34 Kupu-Kupu Lorenz

945 32 1
                                    


H-3 sebelum acara ulang tahun Erwin.

Zara duduk di samping kolam renang dengan kaki setengahnya terendam air. Ia sudah memakai pakaian pendek sekarang, tapi tidak berniat untuk turun dan menjadi lebih basah.

Berenang di cuaca yang panas seperti ini mungkin akan terasa menyegarkan, tapi bisa membuat siapa pun pusing juga.

Suasana hening, tidak ada seorang pun di sekitarnya. Sanji berada di luar rumah karena Zara berkata kalau dia akan berenang sebentar. Sementara pelayan lain, di waktu-waktu seperti ini, terkadang para pelayan berkumpul di paviliun. Mungkin beristirahat atau melakukan hal lain. Zara tidak terlalu mengerti.

Dia mendongak. Langit di atas sana cerah sekali. Terik dan begitu biru. Warna yang membuat Zara terpesona. Biru tulen yang sempurna, sama seperti warna hijau lumut yang bisa kau temukan di pinggiran sungai, atau merah alami dari darah.

Awan putih mengambang di kejauhan. Pandangan Zara mengabur saat sesuatu keluar dari matanya.

Entah sejak kapan hal ini sering terjadi. Setiap kali termenung sendirian, ia akan menangis. Padahal, jika dipikir, hari-harinya di rumah ini berjalan lancar saja. Tidak ada masalah, tidak juga hal spesial. Namun, sesuatu dalam hatinya terus saja memaksanya untuk merasa tidak tenang.

Semua kekhawatiran yang dia rasakan. Segala hal buruk yang dia bayangkan. Zara selalu bermimpi hidup jauh dari sini. Di rumah kecil yang hanya ada dia. Di tempat di mana dia merasa aman. Dari orang lain, termasuk Erwin.

Zara menyentuh perutnya. Jika Erwin tahu kalau Zara sedang mengandung, apa yang akan pria itu lakukan? Zara membayangkan akan mendapat segala bentuk perhatian. Memperoleh apa pun yang dia inginkan. Namun, imbas dari semua itu adalah masa depan anaknya yang kemungkinan besar akan menjadi suram.

Disekanya mata dengan punggung tangan. Hilang lebih baik, ketimbang harus menyerahkan anaknya pada manusia tidak punya belas kasih.

"Bukankah cuaca hari ini cukup panas?"

Zara tertegun, ia menoleh ke belakang. Danta dengan santai berjalan menghampirinya. Pria ini ... padahal Sanji sudah memastikan kalau tidak ada orang lain di rumah, bagaimana pria itu bisa muncul?

"Aku berpikir untuk berenang, ternyata kamu juga memikirkan hal yang sama." Danta tersenyum.

Tidak mau berurusan dengan orang itu, Zara memutuskan untuk pergi, tapi sebelum sempat beranjak, perkataan Danta selanjutnya membuat Zara kembali terkejut.

"Bagaimana kabar calon pewaris keluarga Sanders?" Danta berdiri tepat di sampingnya. Menatap lurus entah ke mana. Sekilas tatapannya tampak kosong, sampai dia merendahkan pandangan, dan menatap Zara tanpa ekspresi apa pun. Kemudian, menjatuhkan diri dengan posisi tubuh bagian belakang lebih dulu menyentuh air.

Bunyi kecipak menulikan pendengarannya. Zara terpaku pada adegan di depannya saat Danta dengan mahir dan begitu luwes, berenang menuju ujung kolam, lalu perlahan kembali ke arahnya, dan berhenti tepat di depannya. Rambutnya yang basah disapu ke belakang dengan dua tangan. Danta menyingkirkan air yang menghalangi pandangannya.

Tanpa ragu, pria itu mengambang lebih dekat. Membuat Zara bergidik, tapi tidak sanggup walau hanya untuk mengangkat kaki.

"Anak itu adalah pion emas, Zara. Anak itu bisa memberimu keselamatan, juga mampu menjatuhkanmu ke dasar jurang." Danta berdiri tenang di depannya. Seolah menapak tanah. Mengingat tinggi badannya, Zara yakin pria itu memang menjejak dasar kolam. "Mana yang kamu pilih?"

Zara tertegun, hanya bisa diam menatap Danta yang masih dengan sabar menunggu jawabannya. Riak air di sekitar tubuh yang masih terbalut kaus perlahan tenang. Tetesan dari rambut, wajah, dan tangan, menciptakan pola interval. Suara jatuhnya seakan mampu direkam dengan begitu jelas, sampai seketika waktu melambat.

Sesuatu dalam perutnya bergejolak. Kebutuhan yang mendesak memaksanya untuk bangkit. Zara berlari keluar area kolam. Menuju toilet.

***

"Sebenarnya apa yang kakakku pikirkan?" gumaman Devi membuat pelayan yang sedang mengikutinya memilih pakaian dan terkadang merekomendasikan baju keluaran terbaru, meninggikan alis. Merasa bahwa hanya ada dia di samping sang pelanggan, jadi tidak mungkin si pelanggan ini berbicara pada orang lain.

"Tidak mungkin dia akan diam saja setelah mendapatkan kesempatan untuk masuk ke rumah Sanders." Kali ini, Devi membatin. "Tidak, kakakku tidak sebodoh itu."

Satu-dua kain yang diambilnya terlihat menarik saat masih tergantung, tapi jadi membosankan ketika sudah dilihat keseluruhan. Ada saja detail kecil yang berhasil membuat Devi jijik.

"Aku ingin gaun yang cocok digunakan saat acara ulang tahun. Sesuatu yang bisa membuatku tampak cantik dan elegan, juga berkelas."

Sang pelayan mengangguk.

"Apa maksudnya dengan meminjam Gio? Apa kali ini dia akan menciptakan drama lagi? Mengikutsertakan suamiku?" Devi mendecak. "Merepotkan, tapi kalau begitu, maka aku akan mendapatkan tontonan gratis." Sedetik kemudian, kekesalan di wajahnya berubah menjadi senyum. "Apa aku minta tempat untuk ikut andil juga? Sepertinya menyenangkan."

Sebelum sang pelayan pergi, Devi menghentikannya. "Tunggu, bawakan aku gaun yang paling mahal."

***

Di kantornya, Erwin duduk bersandar dengan tenang. Namun, tidak dengan pikirannya yang sibuk menjelajah. Sudah lama ia berdiam. Ketukan pensil pada meja teratur, menciptakan bunyi yang jadi pengisi kekosongan ruangan itu. Entah sudah ke berapa kali, Erwin menghela napas jengah.

Pada dirinya sendiri, pada apa yang dia lakukan, pada apa yang terus melintas di pikirannya.

Erwin mengeluarkan ponsel, menghubungi seseorang. "Masuklah!"

Tidak lama, Zeff sudah berdiri di hadapannya. Meski seharian ini ada banyak pertemuan yang harus bosnya hadiri, tapi Erwin selalu terlihat biasa saja. Tidak ada tanda lelah di wajahnya, dan itu selalu membuat Zeff kagum. Karena dirinya yang hanya ikut di belakang panggung saja sudah lelah jiwa raga.

Zeff membayangkan akan pensiun. Menikah dengan seseorang, lalu hidup di tempat yang indah dan mencari pekerjaan yang tidak terlalu melelahkan. Yang tidak menghabiskan terlalu banyak waktu dan tenaganya. Lalu, mengunjungi Sanji dan Erwin sesekali.

Namun, keinginannya itu sepertinya masih butuh banyak waktu untuk bisa terealisasikan.

"Apa yang sedang Zara lakukan?"

Karena ini sudah hampir tengah malam, dan Sanji juga memberi kabar kalau Zara sudah masuk ke kamarnya sejak beberapa jam lalu, jadi mungkin saja perempuan itu sudah tertidur.

"Apa dia berbicara dengan Danta hari ini?"

Sanji bilang, dia sudah memastikan rumah kosong saat meninggalkan Zara keluar. "Tidak."

Erwin meletakkan pensilnya. "Aneh, rasanya ada yang salah di sini." Bukan tentang pikirannya yang kacau, melainkan benak, yang sedari tadi terasa mengganjal. "Perasaanku tidak enak."

"Kita bisa pulang sekarang." Kalau tidak diingatkan, bisa-bisa Erwin akan duduk seperti itu semalaman penuh, lalu berujung pulang keesokan paginya, dan harus pergi ke kantor lagi tanpa sempat mengistirahatkan badan.

Dia masih bergeming. Instingnya cukup bagus, dan Erwin memercayai firasatnya sendiri. Jadi, dia tidak bisa diam saja dan menunggu suatu masalah mendatangi. "Periksa kamera pengawas di seluruh sudut rumah." Semua orang bisa lalai, tapi untuk yang satu ini sepertinya Erwin harus memastikan sendiri. "Sudah pastikan ke mana semua anggota keluarga yang lain pergi?"

"Tuan dan Nyonya besar berada di kantor, Gio di rumah sakit, Devi berbelanja, dan Danta ...." Kejanggalan, seperti kepakan sayap kupu-kupu yang bisa menciptakan tornado, setiap kejadian kecil yang terjadi di muka bumi ini mampu menciptakan dampak yang begitu besar. "Kami mengikutinya sampai ke depan sebuah hotel, dia tidak keluar sampai sekarang."

Itu dia!

"Lupakan soal kamera pengawas. Kita pulang sekarang. Hubungi Sanji untuk memeriksa apakah Zara ada di dalam kamarnya atau tidak. Jika tidak ada yang membuka pintu, maka dobrak saja."

***

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang