"Aku ingin tinggal di sini."
Erwin memperhatikannya sebentar, tangannya yang sedang sibuk membenarkan kancing kemeja berhenti bergerak. Pagi-pagi begini, sebelum Erwin sempat mengatakan apa pun, Zara sudah menyambutnya dengan kalimat yang aneh. "Kenapa?"
"Tidakkah menurutmu aku harus berusaha untuk dekat dengan anggota keluarga yang lain?" dengan dasi di satu tangan, Zara membantu Erwin membenarkan kancing kemejanya, kemudian memasangkan dasi. "Nenek bilang sebentar lagi akan ada pesta untuk merayakan hari ulang tahunmu. Dia menyuruhku untuk tidak mengacau di depan media."
Zara menaruh sebelah tangannya pada dada Erwin. Merasakan detak jantungnya yang mengalun lemah seperti tetesan air di penghujung hujan. Tenang dan damai di dalam sana membuat Zara ingin merengkuhnya. "Maksudnya adalah aku harus bersikap ramah di depan semua orang. Kalau media sampai tahu kalau kita memiliki hubungan yang tidak baik dengan keluarga besarmu, apa yang akan orang lain pikirkan?"
Udara dari jendela yang sengaja dibuka menerpa keduanya. Menyarukan hangat di dalam. Membawa cahaya matahari untuk ikut andil menerangkan bersama lampu yang terpasang di tengah atap.
Ada sesuatu yang menggetarkan dirinya. Seolah ada sengatan listrik yang mengalir dari tangan Zara, dari bagaimana perempuan itu menatapnya, dan gerak-geriknya yang tampak berbeda. Itu membuatnya merasakan sengatan yang luar biasa. Erwin terdiam.
"Aku akan membuat teh."
Sebelum Zara sempat menjauh, Erwin meraih tangannya. Membuatnya tetap dekat. "Sudah minum obatmu?"
Zara mengangguk.
"Bagaimana dengan mualmu?"
"Aku tidak merasa mual lagi." Zara menarik tangannya perlahan. "Teh atau kopi?"
Ada hening yang mengisi kekosongan di antara keduanya. Erwin memperhatikan wajah istrinya tanpa berkedip. Sampai Zara mengira kalau suaminya itu tengah melamun. Karena tatapan matanya kosong, meski tertuju tepat padanya.
Suasana di rumah ini memang jadi berbeda. Tidak ada kesan hangat dari keluarga besar. Padahal, saat ini seluruh keluarga ada di sini, tapi rasanya masih sangat sunyi.
Erwin berbalik sambil membenarkan letak dasinya. "Kopi tanpa gula." Ia lalu menggulung lengan kemejanya sampai bawah siku. "Aku akan menyuruh orang untuk mengambilkan pakaianmu. Jangan pergi ke mana pun tanpa Sanji, mengerti?"
Zara menghela napas. "Baiklah."
***
"Pagi."
Zara berjengit saat merasakan sebuah tangan menyapu pinggangnya dari belakang. Saat menoleh, yang dia temukan adalah sosok Danta kini berdiri di sebelahnya. Pria itu tersenyum sembari memperhatikan apa yang sedang Zara lakukan.
"Tinggal berdua saja membosankan, bukan? Kamu memang lebih cocok tinggal di sini, Zara. Ada begitu banyak drama yang bisa kamu saksikan." Danta mengulurkan tangannya, tapi Zara segera menjauhkan diri sebelum tangan itu sempat menyentuh bahunya. Pria itu tersenyum mendengus dan menarik tangannya kembali. "Kalau kamu bosan, kamu bisa menciptakan drama sendiri." Dengan nada sedikit lebih rendah, Danta berbisik, "keluarga ini tidak pernah bebas dari masalah. Biasakan dirimu."
Lama, keduanya saling bertatapan. Tidak tahu kenapa Danta begitu tertarik dengan keluarga ini, tapi melihat senyum di wajahnya seolah menjelaskan kalau Danta sudah paham betul tentang keluarga Sanders. Entah bagaimana.
Akan tetapi, Zara masih belum mengerti apa hubungan Danta dengan Erwin ataupun keluarga ini. Dia hanyalah kakak dari menantu keluarga Sanders. Aneh rasanya orang-orang rumah membiarkan dia menginap berhari-hari. Memberikannya kamar pribadi pula. Seolah Danta sudah terbiasa melakukannya, dan tingkahnya memang tidak mencerminkan kalau dia adalah tamu. Danta juga tidak segan sama sekali tinggal di rumah ini.
Danta tersenyum, meninggalkan dapur dan duduk di kursi ruang makan. "Aku juga suka kopi tanpa gula," katanya pada Zara. "Buatkan satu untukku kalau kamu tidak keberatan."
"Kau akan mendapatkan masalah meminta minum pada istri seseorang."
Zara dan Danta menoleh ke arah yang sama. Dari belakang kursinya, Gio berjalan menyangking tas kerja. Sudah berpakaian rapi, aroma parfum yang membuat Zara sempat merasa terbius muncul bersamaan dengan kedatangan kakak iparnya itu.
Danta tampak menghela napas.
"Erwin sangat sensitif. Aku saja hampir diusir dari rumah ini hanya karena meminta secangkir kopi." Gio tersenyum mendengus, duduk di seberang Danta. "Erwin pasti sangat mencintai Zara, benar?"
"Cinta." Danta membeo, kemudian bergumam, "memangnya orang itu paham akan arti sebuah hubungan?"
Gio menghela napas. Memperhatikan sembarang arah dengan malas. Sekilas, Zara seolah tengah menyaksikan orang lain dalam dirinya. Gio yang biasanya tidak tertarik untuk berbicara dengan siapa pun. Gio yang misterius. Di depan Danta, pria itu terlihat berbeda. "Erwin sangat aneh, dia sendiri yang membawaku ke sini. Dia juga yang mau mengusirku."
"Dia butuh pion untuk menghalau ... sebut saja Ratu Iblis, kau adalah pion paling rapuh, tapi itulah yang membuatmu jadi paling kuat juga."
"Harusnya aku tidak pindah ke sini sejak awal. Tinggal di luar lebih damai. Tidak ada hari tanpa drama di sini."
Danta menyatukan kedua tangan di atas meja. Menyangga dagunya dan memperhatikan Gio dengan senyum tipis. "Tertarik untuk menyaksikan drama yang lebih gila?"
Dengan kepala memiring, Gio balik menatap pria di depannya. Sudah lama sejak Danta terakhir kali menginjakkan kaki di rumah ini. Gio sebenarnya sudah curiga saat pria itu tiba-tiba datang, meski tidak ada apa pun yang pria itu lakukan, kecuali terus saja diam di rumah. Apa tujuannya menginap di sini begitu lama?
Jika tujuannya adalah Erwin, maka seharusnya dia bergerak lebih cepat. Tidak ada gunanya menunda. Toh, Danta sudah punya kartu As tersendiri.
Namun, jika tujuannya adalah orang lain ... Gio menoleh ke dapur. Ke tempat seseorang tengah menyibukkan diri dengan secangkir kopi yang sudah diaduknya sedari tadi.
Kepalanya tambah memiring. Keberadaan Zara di sini, masuknya perempuan itu ke keluarga ini lebih mengherankan lagi. Gio menggeleng, tidak mengerti apa pun. Semua orang di rumah ini sangat suka menyimpan rahasia.
"Sedang bersekongkol untuk masuk ke penjara bersama-sama?"
Suara itu membuat orang-orang yang ada di dapur dan ruang makan menoleh. Erwin datang dari arah tangga. Kaus dan celana santai yang dipakainya membuat Zara mengernyit.
"Cuaca hari ini cukup cerah." Dengan kedua tangan masih berada di saku celana, Erwin duduk di kursi utama yang biasa diduduki oleh ayahnya. "Bagaimana kalau kita bermain?" tanyanya pada Danta dan Gio. "Golf?"
Dua pria di hadapannya saling bertatapan, kemudian menatap objek yang sama secara bersamaan. "Aku ada jadwal operasi dua jam lagi." Gio menjawab.
"Bagaimana dengan kakak ipar kakakku?"
"Karena aku pengangguran, aku bisa main kapan pun," balas Danta. "Bagaimana jika kita ajak yang lain juga? Zara, kamu bisa main golf?"
Pertanyaan Danta membuat Zara terkejut. Dengan gugup, perempuan itu menjawab, "Lumayan."
"Bagus, kita ajak Devi juga." Danta tersenyum lebar. Membuat Zara merasa terpesona akan ketampanannya, tapi juga merasa ngeri dengan betapa mengerikannya seorang Danta. Dualitas yang Danta ciptakan lewat pesonanya yang mampu membuat siapa pun terkagum itu terkadang membuat Zara takut, bahkan hanya ketika dia melihat keberadaan Danta dari kejauhan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...