Hampir tengah malam, Erwin kembali ke kantor. Ruang staf sudah kosong. Semua karyawan sudah pulang. Zeff membukakan pintu, mempersilakan Erwin masuk. Ruangannya remang. Satu lampu menggantung di tengah ruang menyala, tak mampu menerangi sudut-sudut. Membuat Erwin menyipitkan mata saat tidak menemukan sosok Zara.
Sanji terlihat duduk di sofa, langsung berdiri begitu melihat kedatangan Erwin. Melihat tatapan Sanji yang tertuju ke arah sofa di hadapannya, Erwin menghampirinya.
Zara terbaring di sana, terlelap dengan posisi tubuh miring. Satu tangannya menjadi bantal. Terlihat sangat nyaman meski harus tidur di sofa yang sempit. Zara termasuk perempuan yang memiliki wajah lebih muda dari usianya. Zara masih pantas disebut anak SMA dengan fitur wajah seperti baru menginjak usia remaja, juga tubuh mungil yang cukup tinggi untuk ukuran perempuan usia 22 tahun.
Selera berpakaiannya juga tidak mencerminkan perempuan bersuami. Lebih sering memakai celana dengan atasan, ketimbang gaun dan sejenisnya. Zara hanya memakai gaun di saat-saat tertentu.
Meski begitu, Zara terlihat seperti perempuan dewasa yang mandiri. Tidak heran, perempuan itu memang sudah bekerja selama beberapa bulan sebelum menikah. Jelas, dia pernah mencicipi bagaimana rasanya menjadi budak korporat.
Zara mungkin bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari ini. Memiliki kehidupan yang lebih menyenangkan. Menikah dengan seseorang yang mampu membahagiakannya. Sayang sekali, perempuan itu harus masuk ke dalam kehidupan Erwin.
"Aku ingin penjagaan untuknya diperketat." Erwin melirik Zara sekilas. "Jangan sampai dia terluka sedikitpun."
***
Sekitar pukul empat dini hari, Zara terbangun. Mendapati dirinya sudah berbaring di atas kasur berselimut sutra murbei yang lembut dan hangat.
Ruangan ini sederhana, tidak ada kesan mewah juga. Lampunya padam, hanya pendar dari arah balkon yang menjadi penerang. Seluruh dinding dicat warna putih gading, persis dinding ruang kerja Erwin.
Aircon yang terpasang di sudut kiri atas memaparkan suhu yang cukup sejuk. Tepat untuk membuat tidur siapa pun menjadi senyaman mungkin.
Zara beranjak dari tempat tidur. Menapak lantai parket dengan kaki telanjang. Saat pintu dibuka, Zara baru sadar kalau kamar ini masih satu ruangan dengan ruang kerja Erwin.
Ruang kerja Erwin didesain sederhana dengan dominasi warna agak gelap. Persis seperti kamar yang Zara tempati tadi.
Satu set sofa mengelilingi sebuah meja panjang yang kosong melompong. Beberapa rak tertata di sudut kiri ruangan. Penuh dengan arsip-arsip.
Erwin duduk di kursi kerjanya. Tertidur.
Zara menghampirinya dengan langkah pelan. Berdiri menyejajarkan wajahnya dengan wajah Erwin.
Sekilas, dilihat dari jarak sedekat ini, Erwin terlihat seperti manusia normal. Tidak ada kengerian tergambar di guratan wajahnya, sama sekali. Berbeda saat mata itu terbuka. Semua yang dipandangnya seolah membuat Erwin jengkel sendiri. Erwin selalu menebar kebencian pada apa pun yang dia lihat.
Padahal, Erwin termasuk pria dengan wajah tampan dan tubuh gagah. Tapi, sikapnya yang keras kadang membuat Zara melupakan kalau usia mereka tidak berbeda jauh. Seolah Erwin jauh lebih tua darinya, dan Zara hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Zara jadi penasaran bagaimana jadinya kalau Erwin punya sikap lembut? Menyayangi Zara tanpa syarat, mengasihinya dengan tulus. Tidak bisa dibayangkan bagaimana rasanya dicintai oleh seorang Erwin. Bahkan, tidak diinginkannya saja, Zara sudah dikekang sedemikian rupa. Zara tidak tahu alasan Erwin begitu melindunginya. Yang pasti, Zara tahu, selama dia masih menjadi istri sah Erwin, maka, keselamatan Zara adalah tanggung jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...