5. Rumah Neraka

174 15 0
                                    

Happy Reading ✨

"Tidak semua rumah bisa menjadi tempat untuk pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidak semua rumah bisa menjadi tempat untuk pulang."

[]


Rachell tertunduk, ia menjambak rambutnya agar semua opini itu tidak memenuhi kepalanya. Rasanya ia ingin teriak sekeras-kerasnya. Dunia selalu tak adil. Kedua tangan ringkih itu semakin hebat memukul kepala yang sudah mulai pusing.

Tubuhnya lemas, dadanya mulai sesak, kepalanya pusing, rasanya semua akan berakhir.  Saat ia akan terjatuh seorang laki-laki datang menopang tubuh lemasnya. Dengan erat ia mendekap gadis itu. Sesak rasanya melihat air mata itu terlebih kehancuran jiwa lemah itu.

"Sssttt, Sayang ... jangan seperti ini," bisik laki-laki itu lembut. Dia membelai lembut surai kecokelatan itu.

"Aku gak berguna, untuk apa aku hidup? Aku hanya bisa menyusahkan mereka," racau gadis itu yang semakin membuat laki-laki itu lemah.

"Hey, kamu berguna, Sayang. Kamu sangat berguna, kamu spesial, kamu sangat berharga."

"Nggak, aku gadis bodoh, tidak berguna, dan gila? Hahaha, iya aku memang gila," Laki-laki itu semakin mendekap jiwa rapuh itu.

"Nggak, Sayang."

"Aku capek, aku mau istirahat."

"Makan dulu ya, minum obatmu."

"Hahaha, biar saja aku mati. Aku tidak membutuhkan obat."

Meluruh tubuh ringkih itu di lantai marmer mahal. Dinginnya marmer mahal itu tidak membuatnya segera bangkit dan memilih kasur empuk sebagai alas. Tatapan kedua iris hazel itu kembali kosong. Sial dia menyadari sesuatu.

Rasanya seperti kembali, suara-suara itu mulai berdengung di telinganya. Saat ia memejamkan mata, kejadian-kejadian tempo lalu seakan terputar seperti kaset rusak. Ia semakin kuat memukul atau menjambak surai kecokelatan yang indah itu.

“Hentikan!” teriaknya seorang diri.

Bukanya berhenti, suara-suara itu semakin menjadi. Pikirannya kalut, ditambah tak sengaja kakinya menendang sebuah pigura kaca. Melihat serpihan kaca itu, sebuah ide gila terlintas. Bagaimana jika kaca itu menggores kulitnya? Atau bagaimana jika kaca itu memutus nadinya?

Sebuah senyum kecil di bibir ranumnya terbentuk. Bukan membuangnya, ia justru menggenggamnya. Beberapa serpihan kaca itu dalam genggamannya. Perlahan, cairan merah kental mulai keluar. Lihatlah, itu sangat indah. Rudira itu mengalir seiring dalamnya kaca tertancap.

“Ini tidak sakit, tapi ini menyenangkan.” Monolog Rachell gila.

Pintu ruangan itu tiba-tiba saja terbuka paksa. Laki-laki itu dengan segera mengangkat tubuh mungil itu dari serakkan kaca. Kedua bola mata coklat tuanya mendelik saat melihat tangan gadis itu telah terluka.

“Lo gila, Chell!” sentaknya menarik kedua telapak tangan gadis itu.

“Iya, Galang. Gue gila, hahaha. Gue memang gila, Galang.”

Galang mengusap wajahnya kasar, dia kelewatan. Dia begitu terkejut melihat kondisi kacau gadis itu. Lihatlah, surai kecokelatannya yang indah kini tengah berantakan. Nayanika itu bahkan kini telah kehilangan sinarnya.

HipotimiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang