37 Siapa Hannah?

961 39 8
                                    


"Kita diikuti." Ian berbicara lirih. Membuat Zara sontak menoleh ke belakang. Benar, ada mobil di sana, bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus.

Ian memaki dalam hati. Posisi mereka sekarang sangat tidak menguntungkan. Satu mobil di belakang sana bisa saja berisi empat orang, yang sudah bersiap untuk menyerang. Sementara saat ini hanya dia seorang yang bisa bertarung, dan dia harus memikirkan tentang keselamatan Zara juga. Satu-satunya pilihan yang bisa diambilnya adalah kabur.

Terus mengemudikan mobilnya ke daerah yang cukup ramai untuk meminimalisir penyerangan.

Namun, nyatanya, belum sempat mereka menemukan perumahan, mobil mereka ditabrak dari belakang. Bukan hanya sekali. Namun, berulang-ulang.

Zara mendengar Ian memaki dengan kasar sebelum mobil mereka kehilangan kendali dan berhenti di tepian jalan.

"Tetap di dalam mobil." Itulah perintah Ian sebelum dirinya keluar dan meninggalkan Zara sendirian.

Siang belum berganti petang, tapi jalanan yang mereka lewati sudah sangat sepi. Hanya ada satu-dua mobil yang lewat.

Beberapa pria berpakaian serba hitam keluar dari tiga mobil yang membuntuti mereka. Zara menutup mulut saat mereka tidak keluar dengan tangan kosong, melainkan tongkat dari besi dan kayu. Orang-orang itu menyerang Ian.

Ya Tuhan, apa yang harus Zara lakukan? 

Zara mengeluarkan ponsel. Mencari-cari kontak yang bisa dia mintai pertolongan, tapi tindakannya terhenti saat pintu di belakangnya terbuka. Zara menjerit ketika seseorang masuk dan mencengkeram tangannya. Sementara, seseorang lain sudah duduk di kursi kemudi.

"Cristian!" Zara berteriak, suaranya cukup keras hingga membuat Ian yang baru menumbangkan satu penguntit itu menoleh. "Ian ..."

Mulut Zara dibekap, sesuatu yang basah jelas menempel pada hidung dan bibirnya. Tidak-tidak. Zara tidak bisa pingsan dalam keadaan seperti ini.

Namun, sayangnya, kloroform bekerja lebih cepat dari hentakan kakinya. Zara tidak sadarkan diri.

***

Zara mengerjap, merasakan pening menjalari kepala. Dahinya mengerut saat sadar bahwa dia terbangun di sebuah kamar yang asing. Saat mencoba duduk, Zara baru sadar kalau kedua tangannya disatukan dan diikat ke sandaran ranjang. Zara meronta, berusaha melepaskannya, tapi hal itu malah semakin menyakitinya.

Tidak ada benda apa pun di ruangan ini. Tidak ada benda tajam atau alat pukul. Tidak ada yang bisa dia gunakan sebagai alat pemotong. Namun, takayal dia juga merasa lega menemukan ruangan ini kosong melompong. Hanya diisi ranjang dan satu nakas yang tampak tak terisi juga.

Kalau ada benda-benda tajam di sekitarnya, rasa takut Zara akan semakin bertambah.

Pintu kayu di pojok kiri ruangan itu terbuka. Menampakkan sosok pria yang Zara kenal. Dahi Zara mengerut sepenuhnya. "Mas Danta?"

Danta mendekat, berdiri di samping ranjang. "Seharusnya kamu tidak perlu sampai terkejut begitu."

"Lepaskan aku! Apa yang kamu lakukan?"

"Zara, Zara, aku hanya ingin sedikit bermain." Danta melepaskan simpul tali yang mengikat kedua tangan Zara. "Itu untuk meyakinkan mantan pengawalmu kalau kau benar-benar diculik agar dia mau menghubungi Erwin."

Tangannya keram, Zara memegang bekas tali di pergelangan tangannya sembari berusaha untuk duduk dan bersandar ke sandaran ranjang. "Di mana Ian?"

"Kutinggalkan dia di jalan."

Danta sialan! Zara memandangnya dengan tatapan marah.

"Tenang dulu, dia baik-baik saja. Aku membiarkannya hidup agar dia bisa melapor pada Erwin. Kau toh pergi dari rumah tanpa pamit, pasti dia sedang mencarimu sekarang. Apa yang akan dia lakukan kalau dia tahu kau berniat kabur?" Danta menggelengkan kepala. "Dia tidak akan mengampunimu."

Itu memang benar, tapi menculiknya sampai memukuli Ian seperti itu, Zara tidak bisa memakluminya sama sekali. "Mas Danta tahu aku sedang hamil, kenapa sampai membiusku?"

"Sudah kubilang aku hanya ingin bermain, toh aku yakin bayi dalam kandunganmu itu tidak lemah, dia akan baik-baik saja."

"Jika terjadi sesuatu terhadap kandunganku, aku tidak akan memaafkanmu!"

Danta tersenyum mendengus. Dia menggeser kursi kayu lebih dekat ke ranjang, lalu mendudukinya. "Baiklah, jadi apa keputusanmu?"

***

Erwin memacu setir, tidak peduli pada mobil-mobil yang hampir tersenggol, yang terus membunyikan klakson padanya. Tidak ada yang mengikutinya. Erwin memang pergi sendirian, sementara Sanji dan Zeff tengah mengurus Ian.

Setelah mendapat telepon dari ayah mertuanya, Erwin langsung menyuruh Sanji dan Zeff untuk pergi ke rumah sakit. Melihat kondisi Ian. Sementara dirinya sendiri tengah menuju ke rumah Danta.

Tidak ada waktu untuk bertanya mengapa Zara bisa bersama Ian atau bagaimana caranya lari dari pengawasan Sanji. Zara cukup pintar, menyelinap keluar adalah sesuatu yang tidak sulit untuk ia lakukan. Apalagi Erwin hanya menempatkan Sanji seorang untuk menjaganya.

Erwin kecolongan. Harusnya dia bisa lebih berhati-hati. Harusnya, Erwin tidak memercayai Zara begitu saja. Erwin membanting pintu mobil. Berjalan cepat menuju rumah yang terletak jauh dari jalan raya dan pemukiman itu.

Beberapa penjaga mencegatnya. Erwin tidak ambil pusing. Ia langsung menendang perut salah satunya, lalu memukul rahang yang lain. Dua orang tumbang, dua lainnya datang. Erwin mengerahkan seluruh tenaga yang terkumpul berkat amarah yang memuncak. Empat di luar berhasil dihadapinya dengan mudah. Namun, rintangan Erwin tidak serta-merta menyurut.

Masuk ke dalam rumah, Erwin dihadapkan dengan lebih banyak penjaga. Meski seluruh tubuhnya lelah, tulangnya serasa mau remuk, dan lebam menghinggapi beberapa bagian wajahnya, Erwin akhirnya berhasil sampai di tempat di mana Zara disekap.

Kamar yang sama dengan peristiwa penculikan Zara dulu. Zara didudukkan di satu kursi, tangannya terikat ke belakang, ada lebam di pipi kanannya, tepat di samping bibir. Bekas tamparan?

Danta tampak berdiri di belakangnya. Memegang kedua bahu Zara. Erwin mengeratkan kepalan tangannya.

"Kalau jadi kau, aku tidak akan sembarangan mengambil langkah." Danta menaikkan tangannya ke leher Zara. "Aku hanya ingin bertanya padanya beberapa hal. Ternyata kau sensitif sekali, ya?" pria itu tertawa. "Bagaimana jika aku membunuhnya sekarang? Tidak akan terlalu berarti, 'kan? Kau bisa mencari perempuan lain."

"Jauhkan tanganmu darinya!" Erwin melangkah mendekat dengan langkah pelan.

Danta mengangkat kedua tangannya. "Aku akui istrimu ini sedikit menarik, tapi dia sangat bodoh. Dia tidak tahu apa pun. Bahkan, fakta soal ayahnya sendiri."

"Diam! Sekali lagi kau bicara, aku akan memotong lidahmu."

Mendengar perkataan Erwin, Danta bukannya gentar, malah semakin terbahak. "Lakukan saja jika kau bisa!" Danta menghela napas. Tersenyum mendengus. "Kau tidak ingin tahu bagaimana keadaan perempuan itu?" ada detik-detik hening sebelum Danta melanjutkan perkataannya, "Hannah."

Erwin tertegun di tempatnya berdiri. Mendengar nama itu setelah sekian tahun masih membawa perasaan aneh tersendiri ke dalam hati dan pikirannya.

Dunianya seolah terdistorsi.

"Dia ada di sini, Erwin. Sangat dekat denganmu."

***

Anggap saja part ini belum pernah ter-spill sebelumnya 🗿

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang