ia simpan jika bukan Aiden yang melakukan—sebelum mendekatkan ponsel ke telinganya. Suara terdengar, yang lantas membuatnya semakin heran.
Ada rasa khawatir terselip di hati Ana. Membuatnya bergerak gelisah di tempat. Tangannya mencengkeram ponsel yang menempel di telinga.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi.
•••
Aiden takut. Kedua tangan bergetar hebat. Jantung Aiden berdegup dengan begitu cepatnya hingga ia seolah dapat mendengar detakannya sendiri. Seluruh tubuh Aiden terasa begitu dingin.
Berusaha menetralkan napas yang memburu, untuk sejenak Aiden menepikan motornya. Terbayang bagaimana Abyan dahulu memperlakukannya ketika rahasia Ana pada akhirnya terbongkar. Tidak ada lagi kehangatan, melainkan teriakan.
Aiden bahkan tidak dapat menyangka dirinya masih dapat hidup dengan perlakuan semacam itu.
Rintik hujan yang semakin deras kemudian membasahi tubuh. Sialnya, Aiden lupa untuk melipat jas hujan yang masih tergantung di jemuran. Ia mendongak sejenak, menatap langit yang semakin gelap.
Tidak menunggu waktu lagi, Aiden kembali melajukan motor. Membelah jalanan yang padat. Hingga tak lama, tubuhnya benar-benar kuyup. Kedua tangannya bukan lagi bergetar karena rasa takut, tetapi akibat dari dingin yang menusuk tulang. Jaket yang dikenakan tidak membantu sama sekali.
Den, lo mau bebas, nggak?
Sebuah suara seolah terputar di telinga Aiden. Membuatnya untuk sejenak menoleh ke kanan, kemudian ke kiri. Rautnya penuh keheranan. Perlahan, tangan kiri Aiden melepas kendali dan menepuk sisi helmnya.
Lo pernah coba buat naikin kecepatan di saat hujan?
Den, ayo, coba.
Rasanya pasti seru banget.
Lo pengin bebas, 'kan?
Lo bakal bebas setelah ini.
Seolah di luar kendali, tangan Aiden mempercepat laju motor. Melewati banyak kendaraan begitu saja. Suara klakson yang bising justru tidak Aiden dengar sama sekali.
Air mata yang awalnya menggenangi pelupuk kemudian menetes begitu saja. Mengalir bersama air hujan yang membasahi wajah. Untuk sejenak terpejam, berharap bisa melewati semuanya begitu saja.
Aiden ingin melupakan segalanya. Tentang penyakitnya, permasalahan keluarganya, bahkan masalah olimpiade sekali pun. Untuk sekali ini saja, Aiden ingin dapat tidur dengan tenang. Tanpa rasa takut yang menghantui setiap saat.
Aiden ingin bernapas dengan bebas. Mampu tersenyum dengan tulusnya. Menunjukkan raut wajah yang penuh dengan kejujuran, tanpa ditutupi sama sekali.
Seumur hidup, Aiden ingin dirinya duduk di meja makan dengan anggota keluarga yang lengkap. Bersenda gurau sembari menikmati makan malam yang hangat. Membicarakan hal yang tidak penting, namun cukup untuk mengulas senyum.
Untuk sekali saja, Aiden ingin dirinya dapat menjalani hidup seperti remaja pada umumnya. Bersenang-senang menikmati masa muda yang hanya sesaat, sebelum pada akhirnya harus benar-benar memikirkan masa depan.
Aiden ingin kembali mampu memikirkan mimpinya. Meraih cita-cita yang sejak dahulu diidam-idamkan. Membuat dirinya di masa lalu bangga akan pencapaiannya di masa kini.
Aiden hanya ingin hal sesederhana itu.
Aiden berharap malam ini Tuhan mengabulkan keinginan sederhananya.
Namun nyatanya, ketika kedua tangan Aiden terasa begitu lemah, ia kehilangan kendali pada kendaraannya. Jalanan yang licin memperparah kondisi, hingga dalam waktu sedetik, tubuh Aiden jatuh begitu saja. Menghantam aspal yang basah karena hujan.
Kepala yang terasa sakit membuatnya meringis. Aiden masih sadar ketika banyak orang mulai mengelilinginya. Juga sadar pada darah yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.
Mengerjap beberapa kali, Aiden berusaha bangkit. Namun, ia seolah tidak dapat merasakan tangan kanannya. Pandangan Aiden memburam begitu saja.
Tetapi, dalam waktu sepersekian detik, bayangan keluarganya yang tersenyum pada dirinya hadir dalam pikiran Aiden. Membuatnya ikut tersenyum. Tangannya seolah ingin meraih mereka, namun kemudian, pandangannya menggelap.
Di tengah derasnya hujan malam ini, pada akhirnya Aiden dapat tidur dengan nyenyak.
•to be continued•
A/n
Lapak ngomel-ngomel di sini
Galauku hari ini didukung oleh percakapan aku sama keluarga pasien yang bikin aku kangen banget banget banget sama aiden wkwkwk. Kayaknya, beberapa hari ini aku bakal ngegalau terus, padahal tahun depan udah 9 tahunnya :")
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?