Erwin pergi pagi-pagi sekali dan tidak pulang sampai malam hari. Kamar Ibu dijaga ketat oleh dua orang penjaga. Sementara ruangan lain dikunci. Zara sendiri tidak diperbolehkan keluar rumah.
Sanji bahkan berjaga di depan pintu kamarnya, seperti yang pria itu lakukan di rumah keluarga Sanders.
Zara seperti tahanan di rumah ini. Hanya bisa melihat keadaan luar melalui jendela kamar. Mendekati pintu depan sedikit saja, akan ada penjaga yang menghadangnya.
Aneh sekali, padahal Zara tidak melakukan apa pun yang sekiranya bisa membuat Erwin marah. Zara yakin dia telah melakukan semua tugasnya dengan baik, seperti biasa.
Soal kejadian kemarin, rasanya terlalu berlebihan kalau Erwin jadi menjaga Zara sampai sehebat ini. Luka di tangannya tidak parah, hanya tergores sedikit. Sekarang pun Zara sudah melepas perbannya.
Namun, sikap Erwin yang mendingin seolah menandakan hal lain.
Lalu, cara Erwin menatap Rio membuat Zara jadi ragu kalau pria itu menyukai anak-anak. Tatapannya seolah mengatakan kalau Rio tidak lebih dari pengganggu kecil yang tidak berguna dan membuatnya muak.
Ah, apa yang Zara pikirkan? Tentu saja Erwin menyukai anak-anak. Erwin selalu mengatakan padanya ingin segera memiliki keturunan. Tidak mungkin Erwin tidak menyukai anak-anak, 'kan?
Erwin mungkin hanya kesal melihat Rio bertingkah kasar pada Zara. Rio itu masih kecil, dan tidak patut bagi anak kecil bertingkah kasar begitu, apalagi pada orang yang lebih tua.
Zara menghela napas, merasakan dinginnya angin yang masuk ke dalam kamar melalui jendela. Malam sebentar lagi larut, tapi Zara tidak mengantuk sama sekali. Pikirannya sedang dipenuhi dengan perubahan sikap Erwin yang terkadang bisa sangat manis, tapi bisa berubah menjadi begitu dingin.
Erwin selalu memiliki cara untuk membuat Zara pusing.
Bahkan setelah apa yang mereka alami, setelah malam-malam panjang yang mereka habiskan bersama, Zara masih tidak mengenal sifat asli suaminya.
Seolah ada satu sisi dari diri Erwin yang belum Zara lihat. Yang pria itu sembunyikan sedemikian rupa sampai Zara tidak memiliki peluang untuk benar-benar mengenalnya.
Zara beranjak dari sofa, menutup jendela, kemudian bergelung di atas ranjang. Entah kapan Erwin akan pulang, pria itu tidak mengabarinya seharian ini.
Saat jam menunjukkan pukul 11:55, Zara terlelap. Tidak sadar kalau seseorang menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Menggeledah nakas, lemari, dan tempat-tempat yang mungkin bisa digunakan untuk menyimpan apa yang orang itu cari.
Namun, pencariannya tidak membuahkan hasil. Orang berpakaian serba hitam dengan penutup kepala dan masker itu memaki lirih. Lalu, pandangannya beralih ke arah Zara yang tertidur pulas. Langkahnya perlahan mendekat. Berdiri tepat di samping ranjang.
Lama ia terdiam, sampai suara gagang pintu dan tapak kaki yang terburu membuatnya lantas menoleh dengan cepat. Suara gaduh penjaga yang berduyun-duyun masuk ke kamar itu membuat Zara terjaga pula.
Perempuan itu mengernyit saat menyadari kamarnya sudah dipenuhi penjaga, lalu dia tercekat saat sadar ada seseorang yang berdiri di dekatnya.
Maling?
Orang itu menyeret tangan Zara dan memaksanya untuk bangkit dari ranjang. Tubuh Zara dipinting dari belakang bersama kedua tangannya, sementara lehernya ditodong dengan pisau. Semua penjaga sontak bergeming di tempat. Tetap mengacungkan pistol, tapi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti perintah orang itu untuk tidak bergerak sedikit saja, atau Zara akan mati.
Zara ditarik mundur, melewati semua penjaga, keluar kamar. Zara berusaha menetralkan napasnya yang menggebu, juga detak jantungnya yang mengeras. Salah satu langkah saja, leher Zara bisa ditusuknya. Sementara ini Zara harus menurut, selama penjaga belum menemukan solusi untuk membebaskannya.
Namun, keadaan menjadi makin tegang saat Zara dibawa keluar rumah. Sanji sigap mengacungkan pistol tepat ke arah wajah pria di balik masker itu, tapi pria itu malah makin nekat. Lengan Zara digoresnya dengan pisau. Zara memekik, dan Sanji sontak mengangkat kedua tangan.
Darah menetes ke tangannya, mengotori gaun tidurnya. Zara hanya bisa menahan rasa sakit sambil terus menuruti perintah orang itu untuk berjalan ke pelataran rumah, kemudian masuk ke dalam sebuah mobil Sedan hitam.
Saat mobil itu benar-benar melaju, Sanji dan semua penjaga hanya bisa berdiam diri, tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti karena dua mobil yang berada di garasi sudah dibuat tidak berfungsi.
Pria berpakaian serba hitam itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menipiskan kemungkinan untuk Sanji dan penjaga yang lain bisa mengikutinya. Saat mereka berada di tempat yang cukup jauh, mobil dihentikan.
Zara mencoba bersikap tenang saat pria itu berbalik ke arahnya dari kursi depan. Tudung jaketnya dibuka, lalu maskernya juga. Zara kontan menutup mulut saat mengenali wajah di balik masker hitam itu.
***
Erwin tidak bisa menahan amarahnya. Dia menendang perut semua penjaga yang bertugas menjaga rumah malam ini.
Bodoh! Bodoh! Bagaimana dia bisa kecolongan?
Tidak puas dengan satu tendangan, Erwin memberikan pukulan pada satu per satu pengawal yang tidak becus dalam bertugas itu.
Namun, bahkan setelah meluapkan amarahnya sampai tangan dan kakinya terasa nyeri, Erwin tidak kunjung merasa tenang.
Bagaimana dia bisa tenang kalau istrinya tengah diculik oleh seseorang?
"Sial!" Erwin menendang udara.
Jika dia datang lebih cepat, Erwin mungkin bisa menangkap penyusup itu, dan tidak membiarkan Zara dibawa olehnya. Namun, dia terlambat. "Sudah dipastikan kalau pelakunya adalah dia?" tanya Erwin kepada Sanji yang berdiri di sebelahnya. Satu-satunya orang yang selamat dari amukan Erwin.
"Menurutku, kemungkinan besar memang dia." Sanji menjawab. Meski saat kejadian itu berlangsung dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, tapi Sanji tetap awas, siaga, dia mengenali pria bertudung itu dengan jelas. Setiap gerak-geriknya mengingatkan Sanji pada satu orang.
"Danta." Erwin menggeram. Tangannya mengepal lebih erat tanpa sadar.
"Dia mungkin cuma menggertak, tidak benar-benar ingin menculik Zara." Sanji menjelaskan, "kurasa kita tidak perlu khawatir. Zara akan segera dipulangkan."
"Aku tahu." Erwin mengatakannya seolah tengah bergumam. "Yang kukhawatirkan bukanlah keadaan Zara. Melainkan apa yang akan Danta katakan padanya. Orang itu pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan."
Benar, Sanji setuju soal hal itu. "Apa yang harus kulakukan?"
"Amankan rumah, jangan biarkan ada celah sedikit saja. Kita harus segera menjemput Zara."
***
"Apa yang Mas Danta lakukan?"
Ada banyak pertanyaan yang ingin Zara lontarkan. Namun, yang terlintas di otaknya hanyalah fakta kalau sekarang dia adalah seorang korban penculikan? Atau lebih tepatnya, jaminan agar Danta bisa kabur dengan aman.
Apa tujuan Danta menyusup ke rumah Erwin? Mencuri? Namun, apa yang ingin dia curi?
Tidak mungkin hal itu adalah uang atau harta benda lainnya. Setahu Zara, Danta berasal dari keluarga yang berada, dan setidaknya Zara mengenal pria itu sebagai seseorang yang tidak mungkin akan mencuri harta dari orang lain.
Danta adalah pria yang berkelas. Aneh rasanya membayangkan pria itu menyusup ke kamar Zara untuk mengambil emas atau benda berharga lainnya.
Terdengar helaan napas dari kursi depan, Danta mencopot jaketnya, meninggalkan kaus hitam pendeknya menempel pas di tubuhnya. "Maaf menganggu tidurmu, Zara. Aku tidak bermaksud melakukannya, hanya saja aku tertangkap basah, jadi aku tidak punya pilihan lain selain membawamu."
Zara tidak benar-benar mendengarkannya. Hal yang sangat ingin ia lakukan sekarang hanyalah pulang. Zara mencoba membuka pintu mobil, tapi terkunci. "Buka pintunya!"
"Karena sudah sejauh ini, sebaiknya kamu ikut denganku. Ada banyak hal yang mau kutunjukkan." Danta menoleh ke kursi belakang dan tersenyum. "Kamu pasti akan menyukainya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...