40 Hannah dan Danta

1K 33 7
                                    

Jalan menuju rubanah terletak di belakang dapur. Sebuah lorong yang Zara tidak pernah lewati sebelumnya. Minimnya cahaya membuat Zara harus melangkah dengan hati-hati karena ia sama sekali tidak tahu tata letak ruangan itu.

Lemari-lemari minuman berjejer seperti rak buku. Meski ada begitu banyak minuman keras di dalam sini, tapi ruangan ini memiliki bau yang menenangkan. Seperti bau-bauan kayu dan bunga. Tidak ada bau minuman keras sama sekali.

Zara menyusuri ujung ruangan ini. Menemukan sebuah ruangan khusus yang tidak terkunci. Ruangan yang satu itu lebih kecil, hanya ada sofa panjang dan meja, serta sebuah lemari dua pintu. Zara mengeluarkan kunci yang Danta berikan, lalu membuka lemari itu.

Hanya ada sebuah gaun berwarna hitam terlipat rapi di dalamnya. Zara mengambil sepucuk surat di atas gaun itu. "Pakai gaun ini jika kamu ingin bergabung denganku."

Dikeluarkannya gaun itu. Gaun berlengan pendek dengan potongan leher rendah. Cantik, sepertinya pas di tubuh Zara.

Zara membaca paragraf selanjutnya, "Aku sedikit menyukaimu, jadi meski kamu memilih untuk berjalan di jalan yang berlawanan denganku, aku akan memikirkan lagi perkataanku yang kemarin. Aku harap kamu memikirkannya dengan benar."

Surat itu ditutupnya lagi, Zara kembali memperhatikan gaun hitam di tangannya. Tidak terlalu gemerlap, tidak terlalu mewah juga, tapi secara keseluruhan, gaun itu tampak indah.

Tidak terlalu polos berkat renda di garis dada. Terlihat muda dan elegan. Indah dan juga mewah, tapi tidak terlalu gemerlap.

Zara melipat gaunnya, lalu membaca surat itu sekali lagi. Nama Danta tertera di pojok surat dengan emotikon senyum. Sekilas, Zara seolah bisa melihat bagaimana wajah Danta saat menulis surat itu. Senyumnya yang

Harum yang menenangkan ternyata berasal dari ruangan ini. Harum yang menyarukan aroma lain.

***

"Erwin pergi ke rumah itu lagi."

Seseorang menjajarkan langkahnya dengan Danta. Berbisik di sampingnya. Meski begitu, Danta sama sekali tidak mau melambatkan langkah, membuat orang yang sedang berbicara dengannya harus ekstra berusaha agar Danta mendengarkan.

Rumah bernuansa industrialis di depannya memang sudah membuat Danta bersemangat sejak ia turun dari mobil tadi. Aroma segar tumbuh-tumbuhan dan bebungaan menyapa indera penciuman. Entah kapan terakhir kali Danta mengunjungi rumah ini. Meski rumah ini adalah rumahnya sendiri, tapi Danta tidak pernah tidur di sini barang semalam.

Sehari di rumah ini paling dihabiskannya untuk mengecek anak-anak yang dia tanam dalam pot-pot di belakang rumah.

Meski Danta ingin sekali melepaskan segalanya dan berpindah ke rumahnya sampai akhir hayat, tapi selama urusannya belum selesai, Danta mau takmau harus menepikan keinginannya itu untuk sementara waktu.

"Biarkan saja, ada sesuatu yang lebih penting yang harus kutemui." Danta tersenyum. Perasaan ini membuatnya senang sekaligus geli. Tidak ada satu pun yang mengerti betapa dia sudah menantikan hal ini.

Bau mawar menyapanya, Danta menghirup udara dalam-dalam. Entah kapan tepatnya dia menanam bunga di segala penjuru rumah, yang pasti, dia bahkan mempekerjakan seseorang khusus untuk merawat tanaman-tanamannya. Saat hari yang melelahkan berakhir, dia akan mampir untuk menyiraminya.

Begitu ia membuka pintu, Danta tersenyum senang mendapati apa yang dia harapkan justru hadir dalam wujud yang lebih indah. "Lama tidak bertemu." Danta menyapanya.

Sang perempuan menyambutnya dengan pelukan hangat. "Rasanya aku akan mati kelaparan menunggumu."

Danta tertawa, menjauhkan diri karena pelukan itu takkunjung reda. "Makan saja aku kalau begitu," katanya, berkelakar.

Perempuan itu menampar lengannya. Menariknya masuk dan mendudukkannya ke salah satu sofa. Ruang tamu di rumah ini kelihatan lebih luas ketimbang lapangan voli. Mungkin karena hanya diisi satu set sofa berbentuk letter u dan satu meja kayu panjang. Seluruhnya kosong melompong.

Dapur terbuka berada di ruangan berbeda, di sisi kanan rumah, bersatu dengan ruang tamu, tanpa sekat. Ada kolam renang di sampingnya, dengan sliding door langsung menuju ke sisi ruang makan.

Secara keseluruhan, rumah ini terasa seperti villa di atas bukit. Udara segar dan pemandangan hijau memenuhi seisi halaman. Tempat ini memang cocok dijadikan tempat liburan, melepas penat.

Tiga kamar berada di lantai dua. Tangga berbentuk spiral menjadi pembatas antara dapur dan ruang depan. Seluruh dinding terbuat dari kaca, membuat isi rumah selalu terang.

"Hannah, tunggu." Danta menyerobot lebih dulu sebelum perempuan di hadapannya, yang terlihat begitu bersemangat itu, pergi ke dapur dan menyiapkan minuman untuknya.

Danta menghampirinya, menggamit lengannya dan membawanya menjauh dari dapur, menuju ke belakang rumah. Hamparan anak yang lupa ditimangnya tersaji di depan sana. Danta tersenyum teduh. Namun, saat dia menoleh ke samping, yang didapatinya malah wajah masam, tidak mengenakkan untuk dilihat. "Aku sudah merawatnya sesuai keinginanmu. Harusnya kamu bahagia."

"Bunganya indah, tapi sudah bukan milikku lagi. Sekarang semuanya milikmu, 'kan?"

"Bagaimana jika aku mengatakan kalau aku ingin menyerahkan ini pada orang lain?"

Hannah menoleh pada Danta dengan kerutan di dahi. "Siapa?"

Danta mengedikkan bahu, berbalik sambil berkata, "Kau akan tahu nanti."

"Nanti? Kapan?" Hannah mengikuti Danta kembali ke ruang depan. Pria di sebelahnya itu tersenyum dan menoleh, lalu menggeleng.

"Siapkan saja dirimu untuk nanti malam. Jangan sampai orang lain mengalahkan kecantikanmu."

***

Jadwal update akan kuganti jadi seminggu sekali karena aku akhir-akhir ini sibuk banget. Maaf yang sudah nunggu lama.

Aku juga nggak bisa ngecek komen atau yang lain, bisa update aja udah bersyukur banget.

Maaf sekali lagi. Kalau kalian masih bersedia untuk membaca cerita ini, aku ucapin makasih sebanyak-banyaknya.

Semoga kalian menikmati cerita ini. :)

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang