54. Di Sebalik Tabir

400 44 16
                                    

Helio melakukan kedip beberapa kali sebelum mulai membuka matanya secara perlahan, pria itu kini merasakan pipinya menempel pada sebuah permukaan empuk kembang-kempis dengan tangan yang terletak pada tengkuknya.

Ah, rupanya dia tertidur di dada Athella.

Jangan khawatir, sebelum tidur semalam mereka sempat mengenakan baju kembali dan beristirahat - walau sebenarnya tak bisa disebut malam juga, karena mereka tertidur saat matahari nyaris terbit. Bahkan biru gelap: nyaris hitam yang menghiasi langit itu sudah mulai menunjukkan pengurangan pigmen ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri apa yang keduanya lakukan.

Walau sebentar, Helio rasa tidur seperti ini adalah pengalaman tidur terbaik yang baru ia rasakan setelah sekian lamanya. Pria itu tak bermimpi buruk malam ini, bahkan malamnya yang biasanya diiringi ketakutannya sendiri untuk tidur karena takut akan diiringi oleh mimpi buruk di tidurnya. Namun tadi, alih-alih dibayangi ketakutan, pendengaran Helio dipenuhi oleh bisikan-bisikan manis bagai sekoci yang mendayung laut ketakutan untuk mengantarnya pada darat kedamaian.

Rasanya seperti menemukan rumah untuknya beristirahat setelah lama berkeliling mencari.

Sang pria kemudian mengarahkan genggamannya pada tangan Athella yang terletak lemas pada tengkuk, menyingkirkan tangan itu dengan lembut sebelum bangkit-ingin melihat wajah tertidur milik istrinya lebih jelas. Kepalanya bertumpu pada telapak tangan; sikunya menekan pada permukaan kasur, Helio memandang Athella yang matanya setengah terbuka, menunjukkan sedikit iris abu-abu miliknya yang indah.

Ini adalah kebiasaan tidur Athella; Helio tak tahu Athella mengetahuinya atau tidak, Helio sudah tahu saat malam itu Athella malah tertidur dan Helio memindahkannya ke kasur - mata wanita itu tak akan benar-benar tertutup ketika tidur, akan nampak setidaknya sedikit dari bola mata yang tak terbalut oleh kelopaknya.

Terlalu sibuk memandangi istrinya yang tertidur, Helio menyadari ketika Athella mulai bergerak-gerak dalam tidurnya, mungkin sang wanita mulai menyadari rasa kosong yang sebelumnya diisi oleh Helio di atas dadanya. Mungkin ia tak tenang jika tak memeluk sesuatu.

"Pagi," Helio berbisik rayu, Athella tersenyum tipis ketika suara itu menjadi hal pertama yang menyambut sadarnya dari tidur.

"Cepat sekali bangunnya," tutur sang puan serak, tangannya beralih mengusap punggung Helio pelan, "kamu tidak bermimpi buruk, kan?"

Pertanyaan Athella yang memastikan keadaannya dengan perhatian itu menggores senyuman di wajah Helio lebih lebar, Helio menggeleng pelan.

"Justru itu adalah tidur terbaik yang pernah aku alami."

"Baguslah."

Mereka saling memandang sejenak, sebelum pandangan Athella jatuh pada ruam merah yang ia tiggalkan di leher Helio semalam. Netra abu-abu itu berpindah pada pergelangan tangan Helio yang juga terbalut ruam; bagai gelang.

Sang puan meringis.

"Maaf," Helio mengerjap, "semalam aku terlalu kasar, ya?"

Rona membalut raut, jika dipikir-pikir lagi, rasanya memalukan mengingat semalam Athella tiba-tiba bertingkah agresif akibat teringat jalan cerita asli tentang hubungan Helio dan Medeia, dia merasa kesal tanpa arah yang jelas dan membuat Helio jelas kebingungan (walau dia menerima semuanya dengan sabar sepanjang malam).

"Oh," Helio yang menyadari maksud dari permohonan maaf barusan jadi salah tingkah, "tidak, aku memang agak kebingungan, tapi-"

Tapi apa?

'-tapi aku lumayan menyukainya ...?' Apa itu bahkan hal yang pantas untuk dikatakan?

Semakin banyak ia bertutur, malah akan semakin canggung situasinya, baik Athella dan Helio menyadari itu, maka mereka memutuskan untuk membiarkan pikiran mereka berlarian ke sana ke mari mencari topik untuk menjadi pijakan peralihan percakapan.

MASTERMIND | Helio TropiumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang