Zara sedang berdiri di halaman belakang rumah sambil menikmati pemandangan sore hari saat sepasang tangan tiba-tiba meraih pinggangnya dengan lembut. Zara sempat ingin berbalik, tapi tangan itu melarangnya untuk bergerak.
Erwin meletakkan dagunya ke bahu Zara. Mencium aroma perpaduan sampo dan wangi parfum khas perempuan yang menguar dari tubuh istrinya. Dia kemudian membalikkan tubuh Zara untuk menghadapnya.
"Kita tidak pulang?" tanya Zara lebih dulu sebelum Erwin sempat mengatakan apa pun.
Pria di depannya itu menggeleng. "Lebih baik kita tetap di sini. Aku tidak suka kamu dekat-dekat dengan Danta."
"Kenapa? Dia itu kakaknya Mbak Devi."
"Kamu tidak benar-benar mengenalnya, Zara. Sebaiknya kamu lebih berhati-hati. Tidak semua orang di dunia ini bisa kamu percayai." Erwin mengambil alih mug cokelat hangat dari tangan Zara. Menuntun perempuan itu untuk duduk di kursi kayu yang tersedia di sebelah kiri pintu masuk, sementara dia sendiri duduk di kursi yang lain.
Meski tidak paham betul apa yang dikatakan Erwin, Zara mengangguk saja. Zara menatap suaminya. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.
Erwin membalas tatapannya. "Tanyakan saja."
"Kapan kali pertama Mas Erwin melihatku?" Zara tidak ingat pernah bertemu dengan Erwin sebelum mereka diputuskan akan menikah. Bagaimana pria itu tahu tentangnya?
"Jadi kamu benar-benar melupakanku."
Mendengar perkataan Erwin yang lebih terdengar seperti monolog itu, Zara jelas saja mengernyit.
"Kita pernah tinggal di panti asuhan yang sama. Selama lebih dari setengah tahun."
"Panti asuhan?" Zara bertanya antusias sekaligus tidak percaya.
"Setelah kematian kakakku, Ayah membawaku ke psikiater karena aku tidak mau makan, bahkan berbicara. Aku juga pernah beberapa kali berniat melukai diriku sendiri." Erwin tersenyum samar. "Aku dirawat di rumah sakit jiwa selama tiga bulan, tapi bahkan setelah keluar pun aku tidak menunjukkan perubahan. Aku tidak gila. Hanya muak dengan semua orang, dan satu-satunya manusia yang ingin kuajak bicara hanyalah Ibu."
Zara menatap suaminya sendu, tapi Erwin terlihat biasa-biasa saja. Seolah kenyataan itu tidak terlalu memengaruhinya.
"Karena takut dengan tingkahku, Ayah mengirimku ke panti asuhan. Saat itu aku bertemu denganmu." Dengan senyum tipis, Erwin menoleh, pandangannya jatuh pada Zara. "Ingat tidak saat kamu berlarian di halaman panti dengan anak lain, lalu terjatuh dan lututku lecet? Anak laki-laki yang menyelamatkanmu waktu itu adalah aku."
Tidak banyak kenangan masa lalu yang Zara ingat. Semuanya seolah taklebih hanya sekadar potongan film yang pernah ditontonnya, dengan dirinya sendiri yang berperan sebagai tokoh utama. Namun, satu kejadian itu berhasil muncul di otaknya sekarang.
Saat dia tersandung batu dan terjatuh di tanah yang berumput, seorang anak laki-laki datang menolongnya. Membantu Zara bangun, kemudian menenangkannya saat Zara menangis tersedu akibat lututnya berdarah. Zara digendong ke dalam panti dan diserahkan ke pengasuh.
Namun, setelah kejadian itu, Zara tidak lagi menjumpai keberadaan anak laki-laki itu. Bukan karena dia pergi dari panti, tapi karena anak itu tidak pernah ikut bermain dengan anak-anak lain. Selalu berdiam diri sendirian, dan tidak mau diganggu sama sekali.
Yang lain menyebutnya sebagai anak aneh.
"Sudah ingat?" tanya Erwin saat melihat Zara tersenyum sambil menatap kosong ke bentangan rumput nun jauh di depannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/352290951-288-k587904.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...