Yuks, cari tahu kelanjutan Debby sama Fanny yang lagi adu mulut di bab ini.
Langsung cus baca aja, yuks....
Happy reading ....
👄👄👄
"Ssst! Tolong kecilkan suaramu!" desis Debby.
Suara dengkusan yang keluar dari hidung Fanny menjadi jawaban spontan dari permintaan Debby. Dada wanita itu kembang kempis. Mata sipitnya pun semakin lenyap karena sekarang ia memicingkan keduanya. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus yang kaku.
Debby mengulang sekali lagi permintaannya untuk bicara di dalam apartemen. Sekali ini, Fanny merespons permintaan Debby meskipun dengan raut wajah kaku. Wanita bertubuh kurus itu pun melangkah mendekati pintu apartemen.
"Kalau nggak kuturuti, kamu tetap akan maksa, 'kan?" tanya Fanny dengan ketus. Biarpun terlihat tidak senang, jari telunjuk Fanny tetap bergerak memasukkan kode akses.
"Benar." Debby mengekor sahabatnya.
Keduanya lalu beriringan masuk ke apartemen. Namun, Fanny rupanya benar-benar tidak berniat untuk mengundang Debby masuk ke apartemen karena ia tak bersedia melangkah lebih jauh dari foyer. Fanny tiba-tiba berbalik dan kembali melipat kedua lengannya di depan dada. Wanita itu lalu mengatakan dua patah kata dan selebihnya hanya menatap Debby dengan pandangan tajam dan menusuk.
Debby mengembuskan napas panjang sambil menutup pintu di belakangnya yang sepertinya tidak akan dilakukan oleh sang pemilik apartemen. "Aku mau kita berbaikan, Fan. Aku nggak mau persahabatan kita hancur karena masalah kemarin." Debby mengulang kembali maksud kedatangannya kemari dengan lebih hati-hati.
Fanny menaikkan satu alisnya. "Kenapa? Takut kusemprot lagi?"
Debby menggelengkan kepala. "Bukan. Aku cuma nggak mau menambah panas suasana. Kayaknya kata itu jadi sensitif buatmu sekarang. Aku ke sini mau berbaikan sama kamu, bukan memperpanjang pertengkaran."
Fanny mendengkus dan tersenyum sinis. "Kenapa? Kenapa kita harus berbaikan?"
Debby lagi-lagi mengembuskan napas panjang. "Kamu nggak akan mempermudah hal ini, ya?"
"Memang!" cetus Fanny dengan dagu sedikit terangkat.
"Sekali lagi, aku minta maaf kalau kata-kataku atau sikapku kemarin sudah menyinggungmu atau membuatmu nggak suka. Tapi perasaan seseorang nggak bisa dipaksakan, Fan!"
"Benar! Perasaan seseorang memang nggak bisa dipaksakan," timpal Fanny membeo. Namun, indra pendengaran Debby menangkap hal lain. Ia mengernyit ketika menangkap nada getir dalam suara Fanny.
"Buatmu ini mungkin masalah sepele! Cuma! Hah!" lanjut Fanny kemudian dengan nada yang kembali meninggi. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu itu harapanku satu-satunya! Tapi kamu malah membuatku kecewa!" Jari telunjuk Fanny pun tak tinggal diam. Ujung kukunya yang dipotong melengkung dan terpoles warna hijau army menekan bahu kiri Debby.
Debby kembali mengernyitkan kening. "Harapan? Harapan apa?"
"Kalau kamu bisa membuat Ko Niel bahagia!"
Kerutan Debby semakin dalam. Kepalanya pun ikut menggeleng-geleng. "Kamu ini omong apa sih? Aku sama sekali nggak ngerti deh. Omong-omong, bisakah kita bicara sambil duduk?"
"Kamu ini banyak maunya, ya? Tadi minta bicara di dalam. Sekarang sudah di dalam, minta duduk!"
"Oke, oke!" sambar Debby dengan cepat. Stok kesabarannya pun mulai menipis. "Berdiri di sini juga nggak masalah! Terserah maumu! Tapi apa hubungannya aku sama kebahagiaan Ko Niel-mu itu?" tuntut Debby. Nada suaranya pun mulai ikut meninggi. Namun, belum sempat ia menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, ia tiba-tiba dikejutkan dengan jeritan Fanny. Debby sampai ternganga dibuatnya.
"Dia bukan Ko Niel-ku!" Selesai menyemburkan bantahan tersebut Fanny langsung berbalik. Namun, Debby masih sempat menangkap kilauan air pada mata Fanny.
"Astaga, Fan! Kamu ini kenapa sih?" Melihat sang sahabat sampai menangis telah menyurutkan emosi Debby yang sempat naik dan kini justru digantikan dengan kekhawatiran.
Fanny kembali membelakangi Debby ketika wanita itu berusaha untuk menatap langsung raut wajah Fanny. "Waktu lima menitmu sudah habis! Kamu bisa keluar sendiri, 'kan?" usir Fanny dengan ketus.
Wanita berpostur 160 sentimeter itu kembali berbalik, tetapi kali ini langsung melangkah cepat melewati Debby. Dalam perjalanannya menuju ruang duduk, tanpa berhenti dan menoleh, Fanny kembali berkata, "Tolong sekalian tutup pintunya nanti. Dan ke depannya, kamu nggak perlu lagi mencariku." Nada suara Fanny terdengar gontai kali ini.
Debby sampai prihatin melihat kondisi sahabatnya yang emosinya naik turun seperti itu. Tanpa mengindahkan pengusiran Fanny, Debby justru menyusul wanita berambut sebahu itu ke ruang duduk.
Sesampainya di ruang duduk, Debby tertegun sejenak melihat sahabatnya tengah terguguk dengan suara tertahan. Tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya dibenamkan pada kedua telapak tangan dengan siku bertumpu pada kedua pahanya. Tas kerjanya teronggok begitu saja di lantai di samping sofa yang diduduki Fanny.
Fanny mulai mengeluarkan suara seperti tercekik ketika Debby akhirnya kembali melangkah dan duduk bersimpuh di depan wanita itu. Sentuhan tangannya pada kedua lutut Fanny membuat wanita itu tersentak ke belakang dan langsung mendongak. Wajah cantiknya sudah bersimbah air mata.
Serta-merta Fanny menghapus jejak tangisannya dengan kasar. "Kenapa kamu masih di sini?" tanya Fanny dengan sengit. "Bukannya aku sudah mengusirmu?"
Debby menggelengkan kepalanya berulang, tidak peduli dengan fakta tersebut. "Fan, ada apa sebenarnya? Akhir-akhir ini, kamu tuh kelihatan sensitif banget tiap kali bahas Ko Niel. Kamu kayak nggak suka kalau aku sebut Ko Niel itu kokomu. Bukannya kamu sendiri pernah bilang kalau kalian itu dekat banget kayak kakak adik?"
Fanny yang tiba-tiba merespons dengan mendengkus memancing pemikiran berantai di otak Debby. Sejurus kemudian, ia berseru, "Tunggu dulu ...!" Satu kesimpulan melintas di otaknya, tetapi Debby merasa tidak yakin. Ditatapnya lekat-lekat wanita di hadapannya yang tengah tertunduk.
"Apa pemikiranku ini benar, Fan?" tanya Debby dengan hati-hati. "Kalau kamu selalu menyangkal Ko Niel sebagai kokomu karena kamu menaruh perasaan padanya? Bukan sebagai kakak dan adik, tapi sebagai laki-laki dan perempuan dewasa?"
Fanny tidak menjawab sepatah kata pun, tetapi air mata yang kembali mengalir dan dibarengi dengan suara sesenggukan sudah cukup menjadi jawaban bagi Debby saat ini. "Oh, Fan!"
Serta-merta Debby mengangkat setengah tubuhnya untuk merengkuh Fanny ke dalam pelukan. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada Fanny, tetapi ia menahan lidahnya untuk saat ini. Ia hanya mampu menerka-nerka apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Isak tangis yang sejak tadi berusaha ditahan oleh Fanny pun akhirnya jebol juga. Suara yang keluar dari bibir Fanny sungguh menyayat hati. Debby sampai tak tega mendengarnya. Dibiarkannya sahabatnya itu mengeluarkan semua emosi yang ada di hatinya. Salah satu tangan Debby mengusap-usap punggung Fanny untuk menyalurkan ketenangan dan dukungan.
👄👄👄
Duh, duh, duh, ada yang ketahuan rahasia hatinya.
Gimana nasib Fanny selanjutnya???
Cari tahu di bab berikutnya, ya!!
Dadah bye-bye...
Jumat, 24 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
WANITA INCARAN CEO AROGAN
RomanceMohon bijak dalam memilih bacaan. Ada beberapa bagian yang mengandung bahasa kasar dan adegan kekerasan. 🙏 ****************** Debby sudah terbiasa menghalau para pria yang berusaha mendekati dirinya di luar pekerjaan. Saking terbiasanya, ia sudah t...