Zara masih diam bahkan setelah mobil yang ditumpanginya berhenti di halaman sebuah rumah di daerah tepian Jakarta. Perempuan itu memang sedang tidak berselera melakukan apa pun. Namun, dia dipaksa melakukan banyak hal sejak pagi. Mulai dari mandi, ganti baju, merias diri, dan sarapan. Lalu, yang terakhir adalah mengikuti Erwin sampai ke sini.
Entah apa yang Erwin pikirkan. Setelah mengurung Zara semalaman dengan tangan diikat seperti korban penculikan, hari ini pria itu kembali menjadi Erwin yang biasa. Meski tentu saja ada sesuatu yang berbeda dengan tingkahnya. Erwin yang sekarang tidak perlu bersikap manis lagi karena Zara sudah tahu segala hal busuk dalam dirinya.
"Bersikap seperti istri yang baik, dan aku akan menunjukkan padamu di mana makan ibu kandungmu." Erwin menggamit tangan Zara.
Perempuan itu tertegun. Tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari suaminya, dengan ekpresi sang suami yang jauh dari kata simpati. Pria itu tersenyum tipis.
Pintu mobil dibuka dari luar, Erwin menghampirinya dan bersiap untuk menggenggam tangannya. Zara mau takmau mengikutinya tanpa protes sedikit pun.
Mereka langsung disambut oleh beberapa pelayan begitu menginjakkan kaki di halaman rumah. Seseorang di antara pelayan itu menuntun mereka untuk masuk, melewati ruang depan, ruang tamu, dapur, dan ruang makan yang bergabung menjadi satu tanpa sekat. Menuju sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat beberapa sofa dan meja panjang. Ada seorang kakek yang duduk di satu sofa besar, sementara seorang nenek tampak duduk di sofa lain, di sebelahnya.
Erwin menarik tangan Zara agar mereka membungkuk bersama. Lagi-lagi Zara dibuat heran.
Mereka duduk si sofa panjang, di depan sang nenek.
"Zara." Suara nenek itu membuat Zara menegakkan kepala. Tatapannya yang aneh menyimpan berbagai perasaan yang Zara sendiri tidak bisa pahami. Meski bibir sang nenek tersenyum, tapi matanya jelas sendu.
Selanjutnya terjadi percakapan antara Erwin dan sang kakek yang Zara tidak mengerti sama sekali. Sampai sang nenek akhirnya mengajak Zara untuk keluar. Zara mengikutinya sampai ruang makan.
Di dapur yang tidak bersekat, para pelayan dan koki tengah sibuk mempersiapkan hidangan makan siang. Aroma masakan menguar ke seluruh penjuru ruangan.
Rumah ini bergaya tradisional dan cukup besar. Beberapa ornamen kebanyakan terbuat dari kayu jati yang dipoles dengan cat berwarna cokelat tua. Lantai rumah ini pun terbuat dari kayu, sangat kontras dengan rumah penduduk lokal yang sudah terkena dampak modernisasi.
Beberapa sudut rumah diberi tanaman indoor dalam pot bunga. Menambah kesan sejuk dan nyaman. Posisi rumah yang di sekitarnya terdapat pepohonan juga menambah asri kesan dari tempat ini.
Zara menyeruput teh hangat yang dihidangkan di hadapannya, berharap dirinya merasa sedikit lebih nyaman.
"Aku dengar sekarang kalian tinggal berdua." Sang nenek bertanya padanya. Bajunya yang putih bersih sejenak mengingatkan Zara pada neneknya, ibu dari Stephanie. Orang yang sudah bertahun-tahun tidak pernah ditemuinya. Seorang perempuan penyuka kue basah dan teh hangat.
"Iya, kami tinggal di rumah Mas Erwin."
Sang nenek mengangguk. "Kalian sudah konsultasi ke dokter?"
"Maaf?"
"Ini sudah lebih dari setengah tahun. Kalian tidak ingin segera memiliki putra?"
Ada jeda yang terisi dengan hening. Suara peralatan dapur samar-samar terdengar, membuat Zara yakin kalau apa yang dikatakan nenek itu sudah jelas didengarnya.
Tidak ada yang bisa Zara katakan. Membuat alasan pun rasanya salah. Zara tidak menghindari Erwin sebelum ini. Hubungan mereka baik-baik saja.
Sekarang saat memikirkannya lagi, Zara malah merasa aneh.
Akankah dia sudi memiliki anak dari Erwin setelah apa yang terjadi? Setelah dia mengetahui segalanya? Kebenaran yang menyakitkan itu jelas akan menciptakan sekat bagi Zara dan Erwin.
"Sudah lama kami menanti untuk melihat anak kecil berkeliaran di sekitar kami. Namun, sayangnya, Gio menikahi perempuan yang mandul." Sang nenek menghela napas. "Harusnya kami tidak membebaskannya untuk menikahi perempuan itu." Pandangannya yang semula tertuju ke sembarang arah, kini beralih kepada Zara. "Harapan kami hanyalah kamu dan Erwin. Kami ingin menggendong bayi. Sesegera mungkin."
Perasaannya jadi tidak nyaman. Zara tidak pernah mengira akan ditanyai pasal hal ini. Memang dia sudah tahu kalau nenek dan kakeknya Erwin sangat mengidamkan seorang cicit, tapi diberitahu secara gamblang seperti ini, apalagi mendengar sang nenek sampai membicarakan fakta tentang Devi, Zara malah jadi merasa bersalah.
Perbincangan yang membuat Zara tidak bisa berkutik, selain mengangguk dan menggeleng, itu tidak berlangsung lama karena Erwin, beberapa saat kemudian, keluar bersama sang kakek, bergabung ke ruang makan. .
Ada begitu banyak lauk yang terhidangkan dalam piring-piring yang tertata di atas meja. Sang nenek dengan perhatian mengambilkan Zara secendok tumis jamur. Lalu, mengambilkan Zara secuil daging ikan yang sudah dia pastikan bersih dari duri.
Zara merasa tidak enak hati, tapi menolaknya juga malah akan membuat masalah. Jadi, Zara memakan semua pemberian sang nenek dengan senyuman, meski dia paksakan.
Otak Zara tiba-tiba mengingat perkataan Danta yang bertanya, "Apakah sang nenek menyesal telah menjadi dalang atas terbunuhnya ibu kandung Zara?" karena itu dia bersikap begitu baik? Bahkan sampai memastikan Zara tumbuh menjadi dewasa dan membuatnya menjadi istri dari cucunya sendiri. Lalu, sekarang, dia ingin membuat Zara lebih terikat dengan meminta cicit?
Zara tidak pandai menilai orang lain, tapi tingkah sang nenek terlihat tulus. Lagipula apa yang bisa nenek itu harapkan dari Zara? Zara jelas tidak memiliki apa pun.
"Kamu baik-baik saja?" punggung Zara ditepuknya. Nenek itu langsung menyodorkan segelas air putih pada Zara.
Tidak tahu apa yang salah, mencium bau daging ikan, Zara merasa mual. Amis sekali. "Iya," jawab Zara sembari meminum air putih itu.
"Apa baunya membuatmu mual?" sang nenek tampak kesal. "Panggil koki yang memasak hidangan ini sekarang juga," perintahnya.
"Tidak, tidak." Zara menginterupsi sebelum terjadi masalah. "Aku tidak apa-apa, mungkin karena sudah lama tidak makan ikan, jadi mencium baunya saja membuatku merasa sedikit mual."
Sang nenek mengelus punggung Zara. "Jangan makan ikannya, makan yang lain."
Zara mengangguk, tatapannya tidak sengaja jatuh pada Erwin. Pria itu hanya memperhatikannya tanpa berniat untuk mengatakan apa pun.
***
Sore digusur mendung hari itu. Membuat malam seolah datang lebih cepat. Memaksa orang-orang untuk segera mencari tempat berteduh agar tidak kehujanan. Angin dingin mampu membuat siapa pun bergidik berdiri di luar rumah. Cuaca yang tidak pasti membuat suhu terkadang menjadi sangat panas, tapi bisa berubah menjadi sedingin es pula.
Dalam mobil, Zara mendekap dirinya sendiri. Padahal, dirinya tidak memakai baju yang terbuka, dan AC dalam mobil juga tidak terlalu dingin, tapi udara dari luar seolah sanggup menembus badan mobil. Membuatnya bergidik.
Sekantung buah-buahan dari nenek Erwin tergeletak rapi di bagasi bersama beberapa bahan makanan lain. Zara dibekali banyak sekali makanan.
Saat mobil berhenti, Zara mengedarkan pandangan sambil mengernyit. Ini jelas bukan kawasan rumah Erwin. Bahkan, sepertinya mereka masih terlalu jauh. "Kenapa kita ke rumah sakit?"
"Kamu harus memeriksakan keadaanmu, Zara."
"Namun, aku baik-baik saja."
Erwin segera menoleh padanya. "Anggap saja ini untuk jaga-jaga. Kita tidak tahu apakah penyebab dari mualmu itu adalah sesuatu yang lain." Pria itu menangkup pipi Zara. "Siapa tahu kamu hamil."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...