23. tujuan (3)

1.1K 138 15
                                    

Meski di luar terlihat ketakutan, di dalam pikirannya Alsia sedikit bersemangat. Bagi Alsia sensasi Ini sama seperti saat jatuh dari lereng. Perasaan ketika sedang diambang kematian.

Gadis kecil itu menatap tangannya yang gemetaran.

Dia melirik sang ayah. Wajah Mikael dipenuhi oleh ketakutan dan kepanikan.

Mikael berjongkok, memeluk erat sang putri dang menggendongnya. Tangan Mikael terangkat untuk mengelus lembut kepala Alsia.

"Maaf, Ayah tidak tahu kau ada di sana. Maaf ya,"

Selain Mikael, kepala pelayan juga terkejut akan kehadiran Alsia yang bersembunyi di ruang rahasia.

"Bawakan kotak obat," titah Mikael yang langsung dilakukan kepala pelayan.

Mata Alsia sedikit berkaca-kaca, dia harus berakting.

"Aku takut."

Mendengar kata-kata itu dari mulut sang putri membuat dada Mikael serasa di sayat oleh pedang. Pelukan Mikael makin erat.

"Maaf sudah membuatmu ketakutan."

Mikael menatap wajah sang putri. Dia menyeka air mata yang keluar dari mata sang putri.

Kepala pelayan datang dengan membawa kotak obat. Mikael mendudukkan putrinya di meja kerja. Membuka kotak obat dan mulai menyeka darah yang masih menetes.

"Ugh," Alsia meringis ketika Mikael mengoleskan obat pada luka yang membuatnya terasa perih.

Mikael melakukan pengobatan simpel dengan lembut dan seksama. Kekhawatiran muncul di matanya.

"Maaf, ayah tidak berniat melukaimu."

Itu benar, tujuan Mikael adalah langsung membunuh mata-mata yang tengah mengintip dalam sekali serang. Jika saja Alsia tidak menghindar maka dia akan mati. Serangan itu tertuju tepat pada dahinya. 

"Bagaimana bisa kau ada di sana, Alsia?"

Kedua pemilik mata biru cerah itu saling bertatapan, Alsia kemudian menundukkan pandangannya. 

"Lorong rahasia."

Mikael menghela nafas panjang, "begitu ya. Untung saja tadi kau berhasil menghindar, jika tidak," pria itu merapikan poni di bagian kanan, "aku akan menyesal untuk seumur hidup," sambung Mikael dalam pikirannya.

"Kenapa Ayah melempar pisau? Aku ketakutan, tau."

"Maaf, ayah pikir kau orang jahat."

Mikael mulai merapikan kotak obat tadi. Alsia diam, dia bimbang, ini bisa menjadi kesempatan untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari Mikael tapi pria itu bisa saja curiga jika Alsia tiba-tiba bertingkah seperti orang dewasa. 

Tanpa Alsia sadari, Mikael terus memperhatikan ekspresi wajah sang putri. Dia memberikan kode agar kepala pelayan segera keluar.

"Tanyakan saja hal yang mau kau ketahui, Alsia. Ayah akan menjawabnya."

Mendengar itu Alsia tersentak, dia melirik sang ayah sekilas kemudian langsung mengeluarkan semua unek-unek dalam kepalanya.

"Sebenarnya apa saja yang ayah rahasiakan, tidak, lebih tepatnya apa saja yang ayah tutupi dariku? Kenapa juga tingkah laku pelayan di sini berbeda dengan di rumah? Di rumah para pelayan bersikap seperti patung, kenapa mereka begitu takut pada ayah?

kenapa juga ayah tidak tinggal di ibukota? Bukankah ayah dulunya bangsawan dari ibukota? Kemudian bagaimana dengan pasukan pemburu vampir? Ayah belum menjelaskan apapun padaku.

Apa ayah benar-benar ingin aku menjadi penerus keluarga ini dan apa tujuan ayah sampai begitu ingin aku mendapatkan posisi penerus? Apa ayah tidak kasihan pada Arsa?

Became The Side Character's Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang