14 Mas??

1.6K 56 0
                                    

Sejak pagi, Zara berdiam diri di kamar. Selain karena tidak tahu mau melakukan apa, Zara juga sedang menghindari seseorang.

Sekarang pukul 12 lebih. Sepertinya rumah sedang kosong. Zara merasa gerah sekali bergeming di kamarnya, meski AC terus menyala. Zara tetap butuh udara segar.

Saat dirasa keadaan di luar cukup sepi, Zara keluar kamar. Menuju pool area yang letaknya bersebelahan dengan ruang depan. Kolam renang di dalam rumah adalah tempat terbaik untuk mendapatkan udara segar tanpa harus keluar rumah.

Melihat air sebegitu banyak di cuaca yang lumayan panas, Zara jadi kepengin mencemplungkan diri di dalamnya. Bercumbu dengan dingin air dan hangat sinar matahari di dalam pelukannya.

Sekali lagi, Zara memeriksa rumah. Sepi sekali. Bahkan, para pelayan pun sepertinya sedang berada di paviliun. Zara menanggalkan pakaiannya dan benar-benar menceburkan diri di kolam.

Segar luar biasa. Sama seperti saat kau menemukan ocean di tengah gurun pasir. Atau saat kau bertemu dengan pujaan hati yang lama tidak kau jumpai.

Zara berputar-putar dengan gerakan yang cukup luwes. Dari dulu dia memang suka berenang. Meski tidak pernah punya keinginan buat ikut les swimming atau diving. Setelah sekian lama tidak punya waktu bersantai karena sibuk meniti karier, akhirnya sekarang Zara bisa menikmati hari libur. Benar-benar sendirian. Tanpa ada satu pun orang di sekitarnya.

Merasa sudah terlalu lama berendam di dalam air, Zara memutuskan untuk mentas.

Shit!

Rasanya Zara akan terkena serangan jantung.

Ada orang yang berdiri di samping kolam. Mengamatinya, entah sejak kapan. Zara mundur. Melihat pakaiannya yang tertanggal di gazebo. Lalu, handuk putih di sebelahnya. Saat ini Zara hanya memakai pakaian dalam yang membuat posisinya nggak memungkinkan untuk keluar air, dengan keberadaan Danta di atas sana.

Pria itu mengantungi kedua tangannya ke kantung celana. Berjalan lebih dekat ke kolam. Berdiri di pinggiran. "Berenang di jam segini sepertinya menyegarkan." Danta memperhatikan air di hadapannya, kemudian, pandangannya berpulang pada Zara. "Benar, 'kan?"

Zara merasa ditelanjangi hanya karena ditatap oleh pria itu. Seluruh tubuhnya merasa jijik. "Aku kira Mas Danta pergi." Zara berkata garang. Jelas tadi dia sudah memeriksa rumah, dan tidak menemukan siapa pun. Apa Danta berdiam diri di kamar sejak pagi?

Danta tersenyum. "Ke mana lagi aku bisa pergi? Mobilku masih di bengkel. Mungkin besok baru bisa dipakai." Pria itu mendekat ke arah Zara. Membuat Zara seketika merasa terancam. "Nggak mau keluar? Sepertinya kamu kedinginan."

Zara tidak tahu apa yang lebih menyeramkan, langkah Danta yang semakin mendekat, atau cara bicaranya yang seolah menunjukkan kalau hawa membunuh itu ada? Zara akui, Danta memiliki wajah yang tampan. Bahkan, mungkin, Danta adalah pria paling tampan yang pernah Zara temui. Tapi, di balik pesonanya, Danta seolah menyimpan jiwa pembunuh. Senyumnya terkadang membuatmu tidak bisa membedakan mana wajah tampan, dan mana wajah menyeramkan.

Danta berjongkok, menyentuhkan ujung jemarinya ke kolam. "Ternyata lumayan dingin, ya?" dia terkekeh lagi. Dan Zara mulai merasa kalau dia harus keluar sekarang juga. Badannya medok. "Mau kubantuin naik?"

"Nggak perlu." Zara menjawab terlalu cepat, tapi, dia tidak peduli. "Mas bisa keluar dulu? Pergi ke ruang depan dulu, atau ke dapur. Aku mau mentas, nggak enak dilihatin."

Sekali lagi, Danta terkekeh. Dia berdiri dan berjalan lebih mendekat.

Sialan.

Zara menetapkan dirinya di poros dia mengambang. Supaya tidak kelihatan kalau, sebenarnya selain karena kedinginan, badannya tremor karena takut.

"Tinggal keluar, aku nggak akan lihat." Danta berjalan lebih ke belakang. Menutup matanya. "Aku janji nggak akan lihat. Keluar, gih. Bibirmu sampai pucat gitu."

Sialan!

Sialan!

Zara memperhatikan Danta yang membelakanginya. Kemudian, melirik bajunya. Lalu, Danta lagi. Apa Danta bisa dipercaya?

Karena beneran nggak bisa berdiam diri di dalam kolam lebih lama lagi, akhirnya Zara memutuskan untuk keluar dari air. Begitu mencapai daratan, Zara langsung berlari menuju gazebo. Membungkus tubuhnya dengan handuk kimono. Danta berbalik tepat saat Zara sedang mengambil pakaiannya. "Mau kubuatkan teh hangat? Atau kopi?"

"Aku nggak suka teh." Zara melengos. "Atau kopi."

Jujur saja, seumur-umur, belum pernah Zara temui pria senggak tahu malu begini. Gimana bisa Danta santai-santai saja menonton orang asing yang sedang berenang? Apalagi kalau kegiatan berenang yang dilakukannya termasuk dalam ranah privat? Beda cerita kalau mereka berada di pantai. Dengan masing-masing pihak memakai bikini, atau celana renang.

Zara melenggang masuk ke ruang depan, lalu naik ke lantai atas. Mengunci diri di kamar. Entah kenapa, sejak kejadian di mall, Zara jadi tidak bisa merasa tenang berada di rumah tanpa mengunci pintu kamarnya.

Iya, mungkin Danta memang orang yang terbuka. Manusia milenial yang berhubungan dengan orang lain tidak perlu terlalu mementingkan privasi. Tapi, Zara tidak seperti itu. Zara tidak suka dengan hubungan yang seperti itu.

Pria itu pasti gila.

***

Malam hari Zara terbangun karena dahaga. Karena lupa menyediakan stok air mineral di dalam kamarnya, Zara jadi harus turun ke dapur.

Zara keluar kamar, namun, langkahnya segera terhenti di depan ruang kerja suaminya. Ruangan yang biasanya tertutup itu, kini terbuka. Membuat Zara mengernyit. Tidak ada yang diperbolehkan masuk ke ruangan ini sekalipun itu adalah Zara. Lalu, siapa yang membukanya?

Dengan langkah pelan, Zara memasuki ruang kerja Erwin. Cahaya remang membuat penglihatannya mengabur. Zara menuju ke tengah ruangan. "Mas?" sebagai antisipasi kalau ternyata Erwin sudah pulang dan langsung menuju ruang kerjanya alih-alih ke kamar, Zara memanggil nama suaminya itu, "Mas Erwin?"

Tidak ada sahutan. Bahkan, ruangan ini terlalu sunyi. Namun, saat berbalik, Zara mendengar suara kertas-kertas berjatuhan dari belakang rak. Bulu kuduk Zara meremang. Tapi, dia tetap memberanikan diri untuk memeriksa apa yang ada di balik rak itu. Zara mendekat perlahan. "Sanji?"

Senyap. Di belakang rak juga tidak ada apa pun selain beberapa lembar kertas yang berserakan di lantai. Mungkin kertas-kertas itu terbawa angin, Zara menebak.

Saat dia berniat mengambil kertas-kertas itu, sebuah cahaya terang menyilaukan matanya. Belum sempat melihat siapa yang ada di depannya, tangan Zara sudah dicengkeram oleh seseorang. Zara baru bisa membuka mata saat cahaya itu beralih menyinari lantai.

"Sedang apa kamu di sini?" suara itu, suara yang dia kenal.

"Mas Erwin?" Zara mengerjapkan mata untuk mempertajam penglihatannya. Benar saja, orang yang berdiri di hadapannya adalah Erwin.

"Sedang apa kamu di sini, Zara? Jawab!" nada bicara Erwin meninggi. Membuat Zara terhenyak. Pegangan pada lengannya juga menguat. Zara meringis menahan rasa sakit.

Karena tidak juga mendapat jawaban atas pertanyaannya, Erwin mendorong tubuh Zara hingga punggung Zara menabrak rak buku di belakangnya. "Kenapa kamu ada di sini malam-malam begini? Apa yang kamu lakukan?"

Zara menunduk, tidak berani menatap wajah suaminya yang kini merah padam. Kemarahan jelas terlukis di sana. Dan Zara masih tidak mengerti apa kesalahannya sampai Erwin semarah ini? "Aku ... aku hanya ...." Erwin memukul rak tepat di samping wajah Zara. Membuat perempuan itu hampir terisak. "Tadi pintunya terbuka, jadi, aku hanya memeriksanya."

"Bohong! Lalu, apa ini?" Erwin menunjukkan lembaran kertas yang tadi diambilnya dari lantai.

"Aku nggak tahu, Mas. Saat aku masuk, kertas-kertas itu sudah ada di sana."

"Bohong! Bohong! Bohong!" Erwin memukul rak itu lagi. Berkali-kali. "Aku kira kamu tidak seperti orang lain. Ternyata kamu sama saja."

Erwin menarik Zara. Membalikkan tubuh Zara untuk menghadap rak. Dengan gerakan kasar, Erwin mencopot sabuk yang melingkari pinggulnya. "Selama ini aku sudah cukup bersabar, Zara. Tapi, kamu selalu saja melewati batas."

Zara tercekat. "Mas Erwin!?"

***

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang