25. Tangisan Dalam Pelukan

449 85 6
                                    

"Sebelum melepas rindu, lebih baik kita waspada terlebih dahulu, kesatria itu mengejar kemari," Athella menunjuk ke arah ia dan Helio datang tadi, dua pasang mata berwarna ungu itu menoleh ke arahnya. Badan Helio menegang lagi, namun Medeia terlihat tenang-tenang saja.

"Itu kesatria-kesatria bayaran kelas atas, ya?" Medeia memandang kagum, "ternyata keahlian mereka benar-benar tidak boleh dipandang remeh..."

"Begitulah," Athella menimpali, "bayaran mereka jelas mahal."

"Kakak..." Helio menoleh ke arah Athella, "sejak kapan Kakak ada di Ibukota?"

"2 hari lalu,"  Athella menjawab, "oh, terima kasih juga pada Nona Medeia yang memberikan tumpangan di Manor Beliard," Athella menjawab sembari menyenggol pelan lengan Medeia, dibalas kekehan oleh gadis itu. Helio hanya memandang keduanya, Helio tahu bahwa keduanya memang berhubungan lumayan baik dari dulu, hanya saja dia tak menyangka mereka seakrab ini.

Athella kembali menoleh ke arah Helio, lalu matanya menoleh ke arah buku yang anak itu pegang sedari tadi, tatatpannya menyendu. Tentu saja Athella tahu apa itu; buku favorit Vita dan Diez, pasangan itu sering sekali menceritakan soal isi buku itu padanya, sampai-sampai Athella juga ikut membacanya agar mereka senang.

"Halley, apa kabar?" Athella bertanya kembut, tangannya yang dilapisi sarung tangan itu mengusap pelan bahu sosok yang benar-benar ingin ia jaga. Mendengar Athella bertanya, mata Helio perlahan berubah berkaca-kaca, bibirnya bergetar, namun ia memilih tak menjawab dan menoleh ke arah lain.

Athella mengerti, ia hanya menepuk bahu itu beberapa kali sembari menyaksikan para kesatria bayaran mulai bertarung dengan kesatria milik Beliard, Medeia sendiri sibuk mengobservasi pertarungan itu dengan terkagum-kagum, Athella ikut memperhatikan dan menanam pola gerakan mereka dalam pikirannya, ini adalah ilmu berguna untuk pelajaran berpedangnya nanti.

Helio menoleh ke arah Medeia yang masih sibuk mengbservasi, tatapannya berubah jadi aneh. Athella hanya terkekeh pelan, "Kau juga ada baiknya mengobservasi pertarungan itu, Halley."

Helio menoleh ke arah Athella dengan tatapan bertanya, ia memiringkan kepalanya.

"Tentu saja untuk mempelajarinya, bukannya kamu ingin belajar pedang? Itu juga penting untuk melihat langsung," Athella menjawab sembari menepuk kepala Helio pelan, pemandangan yang mereka saksikan kini jelas bukanlah pemandangan menyenangkan, darah di mana-mana, ada kepala yang terpenggal dan menggelinding, ada tangan yang terpotong, tapi Athella tak ingin lagi membuat Helio terkurung dalam dunia indah buatan orang tuanya, memang harusnya Helio mempelajari kebenaran kejam dari dunia, jika tidak, anak itu akan mati sia-sia.

Helio hanya diam mendengarkan, dengan diam ia menoleh ke arah pertarungan itu, bulu kuduknya merinding ketika melihat kepala yang terpenggal. Lagi-lagi, ia teringat...

"Tropium," Medeia memanggil.

"Eh, oh? Kenapa?" Helio yang dikagetkan menjawab gelagapan, ia menoleh ke arah Medeia.

"Para prajurit itu belum semuanya, 'kan?" gadis bersurai ungu itu bertanya tanpa menoleh ke arah Helio.

"..! Iya... setahu saya paling sedikit ada 8 orang," Helio menjawab ragu-ragu, Medeia kemudian menoleh ke arah Athella untuk memastikan, gadis berambut pirang terang itu mengangguk mengiyakan.

"Mereka sepertinya berpencar," Athella memberi pendaoat.

Medeia hanya mengangguk menyetujui, "Artinya harus segera dibereskan sebelum yang lain datang."

Helio menatap kedua gadis yang terlihat benar-benar tenang di samping kanan dan kirinya itu bergantian. Apa dia satu-satunya yang cemas di sini? Mereka hanya berbeda 2-3 tahun darinya, namun seperti beda 20 tahun lebih.

MASTERMIND | Helio TropiumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang