Happy Reading ✨
"Jika diberi kesempatan
ketujuh puluh delapan kalinya,
mungkin aku akan menjawab untuk
tidak ingin terlahir."[ ;ɞ ]
Siang itu sang rawi tampak jelas berada di atas kepala, panasnya atmosfer bumi karena lapisan ozon terus terkikis oleh pencemaran udara. Gadis cantik itu tengah merapikan peralatan sekolahnya karena bel pulang telah berdering lima menit yang lalu.
Sedari tadi laki-laki di sampingnya terus menatapnya intens mengagumi ciptaan Tuhan yang tak dapat didustakan. "Hari ini jadi 'kan, Chell?" tanyanya memastikan.
"Jadi, Galang sama Langit juga bakal ikut."
Laki-laki itu menyirit. Mengapa ada yang mengganggu acaranya berdua dengan gadis itu. Padahal niatnya adalah ingin bersama gadis itu tanpa diganggu siapa pun.
"Kok mereka ikut?" protesnya.
"Iya. Mereka juga ingin belajar, Daren."
"Tapi 'kan janjinya kita berdua," kelakar Daren yang masih tak terima.
"Sudah, belajar rame-rame lebih asyik. Lagi pula kalo mereka gak ikut gue gak boleh pergi," papar Rachell mencoba agar Daren mengerti.
Daren menghela nafas pasrah, setidaknya dia bisa pergi dengan gadis itu sudah bersyukur. "Lo perginya sama gue aja, ya."
Saat Daren hendak meraih pergelangan tangan Rachell, Galang terlebih dahulu menepisnya dan memeluk bahu Rachell posesif. "Who says Rachell went with you? Rachell sama gue."
Tangan Galang beralih memeluk pinggang gadis itu posesif seakan menunjukkan agar laki-laki itu tak terus mencoba mendekati Rachel.
"Apa sih, Lang." Rachell mencoba melepaskan pelukan Galang karena ia merasa risi.
"Udah ayo berangkat biar gak pulang sore-sore," ujar Langit menyangklot tas hitam miliknya.
Galang dan Rachell terlebih dahulu keluar kelas, menyisihkan Langit dan Daren yang masih di dalam kelas.
"Kalau lo cuman mau mainin Rachell, get out of her life or you see the fucking consequences," bisik Langit pada Daren yang hendak keluar kelas.
Langit keluar menyusul Rachell dan Galang, itu adalah peringatan pertama untuk Daren. Ia hanya tak ingin ratunya kembali terluka karena luka gadis itu adalah kelemahan mereka bertiga.
Keempat remaja itu telah sampai di salah satu kafe dekat sekolah. Suasana kafe siang itu tampak begitu ramai terutama sebagian besar pengunjung memang berasal dari murid SMA Pelita Bangsa.Meja pilihan mereka tertuju pada meja nomor 11 karena memang tidak ada lagi meja yang kosong. Untung saja mereka masih kebagian tempat. Rachell mulai mengeluarkan buku-bukunya, sedangkan Galang memesankan minuman untuk menemani mereka belajar, tak lupa juga beberapa camilan untuk mengganjal perut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipotimia
Fiksi RemajaKenyataannya tidak ada kehidupan yang benar-benar sempurna. Semua kisah pasti memiliki luka. Tuhan menciptakannya dengan sebuah senyuman indah dengan lesung pipi di pipi kanannya, tapi semesta justru merenggut senyumannya. Berpura-pura seakan tidak...