Pasien No. 59

3.1K 325 79
                                    

Beka sedang mengobrol dengan Ganesa di pendopo saat mendapat voice note dari Tio yang mengatakan bahwa Yara—keponakan Rona—bolos sekolah dan kepergok pacaran. Awalnya dia bingung kenapa Tio melaporkan hal tidak penting seperti itu. Dia kan bukan orang tuanya Yara. Mau bolos atau bakar sekolah sekalipun dia tidak peduli. Belum tentu juga orang tua anak itu peduli.

Lalu jeda hampir setengah jam, Beka kembali mendapat laporan bahwa Yara mengutil di sebuah minimarket. Lagi, Beka tidak peduli. Mau jadi perampok sekaligus juga silakan saja, Beka tidak mau ambil pusing. Dan, selang beberapa menit setelah laporan kedua masuk, Tio menelpon. Orang kepercayaan Beka itu mengabari Yara ada bersamanya dan hampir ditiduri oleh seorang pria berusia awal 20-an.

"Ron, Yara lagi ada masalah. Dia diamanin sama Tio." Merasa perlu melaporkan pada Rona, akhirnya Beka terhubung dengan kekasihnya melalui telpon klinik. Pacarnya itu kalau sedang kerja benar-benar tidak mau buka hape, kecuali sedang tidak ada pasien atau saat jam makan siang. Segera setelah mendengar berita tentang Yara, Rona meminta agar keponakannya diantar ke klinik saja.

Beka bergegas menyusul ke klinik dan sedang menunggu di kamar jaga saat Rona selesai dengan pasiennya. Dengan hati-hati dia menceritakan rincian kronologi bagaimana bisa Yara terlibat masalah seperti apa yang Tio laporkan di telpon tadi.

"Lo keliatan nggak kaget," ujar Beka bingung. Kekasihnya tampak sangat tenang setelah mendengar kronologinya. Agak berbeda dengan kesan pertama saat dia menghubungi Rona via telepon tadi.

"Yara pacar-pacaran udah lumayan lama," aku Rona sebelum meminum teh hangat dalam botol yang dibawanya tadi pagi. "Kayaknya udah sejak SD."

"Emang nggak begitu ngagetin, sih. Anak TK jaman sekarang juga udah suka-sukaan," komentar Beka sambil menopang dagu di meja. "Tapi keponakan lo pacaran sama cowok umur 20-an. Hampir seumuran sama lo."

Rona menggedikan bahunya sambil mengelap bekas noda lipstik pada botolnya. "Itu juga gue udah tau sejak lama." Dengan suara pelan, Rona meneruskan, "she's active in social media. There's this online community where you roleplay as a character you make. Selama di komunitas itu lo harus chat, act, and do everything in character."

Kening Beka mengerut. "Okay ... terus?"

"I read her chats by accident and found out Yara's character is a grown up woman. Working as an influencer and currently dating 2-3 other guys."

"M-hm, I kinda get it now."

"And they sex-texting."

Beka mengangkat satu alisnya.

"They what?"

"Mereka play-pretend lagi have sex via chat. Have you ever read any adult novel? Atau cerita panas yang beredar di internet? Isi chatnya kayak begitu, tapi di kolom chat."

Mata Beka yang semula menyipit langsung membulat. Begitu juga mulutnya. Sambil menyerukan 'Oh' tanpa suara, Beka mengangguk. "So, she's not innocent."

Sambil mengembuskan napasnya, Rona mengangguk pelan.

"Gue udah pernah coba ngasih tau Yara tentang bahaya kenalan sama orang di internet, tapi dia malah bilang I'm too old to follow the trend. Udah coba kasih tau orang tuanya juga dan hasilnya malah dibilang gue mengada-ada. Sejak itu gue menyerah." Kekasih Beka itu kemudian menyilangkan tangan di dada sambil bersandar pada dinding. "Tapi gue nggak bisa nyalahin Yara. Dia kayak gitu karena di rumah nggak ada yang memantau. Orang tuanya sibuk sendiri. Nyokapnya selalu ada jadwal pengajian, baru pulang sore. Bokapnya? Lebih parah. Berangkat kerja jam 6 pagi, pulang hampir jam 10 malam dan lanjut ngeronda. Waktu weekend dipake untuk ngumpul sama teman-temannya entah mancing, reuni, atau motoran ke puncak."

When The Room Gets Too HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang