Hangat dari selimut yang menutupinya membuat Zara malas untuk membuka mata. Namun, ia terusik berkat sinar yang menyilaukan matanya. Zara bergelung lebih dalam. Ini mungkin yang disebut sebagai mimpi yang terasa nyata. Tidur lelap dengan nyaman, hingga seolah ia diciptakan hanya untuk berbaring dalam kehangatan.
Dalam suasana yang indah itu, Zara merasakan kehadiran seseorang. Saat ia membuka mata, yang Zara temukan adalah keberadaan sosok Erwin yang tengah duduk di sofa dekat jendela. Sibuk mengotak-atik laptopnya. Baju rumah sakit yang sebelumnya dia dipakai sudah berganti dengan pakaian santai.
Sekilas, Zara terpesona dengan bagaimana pria itu terfokus pada apa yang ada di hadapannya. Matanya yang sedikit sipit dinaungi bulu mata lentik, garis wajahnya menciptakan siluet yang memukau, baju yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana panjang itu membentuk porsi tubuh yang sempurna.
Zara terlalu fokus sampai tidak sadar kalau objek yang tengah dipandangnya, kini membalas tatapannya. Detik-detik hening di antara keduanya membuat waktu seolah melambat. Atau mungkin hanya Zara yang menginterpretasi terlalu tinggi?
"Sudah baikan?" Erwin menutup laptopnya. Mengalihkan perhatiannya pada Zara.
Dia berdeham, duduk dan merapikan rambut. Yang seharusnya ditanyai begitu bukanlah Zara, melainkan Erwin. "Iya, Mas Erwin bagaimana?"
Erwin mengangguk. "Kalau begitu, kita bisa berbicara serius sekarang." Setelah menggeser laptopnya lebih ke tengah, Erwin bangkit dan beralih duduk ke kursi di samping brankar. "Kamu menemui Riyan Damara." Itu lebih patut disebut sebagai pernyataan ketimbang pertanyaan. "Satu bulan, Zara. Ayahmu didiagnosis tidak akan bertahan sampai satu bulan."
Zara membuang muka. Tidak sanggup menatap wajah itu lagi. Takut kalau air matanya jatuh tiba-tiba.
"Apa saja yang kamu ketahui?" Erwin menatap Zara seolah tengah meneliti. "Apa yang Danta katakan padamu?" rasanya sudah sangat lama Erwin tidak menatap seseorang seserius ini. Apalagi jika orang itu berjenis kelamin perempuan.
Makhluk satu itu selalu berhasil membuat Erwin muak.
Karena tidak juga mendapat jawaban, dan Zara juga tidak mau membalas tatapannya, Erwin akhirnya menyerah. Dia menghela napas samar, kemudian bangkit dari kursinya. "Apa pun yang Danta katakan itu benar. Namun, ingat satu hal, Zara, kamu tidak bisa memercayai orang lain semudah itu atau kamu sendiri yang akan terluka." Erwin berjalan kembali ke sofa. "Benci aku semaumu, tapi jangan pernah sekalipun berpikir untuk dekat dengan Danta lagi. Dia bukan orang yang bisa kamu percaya."
Siluet punggung itu membuat Zara bimbang. Semua yang Erwin katakan, caranya berbicara, juga tatapan matanya, seolah menunjukkan hal lain yang tidak pernah Zara lihat sebelumnya. Ketulusan.
Kenapa Zara seolah bisa melihat kekecewaan dalam tatapan itu? Mata yang selama ini selalu menggetarkannya dengan amarah dan benci. Yang seakan ingin menghancurkan segalanya.
Ia sayu kini.
***
Devi menghela napas. Terhitung sudah lima belas menit dia menunggu, tapi orang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Padahal, Devi sudah menjelaskan kalau dia tidak bisa berlama-lama.
Tempat yang dipilih orang itu untuk bertemu berada di pinggiran kota, jauh dari kerumunan. Hanya ada beberapa orang yang lalu-lalang. Tempat ini sedikit kumuh dan panas, membuat Devi hampir kehilangan kesabaran.
Jika bukan Danta yang memaksanya, Devi tidak akan mau pergi ke tempat seperti ini.
Orang-orang yang lewat membuatnya merinding. Wanita berbaju lusuh dengan rambut kusut berjalan menggendong anaknya sembari mendorong gerobak, anak-anak berlarian dengan badan kotor, ada juga seorang pria bersetelan serba jeans compang-camping yang mengerling padanya. Devi benar-benar tidak tahan lagi.
Tubuhnya meremang.
Devi mengeluarkan ponselnya, menghubungi Danta. Namun, panggilannya tidak tersambung. "Sialan!"
Kakaknya itu memang selalu bertingkah sesuka hati. Perjalanan ke sini saja sudah menghabiskan dua jam waktunya. Padahal, dia bisa bersantai di rumah atau melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.
Danta juga tidak memberitahunya apa tujuan Devi disuruh ke sini. Danta hanya memintanya untuk mengambilkan hadiah ulang tahun Erwin. Hanya karena Devi penasaran dengan apa yang kakaknya itu pikirkan, dia menurut saja.
Sekarang dia sendiri yang menyesal.
Devi memutuskan menghubungi kakaknya lagi. Kalau sampai panggilannya tidak juga membuahkan hasil, Devi akan pulang saja. Dengan kesal, dia menekan tombol dial. Memperhatikan orang-orang yang tadi melewatinya menghilang di balik gang. Saat berbalik ke arah sebaliknya, Devi tertegun.
Perempuan berambut panjang tergerai dengan gaun putih bermotif bunga itu berjalan pelan ke arahnya. Sepatu hak tinggi menciptakan irama pada jalan aspal yang sedikit basah. Senyum di wajahnya menghasilkan senyum yang sama pada bibir Devi.
Dia menurunkan ponselnya. Berjalan mendekat. Devi mengulurkan tangan. "Hannah?"
Ia membalas, "Lama tidak bertemu."
***
Malam ini semua anggota keluarga makan bersama di luar ruangan. Karena Gaara dan Evelyn ada di rumah, rasanya jadi sedikit lebih ramai. Aroma panggangan daging menguar, menarik siapa pun untuk mendekat. Suasana malam ini tidak terlalu dingin, jadi mereka bisa berlama-lama tanpa pakaian tebal.
Besok adalah hari perayaan ulang tahun Erwin. Roselyyn yang bertanggung jawab atas acara kali ini karena dia bersikeras ingin melakukannya.
Roselyyn sudah merencanakan banyak hal, tinggal pengeksekusian. Besok malam pesta akan dilaksanakan di halaman rumah. Pesta kecil-kecilan yang hanya akan mengundang beberapa orang penting saja. Erwin sudah bilang dia tidak mau acara itu terlalu ramai.
Itu akan sangat merepotkannya. Bahkan, hanya disuruh untuk meniup lilin dan memotong kue saja Erwin sudah merasa muak. Jika bukan karena media massa dan para koleganya, Erwin tidak akan sudi menghadiri pesta seperti itu.
Zara mengambilkan sepiring daging panggang untuk Erwin. Suaminya itu sedari tadi sibuk memainkan ponselnya. Sama sekali tidak tertarik untuk mengobrol dengan yang lain. "Mau kubuatkan kopi?" ia menawarkan.
Erwin menegakkan kepala, menyimpan ponselnya di atas meja, lalu mengangguk. "Aku ingin kopi manis."
Tumben, Zara mengernyit. Namun, ia memilih untuk mengiakan saja. Dia masuk ke dapur dalam rumah. Ramai di luar begitu kontras dengan suasana di tempat ini. Lampu remang, tidak ada seorang pun. Suara langkah kaki Zara menjadi pengisi kesunyian.
Erwin menyukai segelas kopi dengan satu sendok teh bubuk, biasanya hanya itu. Sekarang saat Erwin meminta kopi manis, Zara jadi sedikit bimbang. Berapa banyak sendok gula yang harus ditambahkannya?
Jika terlalu manis, Erwin pasti tidak akan menyukainya.
Zara memutuskan untuk menyamakan resep kopinya dengan resep teh yang biasa Erwin minum. Berdoa semoga saja Erwin tidak marah dan melempar cangkir kopinya ke arah Zara di depan semua orang. Semua usahanya untuk terlihat baik-baik saja akan lenyap.
Saat Zara berbalik dengan secangkir kopi di kedua tangannya, ia hampir saja menjerit ketika menyadari keberadaan Danta tepat di hadapannya. Zara menghela napas dan mengelus dada. Untuk saja kopinya tidak tumpah.
Danta tersenyum melihat Zara menatapnya dengan garang. Ia menyodorkan sebuah kunci. "Ada sebuah lemari di rubanah. Periksa apa yang ada di dalamnya."
Rubanah? Zara bahkan tidak tahu kalau ada rubanah di rumah ini.
Karena Zara hanya terdiam, Danta menggamit sebelah tangannya dan menaruh kunci itu ke genggaman Zara. "Erwin suka kopi dengan satu sendok gula." Danta mendekat dan berbisik, "kalau kamu memilih untuk hidup menderita selamanya dengan Erwin, lebih baik kamu ikut menghilang dengannya."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/352290951-288-k587904.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
Literatura FemininaPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...