Langkah kaki Alsia bisa terdengar di sepanjang lorong. Keheningan pasca pemakaman membuat Alsia sedikit tenang.
"Setidaknya tempat ini tidak berisik," gumam Alsia sambil melihat langit siang yang mulai tertutup awan gelap.
Di depan sana, ujung mata Alsia melihat seorang anak laki-laki yang lebih tinggi dari Arsa. Rambut silver dan mata abu-abu gelap itu menarik perhatian Alsia. Ada semacam firasat unik yang dirasakan oleh Alsia.
Keduanya saling bertatapan sesaat kemudian berjalan menjauh seolah tak terjadi apa-apa.
Alsia menghentikan kakinya, "rambut silver dan mata abu-abu," senyuman tipis terbentuk di wajahnya, "dia cocok jadi manusia silver."
.
.
.Setelah bertanya beberapa kali pada para pelayan akhirnya Alsia bertemu dengan Yura di balkon lantai 3. Gadis kecil berusia 12 itu berusaha untuk tabah akan kematian sang ayah.
"Yura ..."
Alsia berjalan mendekat.
Mendengar suara seseorang Yura tersentak dan segera menghapus sisa-sisa air matanya.
Yura menoleh, dia masih bisa menunjukkan senyuman pada Alsia.
"Alsia, sejak kapan kau di sini?"
"Barusan, maaf karena tidak mengetuk, pintu balkonnya terbuka lebar."
Alsia kini berdiri tepat di samping Yura. Perbedaan tinggi badan antara keduanya cukup membuat Alsia sebal.
"Ah ... tidak apa-apa. Maaf sudah membuatmu melihat sisi burukku."
"Jangan meminta maaf, lagi pula, tangisan kak Yura itu menakjubkan."
"Maaf?"
Selama sesaat Yura merasa jika pendengarannya bermasalah. Dia tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Alsia.
Alsia mendengus pelan. Dia menatap ke langit, "lupakan saja, intinya menangis itu bukan hal buruk terlebih saat ada anggota keluarga yang meninggal."
"Tapi, menangis itu menunjukan jika seseorang lemah."
"memang, tapi setidaknya mereka masih manusia. Seseorang yang terlalu lama memendam semua emosinya bisa jadi gila, atau lebih parahnya lagi mereka akan mengalami mati rasa."
Mata biru cerah Alsia sedikit bersinar, "kakak tahu apa mati rasa itu?"
Yura menggeleng pelan.
"Itu adalah keadaan di mana manusia mulai kehilangan sifat manusiawinya, mirip seperti kutukan. Cara untuk menyembuhkannya juga sulit. jadi, dari pada mati rasa atau jadi gila lebih baik menangis saja bukan?"
Rambut merah muda pucat Yura tertiup oleh angin dingin yang bercampur dengan sedikit aroma hujan. Wajah Yura menunjukan jikalau dirinya tengah terpesona akan tatapan mata Alsia yang seduh.
Seperti dewi malam, pikir Yuna.
Namun, nyatanya itu bukan tatapan seduh. Yang ditunjukan oleh Alsia itu adalah tatapan mata malas dan ketidakpedulian. Ucapan yang Alsia katakan tadi hanya rangkaian kata-kata tiruan dari sebuah buku.
"Kak Yura, putih itu kesepian, ya?"
Yura seketika memasang senyuman kikuk. Dia berkedip beberapa kali.
Alsia memasang pose berfikir khas anak-anak, "kalau hijau itu berkuasa namun cinta damai, lalu ... kuning ..."
"Bersemangat."
Akhirnya Yura tahu apa yang Alsia bicarakan. Gadis kecil dari keluarga Acandra itu tengah berbicara tentang sifat atau makna dari tiap warna.
"Tepat sekali," Alsia berujar dengan penuh semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Became The Side Character's Older Sister
Fantasy[Vote dulu sebelum membaca] [Dan kalo bisa jangan lupa follow] Karnika, salah satu fans dari antagonis sebuah novel. dia meninggal karna bom bunuh diri. bukannya pergi ke neraka atau surga karnika malah terlahir kembali di dalam novel favoritnya itu...