Happy reading!!!
🧐🧐🧐
Niel masih belum bisa menghubungi Fanny hingga saat ini. Nomornya memang tidak diblokir, tetapi semua panggilan maupun pesan tetap tidak ada yang direspons. Entah harus sampai kapan ia bersabar seperti yang diminta oleh Debby melalui pesan percakapan pada minggu lalu. Sama sekali tidak ada batas waktu yang jelas.
Namun, hidup terus berlanjut. Tidak mungkin juga bagi Niel jika ia hanya memfokuskan diri pada masalahnya dengan Fanny. Lelaki itu punya pekerjaan dan kehidupan pribadi yang harus ia perhatikan juga. Dengan berbesar hati, Niel akan memberikan ruang bagi Fanny yang ingin menjauh darinya.
"Baiklah, Fan, Koko enggak akan mendesak kamu terus-terusan. Kalau kamu mau menjauh dulu, Koko akan kasih kamu ruang. Tapi Koko harap kita bisa balik lagi kayak dulu," putus lelaki bertato itu pada akhirnya.
Meskipun begitu, Niel berniat untuk tetap memperhatikan dan memantau Fanny dari jauh kalau-kalau wanita itu membutuhkan dirinya. Biar bagaimana pun, kebiasaan-kebiasaan di antara mereka sebelumnya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Niel akan tetap berusaha untuk selalu ada bagi Fanny.
Pemilik Nath's Café itu tengah menghabiskan akhir pekannya kali ini bersama dengan sahabat-sahabat dekatnya. Kebetulan siang harinya, mereka mengajak untuk berkumpul bersama di luar. Melalui pesan pada grup percakapan, salah satu dari mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama-sama di suatu tempat. Lelaki tersebut mengusulkan tempat baru untuk dijadikan lokasi tongkrongan kali ini. Jadi, di sinilah mereka sekarang, sebuah kafe yang baru dibuka belum lama ini.
Niel pun terbawa suasana. Untuk beberapa saat, lelaki itu bisa menyisihkan Fanny dari pikirannya. Ia ikut terbahak-bahak kala satu di antara mereka tengah menceritakan kembali peristiwa konyol dan memalukan yang menimpa salah satu rekan mereka semasa kuliah dulu. Yunan—sang lelaki bertato yang menjadi objek cerita—ikut tertawa meskipun tidak sekeras rekan-rekannya yang lain.
Suara tawa dan senda gurau masih melingkupi meja berisi lima pria dewasa dengan berbagai macam tampilan itu hingga beberapa waktu kemudian. Suara-suara obrolan mereka ikut meramaikan suasana kafe yang memang sudah ramai sejak tadi, apalagi dengan cuaca yang sangat mendukung seperti malam ini. Mereka berlima seakan tidak peduli dengan sekitarnya.
Isi piring-piring camilan yang mereka pesan sebagai teman kopi pun sudah berkurang setengahnya. Di antara cerita-cerita yang terus mengalir dari keempat mulut lainnya, sesekali Niel menyeruput kopi yang ada di hadapannya. Hingga pada satu saat, ketika cerita mulai bergeser ke topik yang lain, lelaki bertato harimau itu merasa perlu untuk segera mengosongkan kandung kemihnya.
"Aku cabut bentar, Bro," pamit Niel pada sosok di sebelahnya. Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya seraya meletakkan salah satu tangannya pada bahu Edwin.
"Mau ke mana?" tanya Edwin.
"Kandung kemihku penuh."
Edwin hanya mengangguk sebagai respons. Niel pun segera bergegas menuju kamar kecil dengan bantuan penunjuk arah yang disediakan oleh pihak pengelola kafe. Selepas urusannya selesai dan hendak kembali ke tempat duduknya di salah satu pojok ruangan, langkah Niel tiba-tiba terhenti. Netranya terpaku pada bagian belakang sosok wanita yang tengah melangkah menuju pintu kafe.
Dari tempatnya berdiri, Niel merasa sangat yakin kalau wanita yang baru saja meninggalkan kafe itu adalah sosok yang selama beberapa waktu ini ia cari. Meskipun lelaki itu hanya melihat wajahnya dari samping dan hanya sempat melihat sekilas dari depan ketika wanita berambut sebahu itu menoleh, netranya tidak mungkin salah mengenali. Wanita itu bahkan tersenyum lebar.
Niel sedikit tenang melihat wanita itu tampak baik-baik saja. Namun, pikirannya segera teralihkan pada sosok pria yang mengiringi langkah Fanny. Pria kurus jangkung yang seingatnya belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Siapa pria itu?" gumam Niel. Kerutan muncul di antara kedua alisnya. "Apa mungkin lelaki itu penyebab Fanny menghindariku? Tapi kok aneh."
