Anak laki-laki bermain sepak bola. Sementara, gadis-gadis kecil duduk di tanah berumput, di bawah pohon trembesi yang rindang dengan daun lebat dan dahan menjulang, serta batang yang cukup besar. Pohon berusia puluhan tahun itu sudah ada di depan panti jauh sebelum panti dibangun. Tidak heran kalau dahannya kini merebak ke mana-mana. Bahkan, hampir menyentuh dinding panti.
Beberapa ayunan menghias taman depan. Dialasi rumput manila yang tumbuh mengitari tembok sampai pagar pembatas. Kursi-kursi kayu lengkap dengan meja, tertata rapi di samping pohon mangga yang tak kalah teduh. Buahnya akan menguning sebentar lagi.
Pot-pot berisi berbagai macam bunga menghias fasad panti.
Tidak ada yang berubah sejak lima belas tahun terakhir. Kecuali dinding yang dicat ulang, dan fasilitas di dalam, maupun luar panti yang bertambah.
Begitu melihat kedatangan Zara, seorang anak langsung berteriak, "Kak Zara." Yang membuat anak-anak lain sontak berlari menyambut perempuan itu.
"Kakak lama nggak ke sini." Seorang anak perempuan berusia lima tahun yang pertama kali menyadari kedatangan Zara, berdiri di depannya dengan wajah semringah.
Zara harus berjongkok demi bisa bertatapan dengannya. "Kakak sibuk akhir-akhir ini. Jadi, tidak bisa datang." Ditepuknya kepala gadis kecil berkuncir dua itu. "Kalian baik-baik, 'kan?"
"Tentu saja."
Melihat kekompakan anak-anak panti, Zara tersenyum puas. Dia memberikan kantung belanjaan berisi berbagai macam snack dan buah-buahan kepada anak-anak itu. "Bagi sama yang lain juga," pesannya.
Anak-anak itu langsung berlari ke tengah lapangan. Membagikan apa yang mereka dapat ke anak lain yang sedang sibuk bermain.
"Zara." Seorang wanita menghampiri Zara. Langsung memberinya pelukan hangat. "Kau baik-baik saja? Bagaimana pernikahanmu?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja. Pernikahannya berjalan lancar."
Bu Ratih, salah satu pengurus panti itu tersenyum. "Baguslah kalau begitu. Mari, Ibu buatkan teh spesial kesukaanmu."
Zara diajak ke belakang panti. Tempat yang selalu jadi favoritnya merenung saat datang kemari. Ditemani secangkir teh dengan rempah-rempah dan bunga warna-warni, khas buatan Bu Ratih. Momen paling tenteram dalam hidupnya adalah saat-saat seperti ini. Bebas dari hiruk-pikuk orang-orang yang terus menuntutnya melakukan banyak hal.
"Bagaimana kabar orang tuamu?" Bu Ratih bertanya hati-hati.
"Baik."
"Kuharap kau tidak terpaksa menjalani pernikahan ini."
Zara menatap Bu Ratih. Wanita itu balas menatapnya dengan senyum hampa. Seolah Bu Ratih begitu mafhum akan isi hati Zara.
"Jangan ragu untuk mengatakan apa pun. Aku akan membantu sebisaku kalau kau berada dalam kesulitan."
Desir angin mengisi keheningan di antara mereka. Zara hanya tersenyum tipis dan menatap ke sembarang arah.
"Aku akan meninggalkanmu di sini. Aku yakin sedari tadi kau pasti berusaha menahan diri untuk tidak mengusirku," kekeh Bu Ratih. Zara memang selalu menghabiskan waktu di tempat ini sendirian. Tidak mau diganggu.
Zara tersenyum simpul. "Terima kasih atas pengertiannya ... dan tehnya juga."
Bu Ratih menepuk bahu Zara, berjalan masuk ke dalam panti. Meninggalkan Zara bersama secangkir teh spesialnya.
Memiliki keluarga adalah satu hal yang pasti diinginkan semua anak di panti asuhan. Termasuk Zara. Saat ia menginjak usia tujuh tahun, Zara diadopsi oleh Riyan Damara. Seorang pengusaha yang belum juga dikaruniai anak, bahkan, setelah sepuluh tahun usia pernikahannya dengan Stephanie Putri terlewatkan. Riyan dan Stephanie memutuskan untuk mengadopsi anak. Zara yang menjadi pilihan Stephanie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
Chick-LitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...