"Sialan!"
Buku-buku di atas meja itu terlempar, berserakan di lantai. Untung ruangan itu kedap suara, tidak ada kegaduhan yang terdengar di luar.
Meski sudah bisa menyimpulkan beberapa hal, Danta seolah tidak mau menerima kenyataan bahwa ada yang telah mengkhianatinya. Atau lebih tepatnya, dia tidak mau mengakui kalau dirinya terlalu teledor dalam menghadapi masalah ini.
Kematian yang direkayasa sebagai kecelakaan itu ternyata memiliki celah yang cukup besar untuk bisa membuat hidupnya terbalik 90 derajat. Padahal Danta sudah yakin kalau dia telah menembak Erwin, membuat kecelakaan mobil Erwin sebersih mungkin, tapi Erwin masih hidup, bagaimana bisa?
Sadar dirinya sudah menghabiskan cukup banyak waktu hanya untuk berpikir dan meluapkan kekesalannya, Danta memanggil seseorang untuk masuk ke ruangan itu.
Seharusnya dia tidak membuang-buang waktu dan langsung menghampiri Zara sejak tadi. Namun, Danta tidak bisa berpikir jernih setelah mendapat telepon dari Erwin.
Dirinya sudah hidup tenang dengan kehidupan yang sempurna, tanpa penghalang, tanpa Erwin, tapi Erwin malah kembali tanpa aba-aba seperti ini, bagaimana Danta tidak naik darah?
Akan lebih baik kalau Danta pergi memeriksa Zara sekarang. Sebelum sesuatu terjadi.
Tunggu! Kenapa Danta harus mengkhawatirkan Zara sekarang? Yang harus waspada saat ini itu adalah dirinya sendiri. Erwin jelas tidak akan menyakiti Zara, sebaliknya, Erwin sedang mengincarnya. Tidak ada gunanya Danta memikirkan keadaan Zara.
Danta tidak tahu apa yang Erwin rencanakan, tapi setelah mengetahui ancaman di depan mata, Danta tidak mungkin diam saja. "Panggil Zeff dan Sanji. Suruh mereka menghadapku sekarang juga."
***
Hiruk pikuk Menteng sore itu membuat Erwin sekilas merasa seolah dirinya adalah patung hidup yang hanya bisa diam memerhatikan tanpa memiliki kemampuan untuk bergerak secepat yang lainnya. Seolah dunia berjalan terlalu cepat, meninggalkannya yang masih terdiam di tempat yang sama.
Namun, ini tidak seberapa ketimbang isi pikirannya yang serasa lebih ramai ketimbang pasar malam. Jika saja Erwin bisa mengeluarkan unek-unek dalam pikirannya lewat sebuah tulisan, maka Erwin mungkin akan menghabiskan 100 lembar kertas hanya untuk menuangkan betapa rumitnya pikiran yang timbul di otaknya.
Jika bukan untuk menemui orang yang menurutnya penting, Erwin tidak akan sudi pergi ke tempat umum seperti ini. Akan lebih baik melakukan pekerjaannya tanpa perlu bertemu dengan siapa pun. Karena ini sungguh merepotkan. Berada di tengah keramaian membuat tenaga Erwin seolah terkuras habis, padahal dirinya tidak melakukan apa pun.
Saat orang yang ditunggu akhirnya menginjakkan kaki di bagian entrance The Acre, Erwin mengangkat tangan agar orang itu lebih mudah menemukannya. Tidak heran kalau dirinya yang sudah duduk di jendela dengan pencahayaan lumayan terang sulit ditemukan di tengah lautan manusia yang tidak habis berlalu-lalang. Bukan karena keberadaannya kurang strategis, tapi lebih kepada bagaimana orang yang ditunggunya itu memerlukan waktu yang tidak sedikit hanya untuk sadar kalau sejak dirinya menampakkan batang hidung di pintu masuk, Erwin sudah menunjukkan bahwa dia ada.
Pria tua yang seluruh rambutnya sudah beruban itu berjalan perlahan menuju Erwin tanpa membuat ekspresi yang berarti. Tongkat kayu andalannya mengetuk lantai, selaras dengan langkah kakinya yang mulai ringkih.
Erwin hampir saja tergerak untuk membantunya berjalan, sampai dia sadar kalau pria tua itu sangat tidak suka diremehkan, dan membantunya dalam hal apa pun itu, akan dianggap tidak menyenangkan olehnya.
Jadi, Erwin dengan sabar menunggu pria tua itu menghampirinya. Walaupun sebenarnya, Erwin ingin mengangkat tubuh pria itu dan mendudukkannya di kursi yang sudah dia siapkan agar Erwin tidak perlu membuang-buang waktu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...