BAB 24 ~ 🌞 SERANGAN FAJAR 🌞

39 1 0
                                    

Jeng ... jeng ... jeng ...!!!!

Gimana lanjutan kisahnya Debby - Niel??

Yuk, langsung cari tahu di bawah ini.


Happy reading, ya!!



🌞🌞🌞


Niel tersenyum kecil melihat respons Debby sebelum kembali memusatkan perhatian pada ponselnya. Selang beberapa saat kemudian, suara gemerincing halus kembali memasuki gendang telinganya. Lelaki yang tengah menyeruput cairan hitam dari cangkir putih itu segera menoleh mengikuti sumber suara yang baru saja melewati sisi kirinya.

Debby kini sudah duduk kembali di hadapannya. Namun, wajah wanita itu tampak datar. Tidak ada sama sekali jejak tawa bahkan senyum yang beberapa saat yang lalu menghiasi wajah bulat telurnya.

"Hmm, ke mana perginya senyum dan tawa tadi?" batin Niel sambil menelisik wajah bulat telur di hadapannya.

"Maaf, sudah membuat Ko Niel menunggu."

"Oh, enggak apa-apa. Ehm ... apa kamu tahu, Deb, kalau kamu semakin terlihat cantik dan manis saat tersenyum atau tertawa?"

"Apa?"

"Oh, aku enggak punya maksud apa-apa, cuma menyampaikan apa yang aku lihat aja kok. Kamu semakin cantik kalau tersenyum," puji Niel lagi, "dan bukan berarti sekarang enggak cantik, ya." Niel lagi-lagi melemparkan senyum kecil. Ia pun kembali mengangkat cangkir dan menyesap cairan hitam di dalamnya.

Namun, rupanya pujian Niel tak berpengaruh apa-apa pada wanita itu. Wajah Debby justru memperlihatkan kerutan di antara alis hitamnya yang melengkung indah. Tanpa menjawab apa-apa, Debby ikut meyeruput cairan cokelat dingin di hadapannya melalui sedotan.

"Apa aku sudah membuatmu enggak nyaman?" tanya Niel blak-blakan.

"Benar."

Niel spontan tertawa lepas mendengar jawaban Debby. Sesudah tawanya berhenti, barulah Niel meminta maaf. Debby hanya mendesah sebagai jawaban. Namun, tak lama kemudian suaranya yang merdu kembali terdengar.

"Begini, saya akan berterus terang kenapa saya mengajak Ko Niel untuk bertemu hari ini. Ehm, saya nggak mau ada salah paham di kemudian hari. Sebelumnya, saya minta maaf. Saya nggak tahu apa niat Koko sebenarnya, tapi saya akan menegaskan di awal kalau saya nggak ada niat untuk menjalin hubungan dengan siapa pun dalam waktu dekat ini."

"Apa?" Netra Niel seketika melebar. "Apa maksudmu?"

"Maaf, boleh saya menyelesaikan penjelasan saya dulu?"

"Oh." Niel pun serta-merta menganggukkan kepalanya. Ia masih terperangah dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh wanita di hadapannya.

"Saya sudah menyampaikan hal ini pada Fanny, tapi sepertinya Fanny punya pemikiran sendiri dan nggak mau mendengarkan keberatan saya. Jadi, sepertinya ini menjadi satu-satunya jalan bagi saya untuk menyampaikan maksud saya.

"Saya nggak mau memberikan harapan yang kemungkinan besar nggak akan bisa saya wujudkan pada orang lain. Jika asumsi saya salah, saya minta maaf karena sudah menarik kesimpulan dengan gegabah yang mungkin membuat Koko nggak nyaman. Tapi kalau asumsi saya benar, saya nggak mau menumbuhkan harapan orang lain. Saya nggak mau menyakiti perasaan siapa pun. Jadi, sebelum berkembang ke mana-mana, maaf, saya mau Koko menghentikan niat Koko, apa pun itu, sampai di sini saja."

'Apa-apaan ini?'

Niel sampai terpana sepanjang Debby bertutur. Begitu pulih dari keterkejutannya, lelaki itu justru tertawa. "Astaga! Kamu suka bicara terus terang, ya? Benar-benar enggak kusangka."

"Bukankah lebih baik seperti itu?"

Niel hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban. "Aku hargai kejujuranmu meskipun ... yah ...." Lelaki bertato itu sampai kehilangan kata-kata. Ia masih belum bisa memberikan tanggapan atas tuntutan Debby yang disampaikan dengan panjang lebar. Meskipun demikian, sebuah senyuman masih tertinggal di bibirnya.

"Baiklah! Karena saya sudah menyampaikan maksud saya ingin bertemu dengan Ko Niel, saya akan pamit sekarang. Ah, untuk minumannya biar saya saja yang bayar," ucap Debby sembari membereskan buku dan ponsel ke dalam tas.

"Oh, jangan! Biar saya aja yang bayar tagihannya."

"Ehm, maaf, saya nggak suka berutang pada orang lain. Kalau begitu, biar masing-masing dari kita membayar sendiri pesanan kita."

"Jangan, jangan! Biar aku yang bayar semua tagihannya. Please? Aku juga enggak suka jadi pihak yang dibayari, apalagi sama perempuan."

Debby terdiam sejenak. Akhirnya, ia mengangguk tanda setuju. "Kalau begitu, terima kasih."

"Tunggu sebentar," cegah Niel.

Debby yang hendak bangkit, urung meninggalkan meja. Kepalanya kembali menoleh, menatap Niel dengan penuh tanya.

"Hmm, aku paham maksudmu tadi, tapi kita juga sudah bertukar nomor ponsel, paling enggak ... bisakah kita berteman? Kayak kamu sama Fanny?"

Lagi-lagi Debby terdiam. Pandangan matanya masih tertuju pada Niel. Setelah mendesah, Debby menggelengkan kepalanya sekali seraya berujar, "Maaf, Ko, lebih baik nggak usah."

"Kalau aku butuh jasamu, gimana? Apa kamu tetap akan menolak?" desak Niel.

"Maaf, memangnya Ko Niel butuh jasa saya?" Debby justru balik bertanya dengan alis berkerut.

Niel mengangkat bahu. "Siapa yang tahu?"

Debby mendesah sebelum menjawab, "Kalau Koko memang butuh jasa saya, tentu saja saya nggak akan menolak. Saya sangat mencintai pekerjaan saya dan saya akan bersikap profesional. Saya harap Koko pun demikian, nggak mencampuradukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Hmm, apakah masih ada lagi?"

"Apa?"

"Saya rasa saya sudah menyampaikan semua yang ingin saya utarakan. Jadi, saya akan pamit sekarang."

Sesudahnya, Debby langsung bangkit berdiri dan melangkah menjauhi meja. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba Debby sudah muncul kembali di hadapan Niel. "Ah, ada satu hal lagi yang perlu saya sampaikan. Uhm ... saya rasa Fanny nggak perlu tahu isi pembicaraan kita hari ini. Saya nggak mau membuat Fanny sedih. Jika dia bertanya, katakan saja padanya kalau kita ternyata nggak cocok. Ehm, atau terserah Koko mau kasih alasan apa, saya akan menyetujuinya asal jangan yang aneh-aneh. Sekali lagi, saya mohon maaf."

Tanpa menunggu jawaban dari Niel yang masih terdiam di tempat duduknya, Debby kembali melangkah. Suara gemerincing halus kembali terdengar mengikuti langkah Debby yang semakin lama semakin menghilang.

Niel yang masih terpaku di tempat duduk akhirnya mendesah panjang. Kepalanya menggeleng-geleng. Senyum ironis terbit di wajahnya yang kini tengah menunduk menatap cangkir kopi yang isinya tinggal setengah.

"Astaga!" desah Niel setelah beberapa saat. Bibirnya masih menyunggingkan senyum ironis. Jari telunjuk tangan kanannya bergerak menyusuri bibir cangkir di hadapannya sementara tangan kirinya mengusap-usap dagunya.

"Hah! Kayaknya baru kali ini kamu ditolak mentah-mentah sama seorang wanita, Niel. Bahkan pendekatan pun belum dimulai! Ya, ampun!" Lagi-lagi Niel tertawa ironis sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Fan, Fan ... temanmu itu ...! Hah! Benar-benar ...!"






🌞🌞🌞

Jiaahh!! Koko Niel gagal sebelum bertanding!! 😭

Tetap semangat, Koko!

Yuk, cari tahu Ko Niel bakal ngapain ... berjuang apa menyerah???

Cari tahu lanjutannya episode depan, ya!


Sampai jumpa dua hari lagi!!

Jangan lupa tinggalin jejak, ya. Kamsia.


Rabu, 25 Oktober 2023

WANITA INCARAN CEO AROGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang