Setelah Arsa dan Timmy selesai bertarung. Ira dan yang lainnya memutuskan untuk melakukan latihan sekaligus memberikan tempat agar si kembar bisa berbicara dengan nyaman.
"kakak, bagaimana harimu di ibukota?" tanya Arsa.
"Akan berakhir jauh lebih baik jika kau tidak mengirim surat tentang ayah yang hendak menjemputku," jawab Alsia sambil tersenyum paksa.
Arsa tertawa singkat, "andai aku tidak mengirim surat, kakak akan terkejut jika ayah tiba-tiba datang ke ibu kota."
Alsia mendengus pelan. Dia memandang tanah halus di antara kedua kakinya.
"Arsa ... Aku memiliki semua mimpi yang cukup tinggi. Sangking tingginya terkadang aku berpikir jika semua yang aku lakukan tidak cukup untuk mencapai mimpi itu. Menurutmu ... Apa yang harus aku lakukan?"
Perempuan bermata biru cerah itu mengubah posisi. Kini matanya memandang langit orange yang makin gelap. Dengan melihat dari raut wajah serta nada bicaranya, Arsa sadar jika sang kakak telah melepaskan semua topengnya dan itu membuat Arsa merasa tidak enak.
Seperti ketika ada seseorang yang memberikan kita hadiah ulang tahun tapi kita sendiri malah tidak memberikan apa-apa ketika orang itu berulang tahun meski kita memiliki cukup uang untuk membeli hadiah. Perasaan seperti itulah yang kini tengah Arsa alami.
"Aku tahu, sekedar ucapan semangat tidak akan membantu kakak. Aku tidak tahu kakak ingin mengapai mimpi seperti apa. Akan tetapi, jika aku jadi kakak aku akan tetap melakukan semua yang aku bisa untuk mengapai mimpi itu."
"Namun, andai kata aku tetap tidak bisa mengapainya aku tidak masalah dengan itu. Dulu, kakak pernah bilang bukan. Dalam hidup itu kita harus melakukan kesenangan. Dengan begitu setidaknya kita masih bisa menikmati prosesnya."
Arsa mengatakan kalimat terakhir dengan senyuman paling indah yang pernah Alsia lihat dalam hidupnya.
"..."
Perempuan itu tidak mengatakan apa-apa sebagai balasan. Raut wajah yang sebelumnya terlihat lelah kini kembali datar. Itu membuat Arsa merasa aneh.
"Apa kata-kataku ada yang salah?" pikirnya sambil tetap mempertahankan senyuman manis.
Arsa sedikit panik. Keringat dingin juga mulai keluar di wajahnya. Alsia memalingkan pandangan, menatap area pertarungan. Detik berikutnya Arsa mendengar samar-samar suara tawa.
"Ahahahaha! Kenapa kau membuat wajah aneh seperti itu Arsa?"
Tangan Alsia terangkat lalu mengacak-acak rambut sang adik. "Terima kasih atas saranmu," senyuman tulus terbentuk di wajah perempuan bermata biru cerah bak langit siang itu.
Arsa kemudian meneguk ludah. Tatapan matanya seakan menunjukkan jika ia hendak menceritakan rahasia yang selama ini sudah ia jaga.
"Kakak, sebenarnya aku ini—"
Sring!
Ucapan Arsa terhenti karena sebuah pedang tiba-tiba terhempas ke arah mereka. Beruntung, reflek cepat keduanya bisa membuat mereka tak terluka.
Arsa memandang ngeri pada pedang besi yang tertancap di tanah itu. Alsia langsung menoleh ke asal pedang itu terhempas.
Dalam sekali lihat dia langsung tahu siapa pelakunya. Itu Lyra. Wajahnya panik setengah mati.
"Lyra!"
"Mo-mohon maafkan saya! Tuan muda dan Nona muda. Saya bersalah."
Perempuan dengan tinggi sekitar 148 cm itu menundukkan badannya.
"... Gadis pendek itu rupanya memiliki teknik berpedang yang mirip dengan milikku, ya."
.
.
.Malam telah tiba. Arsa memberitahu jika teman-temannya akan menginap selama tiga hari. Ruang makan pun kini lebih ramai dari biasanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Became The Side Character's Older Sister
Fantasía[Vote dulu sebelum membaca] [Dan kalo bisa jangan lupa follow] Karnika, salah satu fans dari antagonis sebuah novel. dia meninggal karna bom bunuh diri. bukannya pergi ke neraka atau surga karnika malah terlahir kembali di dalam novel favoritnya itu...