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hati Niel selagi kakinya kembali melangkah menuju meja di mana para sahabatnya masih bercengkerama. Keresahan hatinya mungkin terpampang di wajahnya karena salah satu sahabatnya, Yunan, tiba-tiba menyeletuk, "Kenapa, Bro? Lama amat? Apa terjadi sesuatu waktu di toilet tadi? Habis ketemu hantu atau gagal kenalan sama cewek cantik, ha?" Satu mata Yunan berkedip pada rekan-rekannya yang lain yang langsung disambut oleh mereka dengan gelak tawa.
Niel hanya bisa tersenyum kecut. "Sialan!" Gelak tawa kembali terdengar merespons jawaban lelaki itu.
Niel berusaha untuk mengikuti kembali obrolan sahabat-sahabatnya. Namun, hatinya tak mau kompromi dengan otaknya. Hatinya kembali resah memikirkan sosok wanita yang baru saja ia lihat.
Niel tidak senang melihat Fanny tersenyum bahagia untuk pria lain. Ada perasaan terusik yang mulai menggelitik hatinya. Lelaki itu sudah kenal dengan perasaan tersebut. Ia bukannya anak kemarin sore yang masih bau kencur soal relasi pria dan wanita, tetapi baru kali ini perasaan tersebut ditujukan pada Fanny. Tanpa sadar, Niel menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa sih, Bro?" tanya Yunan. "Badan di sini, tapi pikiran sepertinya di tempat lain nih?" Pria dengan lengan kanan dipenuhi tato naga yang setengah tubuhnya hingga kepala menghilang di balik lengan pendek kaus polonya itu lagi-lagi menginterupsi angan Niel. "Sepertinya benar gara-gara cewek nih. Betul, gak?" Yunan yang duduk tepat di hadapan Niel menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri meminta pendapat yang lain. Senyum geli terbit di wajahnya yang persegi.
"Ck!" decak Niel yang merasa sedikit terganggu dengan komentar Yunan.
Ucapan lelaki bertato naga itu juga membuat ketiga pria yang lain kini menatap Niel dengan penuh selidik. Pria yang duduk tepat di sebelah kanan Niel menepuk bahunya pelan. Tangannya masih bertengger di bahu kanan Niel ketika lelaki itu bertanya, "Ada masalah?"
Niel mengembuskan napas panjang. "Enggak ada." Mata sipitnya lalu menatap sekilas pada para sahabatnya. "Sori, aku harus pergi sekarang. Senang rasanya bisa kumpul lagi sama kalian kayak gini." Niel pun bangkit dari kursinya.
"Serius sudah mau pergi? Kau gak tersinggung dengan kata-kataku barusan, 'kan?" tanya Yunan. Punggungnya sedikit ditegakkan.
"Santai, Bro. Aku enggak sepicik itu."
"Kalau begitu, lain kali kita atur lagi acara kumpul-kumpul seperti ini," usul lelaki yang duduk di samping Niel.
"Atur aja, Win. Oke, aku cabut duluan, ya," pamit Niel pada keempat pria lain. Tangannya balik menepuk pelan bahu Edwin sembari kakinya melangkah menjauhi meja.
Begitu meninggalkan sahabat-sahabatnya di belakang punggung, pikiran Niel kembali tertuju pada Fanny. Lelaki itu masih terheran-heran dengan kesimpulan yang ia ambil sendiri. Niel tahu dengan pasti kalau ini bukan kali pertama Fanny menjalin hubungan dengan seorang pria. Namun, selama Fanny menjalin hubungan dengan orang lain, sikap wanita itu terhadap dirinya tetap sama, tetap baik, dan tetap dekat.
"Kenapa kali ini Fanny menjauh? Apa ada sesuatu yang disembunyikan Fanny tentang pria itu?"
Perubahan sikap Fanny masih menjadi misteri bagi Niel. Tanda tanya besar yang entah kapan baru akan mendapat jawabannya. Akhirnya, mengingat keputusan sebelumnya yang akan memberikan ruang bagi Fanny, Niel tetap hanya akan mengamati Fanny—dan sekarang ditambah dengan lelaki kurus jangkung itu—dari jauh. Ia berencana untuk memantau hubungan mereka.
"Kalau kamu bahagia, Koko akan melepasmu. Tapi jangan harap kalau yang terjadi malah sebaliknya! Koko enggak akan tinggal diam!" tekad lelaki bertato harimau itu.
🧐🧐🧐
Hohoho...!!! Ada yang panas kayaknya nih!!!
Nantikan terus kelanjutan cerita ini ya!!
Dadah bye-bye ...
Selasa, 12 Desember 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
WANITA INCARAN CEO AROGAN
RomanceMohon bijak dalam memilih bacaan. Ada beberapa bagian yang mengandung bahasa kasar dan adegan kekerasan. 🙏 ****************** Debby sudah terbiasa menghalau para pria yang berusaha mendekati dirinya di luar pekerjaan. Saking terbiasanya, ia sudah t...