Dahaga dan sakit di sekujur tubuh membuat anak itu melenguh. Bimo melihat Erwin kecil terduduk lemas di sampingnya sembari menelan ludah kasar. Sudah dua hari ini mereka tidak diberi makan dan minum. Jelas saja mereka tidak punya tenaga sama sekali.
Mereka bahkan tidak tahu waktu. Kapan malam tiba, kapan pagi menjelang? Yang mereka lihat hanya remang.
Sesekali Ibu akan mengunjungi mereka, membawakan makanan yang sebenarnya tidak layak dimakan. Namun, demi menghindari amukan, Bimo dan Erwin mau tak mau memakannya. Mereka toh tidak bisa menahan lapar terlalu lama.
Pintu gudang itu terbuka, Bimo langsung memeluk Erwin erat. Melindungi adiknya itu sembari mencoba menganalisa, apakah ibunya datang membawa benda berbahaya atau tidak.
Ibunya datang dengan tangan kosong. Namun, Bimo tidak bisa bernapas lega. Sifat Ibu yang suka berubah-ubah membuatnya tidak bisa tenang. Kadang, Ibu bisa sangat perhatian sampai menyuapi mereka makanan, tapi takjarang Ibu memukul mereka tanpa alasan.
Bimo menjaga kepala adiknya untuk berjaga-jaga. Dia takut kalau ibunya sedang menyembunyikan sesuatu yang akan membahayakan. Namun, sepertinya dugaannya salah. Ibu malah duduk diam. Memperhatikan kedua anaknya tanpa membuka suara.
Ibu mendekat, Bimo langsung bersiaga. Erwin yang sudah tidak mengenal ibunya itu pun mengkerut di balik pelukan kakaknya. Hal itu membuat sang Ibu mengurungkan niatnya. Ia malah berbalik, keluar ruangan dan kembali membawa seutas tali.
"Kakak!" Erwin berteriak, mencoba meraih tangan kakaknya saat Bimo diseret keluar oleh Lisa. Sementara Bimo sendiri mencoba melepaskan diri, tapi ia belum cukup kuat untuk melawan tenaga orang dewasa.
Bimo dihempaskan hingga menabrak rak. Mirisnya, kepala belakang Bimo terbentur cukup keras hingga anak itu tidak sadarkan diri. Namun, Lisa tampak tidak peduli. Dia masih melanjutkan apa yang ingin dia kerjakan.
Saat tali tambang yang dibawanya telah terikat pada tiang di atas sana, Lisa mengangkat tubuh Bimo dan menempatkan kepala anak sulungnya itu ke dalam tali, lalu melepaskan pegangannya begitu saja.
Erwin kecil membatu di tempat menyaksikan kakaknya tergantung di balik kaca jendela yang usang, sementara ibunya terduduk lemas tanpa berniat melakukan apa-apa.
Lengang yang mencekam tidak lebih menakutkan bagi Erwin selain fakta bahwa ibunya sekarang tengah menatapnya dengan mata kosong. Erwin ingin mundur, ingin kabur saat ibunya itu berjalan mendekat dengan langkah lebar. Namun, sayang, Erwin sudah terpojok. Tangan Erwin berhasil diraihnya.
"Tidak! Lepaskan!" Erwin meronta. Namun, ibunya itu seakan tidak peduli sama sekali dengan permohonannya untuk diberikan pengampunan.
Seperti sebelumnya, Lisa melemparkan Erwin hingga tubuh anak itu menabrak dinding. Lisa menyiapkan satu tali lagi di depan penggantungan Bimo.
Erwin yang masih tersadar tidak bisa berbuat apa pun. Apakah nasibnya akan seperti Bimo? Apakah dia akan mati di tangan ibunya sendiri?
Matanya perlahan menutup saat suara gaduh tiba-tiba menyergap ruangan itu. Hal terakhir yang bisa Erwin lihat sebelum matanya benar-benar terpejam adalah kehadiran orang-orang yang tidak dia kenal. Meraihnya dari lantai, memeriksa denyut nadinya. Beberapa orang lain menangkap ibunya.
Guncangan di tubuhnya menghantui Erwin. Membawanya ke ruangan yang begitu gelap dan memabukkan. Suara-suara yang memanggilnya terdengar begitu jauh, meski sebenarnya sangat dekat. Erwin tidak sadarkan diri.
Napasnya tersengal. Erwin terduduk dengan peluh memenuhi badan seperti bola-bola kelereng kecil. Detak jantungnya begitu cepat seolah diburu sesuatu.
Hanya mimpi, batinnya. Untung saja hanya mimpi. Erwin menyisir rambutnya dengan tangan. Melirik jam di atas nakas yang telah menunjukkan pukul sebelas malam. Dia tidak tertidur terlalu lama. Sekitar satu jam, tapi rasanya seluruh tubuhnya sudah capek sekali berbaring di atas kasur. Mungkin karena mimpi itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...