45. reaksi

381 27 0
                                    

"Hmm ... Rupanya kalian sudah mengalami petualangan panjang, ya. Ayah sama sekali tidak menduganya."

Mikael berkata sambil menundukkan kepalanya. Alsia dan Arsa tak tahu raut wajah seperti apa yang dibuat sang ayah.

"Untuk ceritamu, Arsa. Ayah benar-benar minta maaf karena tidak menunjukan perasaan ayah yang sebenarnya padamu. Karena pemikiranmu yang cepat dewasa ayah pikir hal semacam itu akan membuatmu risih."

Mikael mengangkat wajahnya dan menunjukan senyuman hangat nan tulus. Sebuah senyuman yang belum pernah Arsa lihat di kehidupan sebelumnya.

"Mana mungkin aku merasa risih terhadap kasih sayang," balas Arsa.

"Ya, itu benar. Hati anak ini sama besarnya dengan otaknya," ucap Alsia sambil menepuk kepala sang adik.

"Omong-omong, Alsia, kau bilang kau adalah orang yang memasuki dunia novel bukan? Bagaimana akhir dari novel yang kamu baca itu?"

Alsia menyibakkan poninya yang menghalangi pandangan lalu mengambil sebuah jepit rambut dan menjepit poninya ke belakang.

"Itu novel dengan ending yang menggantung. Jadi masih ada banyak mesteri yang belum terpecahkan," jawab Alsia.

Perempuan berambut hitam yang dahinya kini terpampang jelas itu mengambil kue sus di meja dan memakannya.

"Kalau begitu apa pekerjaanmu di kehidupan sebelumnya?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Alsia tersedak. Arsa dengan sigap langsung memberikan segelas air padanya. Setelah menormalkan deruh nafasnya Alsia menatap wajah ayah dan adiknya. Mereka penasaran.

"C-Coba kalian tebak?"

Arsa berpikir sebentar. "Hmm ... Seorang pelajar, mungkin. Sejak pertama kali kita mendapat kelas kakak langsung bosan dan meski sering bolos kakak tetap tahu pelajaran dasar meski tak pernah membaca buku apapun.."

Alsia tersenyum kikuk. "Kurang tepat."

Mikael kembali mengingat saat dirinya tak sengaja melukai Alsia yang sedang bersembunyi di ruangan rahasia kediaman Acandra di ibu kota. Saat itu dia bahkan tak sadar jika yang bersembunyi adalah sang putri.

"Mata-mata," ucap Mikael dengan yakin.

"Hampir mendekati," balas Alsia.

"Ayolah, kak, beritahu saja langsung," bujuk Arsa.

Alsia menghela nafas pendek.

"Teroris kelas kakap dengan harga kepala sekitar 1,37 Miliyar, jika dihitung dengan mata uang Inroin di kerajaan ini."

"HAH!"

Tangan Alsia reflek menutupi kedua telinganya. Baik Arsa maupun Mikael tak habis pikir. Rupanya mereka salama ini tinggal serumah dengan teroris yang dihitung dari harga buronannya jelas telah melakukan beragam kejahatan.

Mikael bersandar pada kursinya sambi memijat keningnya. Sedangkan Arsa menundukkan kepalanya.

"Tenang saja, aku sudah menjadi orang yang lebih baik di kehidupan yang sekarang, kok." Alsia berusahan menenangkan kedua pria itu.

"Kejahatan macam apa yang telah kau lakukan, Kakak?" Tanya Arsa dengan nada parau.

"Yah, paling parah kalau tidak salah membumi hanguskan sebuah kota yang merupakan pusat teknologi suatu negara dengan bom. Aku sekaligus melakukan bom bunuh diri saat itu."

"Apa motifmu?"

Alsia terdiam sebentar sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia harus memikirkan alasan yang bagus untuk ini.

Became The Side Character's Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang