40. Ana dan Egonya

26 6 0
                                    

Happy reading, Love ✨

"Sialnya manusia kerap tidak menyadari, beberapa perilaku yang tidak ia sengaja justru membuat luka begitu besar bagi orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sialnya manusia kerap tidak menyadari, beberapa perilaku yang tidak ia sengaja justru membuat luka begitu besar bagi orang lain."

[ ;ɞ ]

Iris hazel itu menatap iris kecokelatan di hadapannya dengan tajam. Tidak enak jika Adriani akan mendengar pertengkaran mereka, Rachell membawa Ana keluar untuk membicarakan semua yang selama ini ia pendam. Jujur saja, Rachell sudah muak dengan perdebatan batinnya dengan Ana.

“Ayo kita saling luapin semua yang selama ini kita pendam,” ujar Rachell membuka pembicaraan.

“Why you still can't forgive me?”

“Look at yourself, bagian mana yang pantas untuk mendapatkan kata maaf dari gue?” balas Rachell membalikkan pertanyaan Ana.

“I've always understood you, Chell. Justru lo yang gak pernah memahami gue, lo pikir gue gak capek terus-terusan berusaha memahami lo?” sentak Ana yang mulai terpancing emosi.

Rachell tersenyum miring, kekehan ringan yang terkesan menusuk keluar dengan mata yang masih menatap Ana mengintimidasi.

“Memahami gue dari sisi mana, Anatasya?”

“Kita sama-sama merasa bersalah, Chell. Do you think I can live peacefully for eight years? Gue juga selalu menyesali semua yang udah terjadi dan gue selalu merasa bersalah setiap lihat lo,” ungkap Ana.

“Then why the fuck don't you just be honest? Kenapa lo gak bilang ke mama dan semua orang kalau sebenarnya yang merengek ke kebun binatang itu lo! Tujuh belas tahun gue hidup tanpa kasih sayang orang tua gue and then I spent eight years receiving hatred from my mom who always thought I was a murderer!” murka Rachell.

“I opologize, but isn't it all fate? You think you're the only one who lost? Meanwhile at that time I lost my dad."

“Fucking Fate? Do the fuck you fully accept that it's shit fate?” Ana menggeleng pelan.

“Umur gue gak akan sepanjang itu, Kak. Gue cuman mau mama sama papa peduli sama gue, sedikit aja,” lirih Rachell dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Berhenti membahas umur, Lesyaqueen. Belum tentu gue yang sehat ini akan berumur panjang. Lagian kalau Kak Zella dan Mas Fano gak peduli sama lo, mereka mana mungkin membiayai pengobatan lo bahkan sampai ke Amerika seperti saat ini,” kilah Ana.

Rachell terkekeh geli. “Lo masih ingat waktu lo mengalami cedera saat perlombaan karate? Mama langsung datang buat jemput dan bawa lo ke rumah sakit, sementara gue? Mama doesn't even care if I'm dying or even dead. For example, right now mama and papa are even more concerned with their work than with me."

“Di sini lo udah ditemani sama Tante Gempita dan Tante Heera, Chell. You should be grateful that at least someone cares about you."

“Tetap beda, Kak. Seandainya mama dan papa yang menemani pasti gue akan lebih semangat. I always waited for mama and papa to come, even though I knew it was never gonna happen. Fuck anyone who cares about me, biar bagaimana pun gue tetap mau mama dan papa, Kak!”

“Dunia ini bukan milik lo, Chell. Lo gak bisa minta semua perhatian orang-orang tertuju sama lo,” komentar Ana.

“I couldn’t agree more. Gue cuman mau perhatian mama dan papa aja kok, sehari aja sekali pun itu di hari terakhir gue sebelum mati nanti,” balas Rachell.

“I'm sick of you, berulang kali gue mencoba buat benci lo tapi gue selalu gagal. I'm disappointed in you, sama semua yang lo lakukan di masa lalu. Bukan tentang kematian opa, tapi semua yang lo lakukan untuk ambil perhatian mama dan papa,” ucap Rachell dengan mata yang menatap Ana penuh kecewa.

“Lo bahkan selalu buat oma tinggalin gue, sementara lo tahu gue cuman punya oma di rumah. Lo lebih dekat dengan El, gue yang kakaknya aja terasa asing sama adik sendiri. Gue cukup sadar diri, pasti dia malu punya kakak penyakitan kaya gue. The house that was supposed to be my most comfortable place to go home, became a hell for me,” sambung Rachell.

Ana terdiam dengan air mata yang terus mengalir. Satu hal yang ia sadari, setelah delapan tahun lamanya akhirnya mereka bisa mengobrol panjang seperti ini. Sakit mendengar semua pengakuan Rachell, apalagi saat melihat iris hazel itu menatapnya tajam dan tidak ada kehangatan di sana.

“Gue selalu berusaha, Chell.”

“Berusaha untuk merampas Galang, Fajar, dan Langit beserta keluarga mereka yang selama ini perhatian ke gue?” potong Rachell tersenyum miring.

“Cuman mereka yang buat gue bertahan selama ini, Kak. Jangan ambil mereka juga.”

“Gue gak akan ambil siapa pun, Chell. Am I that bad in your eyes?” sanggah Ana.

“Iya. Seharusnya gue gak perlu kembali ke Jakarta, lebih baik gue sendirian di Surabaya dibanding lihat mama dan papa lebih perhatian ke lo dari pada gue yang anak kandung mereka.”

“Just so you know, I'm not that happy, Chell. Semua orang tahu kalau lo adalah adik gue dan mereka selalu membandingkan gue dengan lo. Lo yang lebih cantik dari gue dan lo yang memiliki otak genius, sementara gue bodoh di akademik. Someone I love has even openly told me that he admires you."

“Kalau bisa gue mau tukar diri gue dengan lo. I want to be praised and admired by many people like you. Everyone sees you as perfect, Chell. I envy you, itu alasan selama ini gue mencoba buat cari perhatian dan gak suka ketika mama lebih perhatian ke lo. Tapi sekarang gue udah sadar, Chell,” lanjut Ana memberitahu yang sebenarnya.

“Jadi gue itu sakit. Tujuh puluh persen dihabiskan dengan pengobatan dan tiga puluh persennya lagi penuhi semua tuntunan mama dan papa,” balas Rachell.

“That's why I want to fix everything, Chell. I'm so sorry, please give me a chance,” pinta Ana memohon.

“Everything was too broken to be repaired. I also developed schizophrenia due to the lack of papa’s love,” kekeh Rachell yang menyayat hati Ana.

Ana mencoba untuk mendekat, akan tetapi Rachell justru mundur dan menjauh. “Lo mau perbaiki semuanya, ‘kan? Mau gue maafin, ‘kan?” Ana mengangguk cepat.

“Buat mama sama papa sayang sama gue, cuman itu yang bisa buat gue maafin lo,” ucap Rachell yang kemudian melenggang pergi begitu saja.

Rachell meninggalkan Ana sendirian, ia baru saja mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari teman-temannya. Dibanding meneruskan perdebatan mereka, Rachell lebih memilih bermain bersama teman-temannya.

Di sisi lain, Ana duduk termangu sendirian. Setelah mendengar semua unek-unek yang dikeluarkan oleh Rachell ia jadi merasa bersalah. Sejujurnya Ana tidak sengaja, dulu dia melakukan itu semua di umurnya yang masih belum beranjak dewasa. Ana tidak berpikir panjang, ia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kesenangannya di masa itu.

“Apa ucapan Rachell tadi sudah membuatmu sadar, Anatasya.” Ana menoleh ke sumber suara yang membuatnya terkejut itu.

” Ana menoleh ke sumber suara yang membuatnya terkejut itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HipotimiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang