16 Kabur

2.2K 80 0
                                    

"Arin, aku butuh bantuan kamu."

Segera setelah Mbak Devi meninggalkan kamarnya, Zara men-dial nomor Arin, satu-satunya orang yang terpikir dalam benaknya saat ini.

Zara tidak bisa berdiam diri di sini dan menerima semua perlakuan Erwin padanya. Zara merasa dia harus segera bertindak, atau Erwin akan semakin semena-mena. Sudah cukup selama ini dia mengalah, menerima semua perlakuan Erwin yang tidak beradab. Sekarang, tidak lagi. Zara tidak mau lagi hidup dengan pria itu.

"Bantuan apa?" tanya Arin, Milo ikut menggonggong di seberang sana.

"Jemput aku ke rumah suamiku besok pagi. Ini penting, aku benar-benar butuh bantuan kamu."

"Bentar, kamu nggak papa, 'kan? Mas Erwin kdrt atau gimana?" tanya Arin panik, sekaligus merasa aneh dengan pertanyaannya sendiri. Pasalnya, Erwin yang dia kenal adalah pria tersohor dengan etiket baik-baik. Hampir tidak mungkin seseorang seperti Erwin melakukan kekerasan. Apalagi pada perempuan.

"Besok aku jelasin. Jemput aku sebelum berangkat ke kantor. Aku tunggu besok." Zara langsung mematikan sambungan ponselnya. Takut kalau Erwin tiba-tiba muncul.

Malam ini Zara harus bertahan, mengubur dalam-dalam rasa takut, juga tanda tanya besar dalam pikirannya.

***

Menu sarapan hari ini adalah omelet dengan tumis mushroom and spinach. Pagi sekali, Zara sudah bebersih dan turun ke dapur membantu persiapan sarapan. Erwin kembali ke kamar sekitar pukul tiga pagi. Zara yang saat itu terlelap, kemudian terjaga. Dan tidak bisa tidur lagi setelahnya. Tapi, tetap menutup wajah dengan selimut dan bergelung di sofa agar tidak perlu ada percakapan atau kontak mata dengan Erwin.

Waktu Zara bangun tadi, suaminya itu masih tertidur pulas di kasurnya. Zara jadi bisa leluasa turun ke bawah tanpa perlu berbincang dulu dengannya.

Teh untuk Erwin sudah siap di mejanya begitu pria itu turun. Zara duduk di sebelahnya. Sudah berpakaian rapi. Membuat Erwin mengernyit. "Kau bangun pagi," ujar Erwin dengan suara pelan. Cukup untuk didengar Zara seorang.

"Aku ada urusan dengan temanku hari ini." Zara menoleh. Rasa takut yang semula hanya sebatas antara suami yang suka melakukan kekerasan kepada istrinya, kini meningkat, membuat Erwin tampak seperti psikopat dalam pandangan Zara. "Aku ingin pergi."

"Ada Sanji. Kalau butuh apa pun, katakan saja padanya. Kau tidak perlu keluar rumah."

Tidak, Zara harus pergi. "Ada klien dari perusahaan yang dulu pernah kutangani. Aku hanya ingin bertemu dengannya sebentar."

Erwin balas menatapnya. "Tidak tanpa pengawasan Sanji. Lagipula, lukamu belum sembuh. Bagaimana kalau kau pingsan lagi?"

Yang terpenting bagi Zara adalah keluar dari rumah ini. Baik itu sendiri atau dengan Sanji. Jadi, perempuan itu mengiakan perintah suaminya. Lepas sarapan, saat Zara sedang berada di kamar, pintu kamarnya diketuk seseorang.

"Nona Zara, ada tamu yang mencari Anda." Suara Bi Ambar.

"Iya, saya segera turun." Buru-buru Zara menyambar tasnya dari atas ranjang.

"Tamunya nggak mau disuruh masuk?" tanya Bi Ambar setelah Zara keluar kamar.

"Buru-buru mau ke kantor. Oh, ya, Bi, tolong bersihkan kamar saya. Berantakan sekali, saya nggak bisa bersih-bersih karena harus pergi."

"Tentu, Nona. Akan segera saya bersihkan."

Zara melenggang pergi, menghampiri Arin yang berdiri di depan pintu. "Arin."

Gadis berpakaian formal itu menoleh. Melihat Zara yang sedang berjalan melewati ruang tamu. Arin mengedipkan mata ke arah Zara. Memberi kode padanya tentang keberadaan Sanji yang sudah bersiap di samping BMW X5 yang biasa dipakai Erwin. Tunggu, kenapa mobil Erwin yang terparkir di sana?

"Kliennya sudah datang?" tanya Zara.

Arin melebarkan mata dan mengernyit.

"Kalau begitu kita harus cepat. Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama." Zara segera menarik tangan Arin. Menuju Audy merah milik temannya itu. Tapi, Sanji mencegah mereka sebelum Zara sempat membuka pintu.

"Anda harus semobil dengan saya. Itu perintah Tuan Erwin."

Kalau Zara satu mobil dengan Sanji, dia tidak akan bisa berbicara dengan Arin. "Aku dengan temanku saja. Kamu bisa mengikuti kami dari belakang."

"Maaf, tapi Tuan tidak mengizinkannya."

Zara menghela napas. Semobil dengan Sanji tentu saja akan membuatnya tidak leluasa melaksanakan misi melarikan diri ini. Tapi, apa boleh buat? "Baiklah." Zara melepaskan tangan Arin dan mengangguk pada temannya itu. "Aku di belakangmu," katanya, pada Arin. Gadis itu mengangguk.

Di dalam mobil, Zara mengirim pesan kepada Arin ke mana dia harus pergi.

Zara menghela napas. Kemudian, menjatuhkan badannya pada sandaran kursi. Menutup mata. Zara harus mencari tahu siapa sebenarnya pria yang telah dia nikahi itu. Tidak mungkin Zara diam saja setelah disiksa begitu kejinya.

***

"Tunggu di sini saja. Aku tidak akan lama," pesan Zara pada Sanji. Pria itu menganggukkan kepala.

Zara keluar mobil, langsung menghampiri Arin dan mengajaknya masuk ke sebuah kafe. Mereka duduk di meja paling ujung. Tempat yang memungkinkan mereka untuk tidak terlihat oleh Sanji yang berjaga di depan kafe.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa harus sembunyi-sembunyi gini? Jangan bilang kamu beneran dikasarin sama Mas Erwin?" sederet pertanyaan Arin langsung terlontar begitu mereka merasa aman.

Zara menghela napas. "Iya, Mas Erwin kdrt."

Arin menutup mulut. "Serius? Kamu diapain?" Arin memperhatikan seluruh tubuh Zara. Tidak ada lebam atau bekas apa pun. Tapi, tidak bisa menyangkal perkataan Zara begitu saja. Siapa yang tahu, Erwin mungkin sengaja melakukan kekerasan yang tidak membekas, atau di tempat-tempat yang tidak bisa dilihat. Agar tidak ada yang menyadari kalau Erwin melakukan kekerasan terhadap Zara.

"Aku dicambuk."

"Ya Tuhan." Arin menutup mulut. "Terus, gimana sekarang?"

"Aku butuh bantuan kamu buat bebas dari pengawal yang tadi." Hal pertama yang harus dilakukan Zara adalah mengalihkan perhatian Sanji. Setelah itu, Zara akan bebas melakukan apa yang dia inginkan.

"Apa pun, aku akan bantu kamu kalau itu bisa membebaskan kamu dari pria itu."

Zara menggenggam tangan Arin. "Terima kasih, aku nggak tahu lagi harus minta bantuan siapa selain kamu."

"Kita temenan udah lama. Sudah seharusnya aku bantuin kamu." Arin balas menangkup punggung tangan Zara. "Sekarang, apa yang harus aku lakuin?"

***

Sanji sedang memperhatikan keadaan sekitar saat seorang perempuan bergaun hitam keluar dari kafe. Pemilik gaun bermotif bunga dengan rambut yang tergerai sedikit bergelombang itu jelas adalah Zara. Tapi, kenapa perempuan itu malah berjalan ke arah sebaliknya? Bukan menuju tempat di mana Sanji memarkirkan mobil?

Takut ada sesuatu yang buruk terjadi, Sanji berlari mengejar perempuan itu. Cukup jauh dari kafe, Sanji mencekal tangannya karena Zara tidak juga berhenti saat Sanji memanggilnya. Sanji memiringkan kepala saat menyadari kalau perempuan yang berada di hadapannya sekarang bukanlah Zara, melainkan Arin.

Perempuan itu memakai pakaian Zara.

Sanji kembali mengernyit saat melihat perempuan lain berlari dari dalam kafe memakai baju Arin.

Itu dia Zara yang asli.

Sanji menghela napas kasar. Perempuan itu menghentikan sebuah taksi. Sanji buru-buru mengejarnya. Sayangnya, taksi tersebut terlanjur pergi. Menyatu dengan hiruk-pikuk jalanan kota. Tidak ada cukup waktu untuk mengejarnya. Bahkan, jika Sanji mengikuti dengan mobil pun, butuh banyak waktu untuk berlari menuju tempat mobilnya terparkir. Sanji tetap akan kehilangan jejak.

"Sial!"

***

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang