54 Aku Mencintaimu

1K 46 2
                                    

Malam itu, Erwin tidak pulang, padahal Zara sudah bersiap. Erwin bilang dia ada pekerjaan penting. Tingkahnya sedikit aneh. Erwin tidak banyak bicara, dia hanya meminta maaf karena membuat Zara menunggu, lalu naik ke kamarnya dan tidak kunjung keluar sampai saat ini.

Zara ingin sekali bertanya pada Zoro, tapi Zara tidak mungkin melakukannya. Zara toh tidak mau dianggap peduli dengan suaminya.

Menjelang malam, tepat saat Zara sedang bersantai di ruang depan sendirian sembari menonton televisi dan memakan makanan ringan, Erwin tampak menuruni anak tangga, menoleh padanya sebentar, lalu berbelok ke dapur. Zara menangkap bayangan Erwin di kegelapan tengah membuka kulkas. Mengambil botol air minum, lalu menenggak isinya yang tinggal setengah.

"Tidak ada makanan jadi. Aku akan memasak, jika Mas lapar," ujar Zara setengah berteriak.

Yang ditanya menutup kulkas. Menghampiri ruang depan dan mengambil remot, mematikan televisi. Ekspresinya yang serius membuat Zara menegakkan duduknya. Zara meletakkan camilan yang tengah dimakannya. "Siapa yang mengizinkanmu keluar?"

Zara berusaha mencerna pertanyaan itu. Namun, dirinya tidak bisa menyimpulkan apa pun selain fakta bahwa suasana di antara keduanya sekarang ini sedang tidak baik. Apa Erwin marah, tapi kenapa? "Listriknya mati dua kali. Aku takut berada di kamar sendirian, karena itu aku ada di sini."

"Sanji!" suara Erwin meninggi. Menandakan kalau perkiraan Zara benar. Zara berdiri cemas. Saat Sanji datang, Erwin berkata, "panggil orang-orang yang menjaga kamar Zara ... sekarang!"

Dua pengawal itu datang menghadap Erwin. Zara terkesiap ketika Erwin, tanpa mengatakan apa pun, memukul perut keduanya. Tidak sampai di situ, Erwin bahkan menendang kaki dua pengawal itu. Kemudian, mendaratkan pukulan ke wajah mereka secara bergantian.

"Hentikan!" Zara tidak mau melihat semua ini. "Apa yang Mas Erwin lakukan? Apa salah mereka?" tanya Zara penuh penekanan. Tanpa sadar, napasnya memburu. Zara tahu Erwin temperamental, tapi menyaksikan suaminya sendiri menyiksa orang lain jelas membuatnya tercengang.

"Sudah kubilang jangan biarkan dia keluar tanpa izin dariku." Erwin berteriak cukup keras kepada dua orang pengawalnya itu. "Menuruti perintah semudah itu saja kalian tidak becus. Kalian seharusnya dihukum dengan lebih berat. Sanji, bawa mereka ke gudang. Jangan berikan makanan atau minuman sedikit pun. Biarkan mereka mati kelaparan."

Zara terperangah. Takterkecuali Sanji yang sempat terdiam selama sepersekian detik, memikirkan perkataan Erwin yang terdengar gegabah. Namun, demi menghindari amukan Erwin, Sanji hanya bisa menuruti perintahnya. Ia memanggil dua orang lain untuk membawa dua pengawal yang sudah lemas itu ke gudang.

"Tunggu!" Zara berdiri menghalangi Sanji. "Ini bukan salah mereka. Aku yang memaksa mereka untuk membiarkanku keluar. Harusnya aku yang dihukum, bukan mereka."

"Kau membela seorang pengawal?" Erwin bertanya heran.

"Mereka tidak salah, Mas. Lagi pula bagaimana kau bisa memberikan hukuman mati untuk satu kesalahan yang bahkan tidak murni datang dari mereka? Biarkan mereka pergi, jangan hukum mereka sekejam itu," pinta Zara. Berharap Erwin masih memiliki rasa kemanusiaan. Untuk masalah sepele seperti ini, bagaimana bisa pria itu sampai berpikir untuk membiarkan orang lain mati kelaparan? Memang masalah besar apa yang akan terjadi jika Zara keluar kamar. Zara toh hanya menonton televisi, itu saja? Tidak ada hal lain.

Namun, reaksi Erwin setelahnya malah membuat Zara berpikir sebaliknya.

"Berikan ponselmu." Erwin menengadahkan tangan ke hadapan Zara. "Berikan sekarang juga dan akan kupikirkan hukuman lain untuk mereka."

Zara menghela napas pelan berkali-kali. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia harusnya langsung mengembalikan ponsel itu sebelum Erwin menyadarinya. Tidak mau membayangkan dua pengawal ini dibiarkan mati begitu saja, Zara akhirnya memberikan ponselnya pada Erwin.

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang