BAB 13 ~ 💔 HANCUR 💔

39 2 0
                                    

Yuhuuuu ... bab baru sudah up, ya.

Ini masih seputar sahabat Debby dulu, ya, si Fanny dan Koko kesayangannya.

Yuk, langsung baca aja.


Happy reading, ya!



💔💔💔


Indra pendengaran Fanny tiba-tiba menangkap suara gelas kaca membentur meja kayu yang datangnya seperti dari kejauhan. Wanita itu hanya diam membeku menatap nanar ke arah Niel. Lelaki itu menoleh ke belakang dengan cepat, lalu memelesat ke arah Fanny.

"Ya ampun, Fan! Kok bisa jatuh sih? Awas! Gelasnya menggelinding!" seru Niel.

Fanny yang sesaat merasa bagai tersihir akhirnya gelagapan dan menunduk ke arah meja makan. "Eh, ini terlepas gitu aja dari tanganku. Gelasnya licin, Ko."

Dengan sigap, pria bermata sipit itu berhasil menangkap gelas kaca yang baru saja terjun bebas sebelum mencapai lantai. Namun, tumpahan sari buah jeruk di atas meja sudah mengucur dan menetes-netes ke permukaan granit di sekitar kaki Fanny. Niel pun meletakkan gelas itu kembali ke atas meja.

Lelaki itu bahkan sempat berseru kepada Fanny untuk berhati-hati, tetapi terlambat. Fanny yang berputar dengan cepat dan hendak berlalu untuk mengambil tongkat pel justru hilang keseimbangan ketika salah satu kakinya yang tanpa alas itu menginjak genangan sari buah. Fanny yang hampir terjengkang ke belakang memekik kaget dan tangannya terulur berusaha menggapai tepi meja.

"Astaga, Fan!" seru Niel tertahan.

Gerakan tangan Niel yang cepat berhasil menjangkau siku tangan Fanny. Namun, wanita bertubuh kurus itu lagi-lagi memekik kaget ketika tarikan tangan Niel membuat separuh tubuh bagian depannya menubruk dada bidang milik Niel. Secara refleks, tangan Fanny langsung mencengkeram lengan atas Niel untuk dijadikan pegangan.

Jantung Fanny memukul-mukul rongga dadanya dengan cepat dan keras. Ia tidak yakin apa jantungnya bertingkah seperti itu karena syok dirinya hampir terjatuh atau karena bertubrukan dengan lelaki yang kini berdiri di hadapannya. Niel pun sudah membuat jarak di antara mereka. Kedua tangannya kini mencengkeram masing-masing siku Fanny.

"Kamu enggak apa-apa, Fan?" tanya Niel dengan nada khawatir. Kepalanya menunduk memandang Fanny dengan kening berkerut.

Fanny belum bisa mengeluarkan suara. Ia hanya mengangguk dengan cepat. Niel pun langsung memutari ujung meja untuk menarik salah satu kursi makan terdekat tanpa melepas salah satu cekalan tangannya. Lelaki itu mendudukkan Fanny dengan hati-hati di sana, lalu berjongkok. Kedua tangannya kini memegang lutut Fanny.

"Kakimu enggak terkilir? Apa ada yang sakit? Coba gerakkan sedikit kakimu!" Fanny pun menuruti perintah Niel.

"Enggak sakit?" Pandangan mata Niel yang sebelumnya tertuju pada kedua kaki Fanny kini sudah beralih menatap mata sipit wanita itu. Kerutan di antara kedua alis Niel belum sirna.

Fanny yang masih belum bisa bersuara, kembali menggerakkan kepalanya. Kali ini, bergerak ke kanan dan ke kiri sebagai jawaban. Tatapan matanya tak pernah lepas dari gerak-gerik lelaki yang berjongkok di hadapannya.

"Kamu yakin?"

Fanny akhirnya buka suara. "Aku nggak apa-apa, Ko, cuma kaget aja."

"Hmm, ya sudah kalau gitu. Kamu duduk diam dulu di sini, biar Koko yang bereskan ini semua." Lagi-lagi Niel mengacak-acak puncak kepala Fanny begitu bangkit berdiri.

"Memangnya Ko Niel tahu di mana letak alat-alat pembersih?" tanya Fanny dengan memasang tampang cemberut lagi. Jari jemari tangannya pun bergerak merapikan rambut yang tadi diacak-acak oleh pria itu.

"Gampang kalau cuma itu." Niel pun menjentikkan ibu jarinya dengan jari kelingkingnya. "Tinggal tanya sama yang punya apartemen bisa, 'kan?" Lelaki itu menggoda Fanny dengan menaikturunkan kedua alisnya. Fanny hanya membalas dengan mencebikkan bibir tipisnya.

Tak seperti sangkaannya semula, ternyata lelaki itu berhasil menemukan tempat penyimpanan alat-alat kebersihan. Hal ini membuat Fanny jadi bertanya-tanya apakah lelaki itu suatu saat dahulu pernah menggeledah apartemennya. Melihat lelaki bertampang oriental itu mau repot-repot menggerakkan tongkat pel membuat Fanny tak enak hati hanya berdiam diri saja. Ia pun bangkit berdiri untuk mengambil kain lap dan membasahi dengan air keran.

"Ya ampun, Fan! Disuruh duduk diam malah jalan-jalan! Nanti kalau terpeleset lagi gimana?" tegur Niel sembari tangannya terus bergerak mengepel lantai.

"Sudah aku bilang kalau aku bukan anak kecil lagi, Ko! Nggak perlu sampai kayak gitu! Lagian mana ada tamu mengepel, sedangkan tuan rumahnya malah ongkang-ongkang kaki," protes Fanny dengan nada sedikit sengit.

"Eh? Kok jadi marah?" Niel sempat menghentikan sesaat gerakan tangannya. "Oke, oke. Koko minta maaf. Sudah, jangan marah! Nanti mana ada yang mau sama kamu kalau kamu marah-marah terus kayak gitu, hmm? Sudah! Ayo, mana senyumnya?" pinta Niel.

Fanny yang tengah mengelap meja mengeratkan genggaman tangannya pada kain lap. Buku-buku jarinya sampai memutih. Bibir bawahnya menjadi sasaran gigitan gigi-gigi putih yang berderet di dalam rongga mulutnya. Kedua kelopak matanya mengerjap-ngerjap, menjernihkan pandangan yang sedikit kabur. Helaan napas panjang lolos dari bibir tipisnya. Setelah sesaat, kepalanya terangkat dan tatapannya terarah pada Niel yang sudah kembali mengepel.

Fanny menggerakkan kedua ujung bibirnya ke atas dengan susah payah dan perlahan-lahan sebelum berkata, "Koko tenang aja! Koko nggak perlu ikut memikirkan masalah itu, tapi terima kasih karena sudah mencemaskan aku. Ngomong-ngomong, setelah ini aku mau istirahat, Ko. Yang lain-lain biar besok aja aku yang bereskan. Koko pulang aja habis ini."

"Ha?" Perkataan Fanny rupanya mengejutkan pria itu. Bibir tegas Niel sampai ternganga dibuatnya. "Eh, oke. Biar Koko bereskan peralatan ini dulu."

Fanny tengah memeras kain lap di bak cuci piring ketika Niel menghampirinya. "Kamu yakin enggak apa-apa? Apa mau Koko hubungi Steven biar menemanimu di sini? Supaya menginap di sini malam ini?"

Fanny yang sudah menguatkan hati langsung tersenyum mendengar kecemasan Niel. "Nggak perlu sampai memanggil Ko Steven. Dia malah panik nanti. Aku nggak apa-apa kok, cuma lelah. Pengin langsung istirahat."

"Baiklah, kalau gitu. Koko pulang sekarang, ya?" Niel kembali mengacak-acak rambut Fanny sebelum berlalu menuju pintu apartemen.

Wanita kurus itu hanya mengekor Niel tanpa bersuara. Kali ini, ia tidak berusaha untuk merapikan rambutnya yang kembali diacak-acak oleh pria yang sudah berjalan di depannya. Fanny membuka sedikit pintu apartemennya ketika lelaki itu tengah memakai alas kaki. Selesai memakai sepatu kets, lelaki itu kembali mengingatkan Fanny untuk berhati-hati dan menyuruhnya untuk segera beristirahat.

"Sudah sana! Enggak usah mengantar Koko. Langsung kunci pintunya!" titah Niel sebelum pintu ditutup oleh Fanny.

Begitu pintu ditutup, Fanny tak kuasa membendung air mata yang sedari tadi ditahannya. Tubuhnya merosot ke lantai bersandarkan pintu. Ia masih berusaha untuk tidak mengeluarkan suara, takut jika pria yang baru saja meninggalkannya mendengar isak tangisnya.





💔💔💔

Nah, nah, nah ... ada yang nangis 'kan!

Gimana nasib Fanny selanjutnya? Tungguin dua hari lagi, ya!


Jangan lupa tinggalin jejak, ya. Xie-xie


Sampai jumpa dua hari lagi ...  👋👋



Selasa, 03 Oktober 2023

WANITA INCARAN CEO AROGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang