41 Tamu Takdiundang

831 33 4
                                    


Erwin mengecek jam tangannya lagi. Laptop di pangkuannya masih menyala. Pekerjaannya memang belum selesai, tapi dia sudah harus pulang. Siang tadi Roselyyn memaksanya untuk segera beranjak dari kantor, atau dia sendiri yang akan menjemput Erwin. Terpaksa, pria itu pulang lebih cepat.

Untungnya, saat dia datang, rumah masih tergolong sepi. Belum ada tamu undangan yang datang, tidak ada juga anggota keluarga lain yang terlihat, jadi Erwin tidak perlu repot berbasa-basi.

Roselyyn menyambutnya, langsung memberitahu Erwin untuk pergi ke kamar dan berganti baju. Dua adiknya sudah duduk malas di sofa depan, sementara ayahnya sedang sibuk sendiri dengan ponselnya.

Satu orang yang Erwin ingin temui sejak tadi tidak terlihat. Erwin yakin sudah memberitahu Sanji agar jangan sampai membiarkan Zara sendirian atau perempuan itu akan melakukan hal aneh lagi. Jika Zara kabur di saat seperti ini, itu akan sangat merepotkan Erwin.

Sayangnya, kamar kosong. Erwin memutuskan untuk menghubungi Zara, tapi sebelum niatnya sempat terealisasi, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Telepon dari Sanji. Pria itu mengatakan kalau dirinya dan Zara sedang berada di salon.

"Salon?" Erwin bertanya heran. Pasalnya, Zara tidak biasa sebegitu effort-nya sampai ke salon segala. Palingan Zara biasa berdandan sebisanya.

"Nyonya besar yang menyuruhnya."

Ahh, pantas saja. Erwin mengangguk. "Kalau begitu, minta Zeff untuk mengirim gaun ke salon itu."

"Baiklah."

Erwin menutup sambungan telepon. Sudah ada satu set kemeja dan jas, lengkap dengan celana dan dasi yang tertata rapi di atas ranjangnya. Semua ini Roselyyn yang mempersiapkan.

Ibu tirinya itu memang suka sekali merepotkan. Erwin tidak akan heran kalau ada berpuluh-puluh orang yang diundang nantinya. Malam ini akan menjadi malam yang besar. Malam yang merepotkan.

***

"Kak, ayolah, aku juga ingin tampil cantik."

Gaun itu dilemparkannya ke sembarang arah. Devi merengut sembari bersedekap dada. Hijau jelas bukan warna yang akan dia pilih untuk sebuah acara. Bukan pada acara kecil-kecilan, apalagi acara ulang tahun seorang pengusaha muda yang memiliki nama lumayan masyhur. Mau ditaruh di mana martabatnya sebagai kakak ipar Erwin nanti?

Danta dengan sabar memungut gaun itu. Merentangkannya ke depan Devi. "Biru?" ia menawarkan pilihan lain.

Namun, adiknya menggeleng. "Merah."

"Oke, ambilkan gaun warna biru untuknya," kata Danta pada pelayan di butik yang mereka datangi.

"Aku bilang merah." Devi lantas saja kesal. Jelas-jelas dia sudah mengatakan pilihannya, Danta malah memilih yang lain.

"Aku punya firasat buruk. Merah bukanlah warna yang cocok untuk dipakai nanti malam. Biru saja. Terserah mau yang mana."

"Dua?" saat pelayan membawakannya tiga gaun berwarna biru dengan model yang berbeda, Devi memantaskan diri dengan gaun-gaun itu di depan cermin.

"Terserah," jawab Danta santai sambil duduk di salah satu kursi. Menyilangkan kaki dan membuka ponsel hanya untuk menghindari ocehan adiknya yang super bawel.

Sementara Devi langsung tersenyum cerah. Meski dia juga mulai bingung harus memilih baju yang mana. Biru juga bukan warna kesukaannya, tapi kalau ada yang gratis, kenapa tidak?

Danta menghela napas. Menemani para wanita berbelanja menghabiskan banyak tenaga. Ia lelah. Duduk di sauna pasti lebih menyenangkan. Atau setidaknya dia bisa mampir ke kafe sementara Devi memilih baju.

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang