"Katakan padaku apa yang kau tahu tentang Mas Erwin." Dengan sedikit penekanan, Zara memaksa Danta untuk menceritakan kebenaran tentang Erwin.
Bagaimana dia tidak panik setelah menemukan seseorang yang disandera di ruang bawah tanah bak korban penculikan?
Zara tidak bisa membayangkan hal lain yang lebih buruk dari ini. Namun, sepertinya dia harus bersiap akan kenyataan yang tidak diinginkannya. Karena nyatanya, Zara sama sekali tidak mengenali sosok suaminya sendiri.
Merasa Zara telah mendapatkan umpan, Danta di seberang sana yang sedang duduk tenang, terlihat puas. "Itu belum seberapa. Masih ada banyak hal yang harus kamu ketahui tentang Erwin. Pelan-pelan saja, Zara. Jangan terlalu terburu-buru. Kita masih punya cukup banyak waktu."
Sambungan telepon diputuskan sepihak. Zara ingin membanting ponselnya sendiri, tapi dia urungkan. Dia tidak mungkin ingin membuat keributan di jam segini. Sadar sudah cukup lama berada di toilet, Zara segera keluar.
Zara dikejutkan dengan keberadaan Erwin sudah menunggunya di depan pintu. Takut pria itu mendengar percakapannya, Zara bertanya, "Mas ingin ke toilet?"
Erwin menggeleng. "Menunggumu keluar." Pria itu kemudian menuju ranjang lebih dulu. "Sudah makan malam?" karena Erwin pulang sekitar pukul delapan malam ini, maka tidak heran kalau dia menanyakan pertanyaan itu pada istrinya.
"Sudah," jawab Zara berbohong. Setelah melihat isi gudang, bagaimana Zara bisa menelan makanan? Bahkan untuk mempedulikan perutnya yang keroncongan saja, Zara seolah tidak punya waktu.
Zara ikut naik ke ranjang. Berbaring membelakangi Erwin. Sambil berharap kalau Erwin tidak akan mengatakan apa pun lagi, karena sungguh, Zara sedang tidak berselera berbicara dengannya kali ini.
Namun, yang terjadi selanjutnya malah membuat Zara makin merasa ingin kabur. Erwin memeluknya dari belakang. Membuat Zara terpaksa harus berbalik. Menghadap pria yang sekarang sedang menopang kepala dengan satu tangan itu. "Apa ada sesuatu yang terjadi saat aku pergi?"
"Tidak."
Erwin merapikan rambut Zara. Mencium dahi istrinya itu. "Kau terlihat ketakutan." Erwin menangkup tangan Zara yang memegang ujung selimut terlalu erat.
Zara menggeleng. Memasukkan tangannya ke balik selimut. "Aku hanya merasa lelah. Itu saja." Pikiran buruk mendadak menyelimutinya. Menjelma sebagai bayangan kalau Zara yang disekap di sana. Zara takut membayangkan kalau Erwin bisa saja melakukan hal itu padanya suatu saat nanti. "Mas, aku mengantuk sekali." Zara beralasan.
Erwin menjauhkan diri. Mengelus perut Zara dari luar selimut. Mengecup dahi perempuan itu sekilas. "Tidurlah," katanya, sebelum beranjak dari ranjang dan keluar kamar.
***
Jika Gio hanya bisa berfokus pada harta warisan keluarganya, maka satu-satunya yang Danta pikirkan adalah mengacaukan hidup Erwin. Membuatnya tidak pernah merasakan kebahagiaan sedikit pun. Katakan saja itu adalah tujuan hidupnya.
Gila? Memang.
Danta tidak pernah sebegitu terobsesi pada orang lain selain Erwin. Teman masa remajanya yang dulu lemah. Yang kini telah menjadi bos besar.
Jika dulu Erwin sudah dia anggap sebagai saudara sendiri, maka sekarang Erwin adalah musuh yang harus dia tumpas. Dengan cara apa pun.
"Kalau bukan dengan membunuh Zara, lalu apa yang akan kau lakukan?" Gio memandangi punggung Danta yang sedang asyik memperhatikan danau di depannya. Setelah menghabiskan pagi dengan bermain golf, mereka beristirahat saat hari menjelang siang. Terik matahari membuat mereka tidak bisa bermain dengan totalitas.
"Kenapa aku harus membunuhnya?" Danta berbalik. "Kita bisa membunuh yang lain."
"Yang lain?"
Lemparan batu dari tangan Danta menyentuh air dan mengambang sebelum tenggelam ke aliran yang lebih dalam. Menciptakan percikan yang indah. "Apa yang lebih berharga bagi Erwin? Zara ...." Danta mengoper batu di tangan kirinya ke kanan. Saat lemparannya menciptakan garis mengambang yang lebih panjang, Danta tersenyum tipis. Dia berbalik menghadap Gio. "Atau anaknya?"
***
Pagi hari setelah Erwin pergi, Zara menyelinap masuk ke gudang. Rasa penasarannya yang begitu besar membuat Zara mengabaikan rasa takutnya dan berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini.
Seperti seharusnya, Zara menemukan laki-laki bertubuh kurus di sudut ruangan. Terikat besi yang dikaitkan dengan dinding. Kali ini Zara memberanikan diri untuk mendekatinya. Keadaan laki-laki itu benar-benar kacau dan memprihatinkan. Zara tidak bisa membayangkan berapa lama dia terkurung di sana.
Saat sudah berhadapan, Zara memberanikan diri untuk menyentuh tubuh laki-laki itu. Ingin mengecek apakah dia masih hidup atau tidak. Namun, belum sempat Zara menuntaskan rasa penasarannya, tangannya sudah lebih dulu dicekal. Zara hampir saja terperanjat. Dia terjengkang. Laki-laki itu membuka mata dan menatap Zara lekat-lekat.
Keheningan yang mencekam menyelimuti pikiran Zara. Membawanya pada satu titik kekhawatiran kalau apa yang dilakukannya saat ini adalah salah. Zara takut apa yang dia lakukan akan menimbulkan suatu masalah pada dirinya sendiri.
Dalam detik-detik yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih, Zara sekonyong-konyong mengenali wajah di hadapannya. Wajah yang pernah dia lihat di suatu tempat.
Lirih, Zara bertanya, "Bimo?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
Genç Kız EdebiyatıPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...