BAB 48 ~ 💑 JANJI AKHIR PEKAN 💑

17 1 0
                                    

Selamat berhari Minggu ...

Maaf, baru bisa update sekarang. Mulai bab ini bakal update tiga hari sekali ya. Sampai kondisi memungkinkan, diusahakan update kembali seperti semula.

Oke, gak usah panjang lebar. Yuk, langsung otewe baca aja....


Happy reading ....


💑💑💑


"Maaf? Barusan Bapak bilang apa?" tanya wanita di ujung sambungan telepon dengan nada sedikit meninggi.

"Aku tahu kamu mendengarnya." William lalu mengembuskan napas panjang. "Maaf, gak seharusnya ... belum saatnya aku bilang gitu." William memijit pangkal hidungnya.

'Dasar bodoh kamu, Will! Jangan gegabah!'

"Maaf, bisakah kita bertemu di luar urusan pekerjaan?" ulang William sesaat kemudian. "Jika bertemu di malam hari terdengar seperti kencan romantis bagimu, bagaimana kalau kita bertemu di siang hari?" tawar lelaki itu lebih lanjut. "Aku gak keberatan asalkan Debby merasa nyaman."

Ada jeda lagi selama beberapa detik. Sekarang, sudah tidak terdengar lagi bunyi klik seperti beberapa saat yang lalu.

'Apa aku sudah mendapat perhatianmu sekarang?'

Sambil menunggu jawaban dari seberang telepon, William kembali melihat-lihat media sosial milik wanita itu. Dalam hati ia juga memohon, "Jangan menolak lagi kali ini, please! Bilang aja 'iya'."

"Maaf, Pak, akhir pekan ini saya tidak bisa," ucap Debby setelah waktu yang terasa sangat lama bagi William.

"Boleh aku tahu alasannya?" kejar William.

"Saya sudah ada janji akhir pekan ini."

William langsung menutup matanya selama beberapa detik. Kepalanya disandarkan ke belakang. Kursi yang ia duduki juga diputar membelakangi layar laptop yang tengah menampilkan gambar-gambar desain hasil rancangan si wanita di ujung telepon.

Ia kembali kecewa. Berbagai spekulasi berseliweran dalam otaknya hanya dari kata-kata yang digunakan oleh Debby. Namun, ia tidak patah arang.

"Kamu bilang akhir pekan ini gak bisa, 'kan? Berarti lain waktu kamu bersedia?" pancing William. Kepalanya masih disandarkan ke belakang.

Kini, giliran Debby yang mengembuskan napas di ujung telepon. "Kita lihat saja nanti, Pak."

Lama sesudah sambungan telepon terputus, William masih merenung di kursi kerjanya. Kesepuluh jari jemarinya yang direnggangkan saling bersentuhan pada ujung-ujungnya dengan kedua pergelangan tangan diletakkan pada perutnya yang datar. Kepalanya pun masih betah menempel di sandaran kursi dengan kelopak mata yang kembali menutup. Di antara kedua alisnya yang tebal, ada kerutan halus sekarang.

Jawaban yang diberikan Debby sebenarnya tidak memuaskan bagi William, tetapi ia diharuskan puas dengan jawaban itu. Setidaknya untuk kali ini, wanita itu tidak serta-merta langsung menolak ajakan William. Perasaan yang mau tidak mau harus ia terima ini sama seperti perasaan rindu yang kini kerap muncul mewarnai hari-harinya.

Rasanya ia selalu ingin bertemu dengan wanita itu, tetapi hingga kini ajakannya selalu ditolak. Ia pun tidak memiliki foto diri wanita berambut panjang itu. Jadi, ketika perasaan rindu datang melanda ia harus puas hanya dengan mendengar suaranya saja. Itu pun masih dengan catatan jika panggilannya diterima.

"Ya, Tuhan! Seberapa sulitnya bagimu untuk membuka hati buatku? Adakah sesuatu yang sudah membuatmu jadi begini di masa lalu? Kamu pasti punya alasan sendiri, tapi aku ingin tahu semuanya tentang dirimu. Aku gak keberatan kalau harus mengupas satu demi satu lapisan yang melingkupimu saat ini," gumam William sembari menggerakkan kursi kerjanya ke kanan dan ke kiri dengan lambat.

WANITA INCARAN CEO AROGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang