BAB 14 ~ 💪 BERUSAHA TEGAR 💪

31 3 0
                                    

Yang udah kepo gimana kelanjutan kisah cintanya Fanny, yuk, langsung cus baca aja!

Bab baru udah tayang, ya.


Happy reading!!



💪💪💪


Begitu pintu menutup di belakangnya, Niel berbalik sebentar untuk menatap lurus-lurus ke arah pintu. Dengan menghela napas panjang, Niel mengacak-acak rambutnya sendiri dan berbalik dengan cepat menuju mobilnya terparkir.

Sesampainya di dalam mobil SUV warna hitam, Niel tak kunjung menyalakan mesin, hanya duduk berdiam diri. Beberapa detik kemudian, keningnya diletakkan di atas kedua punggung tangan yang tengah memegang kemudi mobil di bagian atas. Sesekali, keningnya dibentur-benturkan dengan pelan ke punggung tangan yang berada di bawahnya.

"Apa yang ada di dalam otakmu, Niel?" geramnya pada diri sendiri.

"Fanny itu sudah kayak adikmu sendiri!" kecamnya lagi beberapa saat kemudian.

Bayangan mereka berdua yang setengah berpelukan kembali muncul dalam kepalanya. Sejak tadi, bayangan tersebut tak mau menghilang dari isi kepalanya, selalu kembali setiap kali pikirannya kehilangan fokus. Selama ini, tak tebersit satu kali pun dalam otaknya kalau Fanny sekarang telah menjelma menjadi wanita dewasa. Sepanjang hubungan mereka yang terjalin selama puluhan tahun, ia selalu menganggap Fanny sebagai adik kecil yang harus selalu dijaga dan dilindungi. Gadis kecil yang imut dan menggemaskan, yang selalu mengekor ke mana pun ia dan Steven—kakak lelaki Fanny—pergi atau bermain.

Namun, sejak peristiwa tubrukan di dalam apartemen Fanny tadi, matanya kini seolah-olah menjadi terbuka lebar. Terlebih lagi ketika dengan tidak sengaja lengannya menyenggol daging kenyal yang tumbuh di bagian atas tubuh Fanny. Lekukan tubuh gadis itu pun menjadi nyata terpampang di depan mata. Di sepanjang usia dewasanya selama berhubungan dengan Fanny, otak Niel tak pernah terkontaminasi oleh hal-hal semacam itu meskipun Fanny mengenakan pakaian minim seperti malam ini, hanya celana pendek setengah paha dan kaus tanpa lengan yang pas badan.

Niel pun bukannya tak pernah memeluk Fanny atau bersentuhan kulit dengan kulit—yang mana itu jarang terjadi, tetapi ketika hal itu terjadi pun bukan dalam konteks yang intim. Namun malam ini, untuk pertama kalinya, ia baru menyadari bagaimana rasa kulit Fanny ketika bersentuhan dengan kulitnya sendiri. Ia bisa merasakan betapa halusnya kulit lengan Fanny tadi atau lututnya. Jadi, peristiwa malam ini sungguh telah mengguncang hati dan pikirannya. Hanya dengan satu ketidaksengajaan telah membuatnya menyadari keberadaan Fanny sebagai wanita dewasa.

"Ya, Tuhan!" Niel mengusap-usap wajahnya dengan kasar menggunakan kedua telapak tangannya. Sikunya masih bertumpu pada kemudi mobil.

"Singkirkan pikiran-pikiran itu dari gambaran Fanny selama ini, Niel! Kalau Fanny sampai tahu pikiranmu saat ini, dia pasti bakal lari terbirit-birit ketakutan. Huh!"

Tiba-tiba Niel tertawa miris. "Ya ampun, kayaknya bukan cuma Fanny yang bakal lari ketakutan, 'kan? Bukankah dirimu sendiri juga lari tunggang langgang tadi? Kamu ingin cepat-cepat menghilang dari hadapan Fanny, 'kan? Astaga! Bahkan kamu enggak tersinggung setelah diusir!"

Sekali lagi, Niel membuang napas kasar. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tangannya mulai bergerak untuk menyalakan mesin mobil. Tak lama kemudian, Niel pun telah membelah jalanan ibu kota menuju tempat usahanya menanti.

*****

Tak sampai dua menit sejak pintu ditutup, suara isak tangis pun mulai terdengar. Awalnya lirih, tetapi lama-kelamaan semakin kencang. Kepala berambut sebahu itu tertelungkup di atas lipatan lengan yang bertumpu pada kedua lutut. Bukan hanya bahunya saja yang bergerak naik turun, tetapi bahkan seluruh tubuh kurusnya ikut berguncang-guncang seiring dengan tangisnya yang semakin keras dan mengguguk. Napasnya bahkan sampai tersengal-sengal. Sesekali, ia berhenti menangis hanya untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya. Rongga dadanya terasa sesak.

"Ya, Tuhan! Rasanya sakit banget. Koko jahat!" gagap Fanny di sela-sela tangisnya. Satu tangannya memukul-mukul dadanya dengan pelan.

Beberapa menit telah berlalu. Posisi Fanny masih meringkuk di lantai sama seperti ketika ia pertama kali mulai mengeluarkan air mata. Namun, kini sudah tidak terdengar suara tangis lagi, hanya suara sesenggukan sesekali.

Kepalanya sekarang terangkat dan bersandar pada pintu. Matanya terasa berat dan berpasir, sedangkan hidungnya yang sedikit melengkung dan bagian bawahnya membulat seperti kancing terasa perih karena gesekan. Kedua lengannya terulur lurus ke depan, bertopang pada kedua lutut. Bahunya masih melorot tak bertenaga. Sesekali, salah satu tangannya bergerak mengusap pipinya yang masih dialiri air mata. Celana pendek dan kaus yang dikenakannya pun sebagian sudah basah.

Menit demi menit pun kembali berlalu begitu saja sampai akhirnya Fanny bergerak untuk bangkit berdiri. "Ugh! Ya, Tuhan," rintih Fanny. Lantai yang dipijaknya terasa bergoyang. Dengan susah payah, ia bertumpu pada pintu untuk mengangkat tubuhnya yang terasa lemas.

Fanny berjalan gontai menuju kamar tidurnya dengan tangan sesekali bertumpu pada dinding. Di depan cermin, ia melihat sosok yang tampak sangat menyedihkan. Mata sipitnya sembab dan kemerahan, kantung matanya membengkak, begitu pula dengan ujung hidungnya yang membulat, merah dan berair. Air mata yang mengering di pipi juga membentuk jalur-jalur yang tak sedap dipandang.

Lama dipandanginya wajah persegi di hadapannya. Akhirnya, Fanny menghirup napas dalam-dalam dan membuangnya dengan menggelembungkan pipi. Ia mengeluarkan napasnya dengan perlahan-lahan melalui mulut yang dikerucutkan. Berharap rasa sakit yang ia rasakan selama ini ikut menghilang bersama napas yang ia embuskan. Ia pun memutuskan untuk membuang asa yang selama bertahun-tahun ini telah bercokol di dalam hatinya meskipun berat rasanya.

"Baiklah, Ko." Fanny membungkuk untuk bertumpu pada meja rias dan menatap bayangannya di cermin dengan lekat-lekat. Kepalanya masih terasa sedikit pening, tetapi diabaikannya rasa sakit itu. Ia lalu menunduk dan mengambil salah satu bingkai foto berisi wajah pria yang beberapa saat yang lalu baru saja meninggalkan apartemennya.

Setelah mendesah sekali lagi, Fanny lalu berkata pada wajah di dalam bingkai, "Mungkin Koko bukan untukku. Bahkan setelah apa yang aku lakukan selama ini buat Koko, kayaknya itu semua nggak berhasil membuat Koko menyadari perasaanku. Ah!" Tiba-tiba Fanny mendongak dan menatap bayangannya di cermin. "Jangan lupakan fakta kalau di mata Koko, kamu itu cuma anak kecil, Fan! Hah!"

Kenyataan tersebut membuat Fanny kembali merasa sengsara. Ia pun akhirnya duduk di bangku dan meletakkan kembali bingkai foto dengan posisi tertelungkup. Kedua tangannya diletakkan begitu saja di atas meja. Begitu pula dengan kepalanya, ikut menelungkup. Keningnya diketuk-ketukkan dengan perlahan di permukaan meja.

"Ya, Tuhan! Rasanya berat banget. Tolong aku, Tuhan!" rintih Fanny pilu. Isak tangis kembali lolos dari bibirnya yang tipis meskipun lirih.

Setelah semenit, Fanny kembali mengangkat kepalanya. "Ya, Tuhan! Sudah cukup, Fan! Ayo, jangan nangis lagi!" Sayangnya, apa yang diucapkan oleh sang bibir tak didukung oleh bahasa tubuhnya yang masih tak bersemangat.

Fanny mendesah sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Ia berusaha mengembalikan semangat yang hilang dalam dirinya. Setelah sesaat, ia kemudian berkata pada bayangan di dalam cermin.

"Bukankah selama ini kamu selalu berhasil melewati kesedihanmu? Kali ini, kamu juga pasti bisa, Fan! Ayo, sekarang harus benar-benar move on, jangan cuma cari pelarian aja! Kamu harus bisa melepas Ko Niel sekarang!"

Ditepuk-tepuknya dengan pelan kedua pipinya untuk memberinya semangat. Ia lalu mengeringkan matanya yang basah dan membuang ingus dengan tisu yang ia sambar dari tempatnya di tepi meja rias. Namun, ketika netranya kembali menangkap pantulan dirinya di cermin, rasa putus asa itu kembali mendera.

"Bisakah?"





💪💪💪

Kira-kira bisa nggak, ya?

Bisalah, ya. Kamu berhak bahagia, Sayang.


Tungguin kelanjutannya di episode depan, ya!

Jangan lupa klik bintang dan kasih komen, ya. 

Terima kasih. 🥰



Kamis, 05 Oktober 2023 

WANITA INCARAN CEO AROGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang