7 Unwilling To Accept The Truth

1.7K 67 0
                                    

Zara melongokkan kepala dari kaca pintu mobil, memperlihatkan wajahnya pada satpam yang berjaga di depan gerbang. Saat menyadari kalau pemilik mobil Countryman itu adalah Zara, penjaga langsung membukakan gerbang.

Zara masuk, memarkirkan mobilnya di pelataran rumah, langsung berjalan menuju pintu utama. Rumah bernuansa cokelat tua ini tetap saja membawa luka tersendiri baginya. Meski mengunjunginya berarti membangkitkan kenangan manis juga.

Kaki Zara berhenti di depan sebuah ruangan yang tertutup. Zara menarik napas dalam guna memantapkan hatinya, lalu, mengetuk pintu di hadapannya pelan. "Ayah, ini Zara."

Lama, Zara hanya menunggu di poros tempatnya berdiri tanpa mau memanggil atau sekadar mengetuk lagi. Sampai akhirnya, gagang pintu bergerak, dan daun pintu terbuka perlahan.

Saat pria berusia akhir kepala empat itu keluar, Zara menundukkan kepala. Meraih tangan ayahnya untuk ia cium.

"Zara." Riyan mengelus kepala Zara lembut. Kemudian, menuntun anaknya untuk pergi ke ruang tengah. "Kamu kabur," ucap Riyan begitu mereka duduk berdekatan di sofa.

Perkataan Riyan lebih terdengar seperti pernyataan ketimbang pertanyaan. Membuat kening Zara mengerut. "Ayah harus tahu kelakuan Mas Erwin."

Setelah segala larangan, bentakan, dan kelakuan kasarnya, Zara tidak habis pikir dengan tingkah Erwin malam ini. Zara tidak tahu Erwin bermimpi buruk atau apa sampai mencekik Zara sesaat setelah membuka mata. Zara mengerti itu mungkin tidak disengaja. Tapi, mengingat kejadian itu, mengingat bahwa Erwin bahkan ingin melukai Zara dengan pensil, Zara tidak bisa lagi memaklumi perbuatannya.

Riyan memandang putrinya dan tampak menghela napas pelan. "Kamu harus pulang. Nggak baik bagi seorang istri untuk pergi dari rumah tanpa izin suami."

Dahi Zara makin mengernyit. "Ayah nggak tahu kelakuan Mas Erwin. Dia ..."

"Dia suami kamu. Apa pun yang dia lakukan, kamu harus menerimanya karena kamu adalah istrinya. Ayah sudah tidak punya tanggung jawab atas dirimu. Suamimu yang memilikimu sekarang. Jadi, kalau ada masalah apa pun, bicarakan kepada suamimu." Riyan berdiri dari duduknya. "Pulang, Zara. Jangan sampai lelaki itu benar-benar mengusirmu dari hidupnya."

"Ayah." Zara mencekal tangan ayahnya. "Mas Erwin melakukan kekerasan. Mas Erwin bahkan ngusir Zara dari kamar. Apa benar bagi Zara untuk kembali pada orang yang bahkan hampir membunuh istrinya sendiri?"

Riyan menatap Zara lama. Lalu, memalingkan wajah. "Ini terakhir kali Ayah mengizinkanmu masuk. Untuk selanjutnya, Ayah tidak mau melihatmu menginjakkan kaki di rumah ini lagi," ucap Riyan, yang kemudian berjalan kembali ke kamar pribadinya.

Tubuh Zara melemas, dan tangannya mengalun di samping badan. Belum genap semua pemahamannya akan situasi, dua orang penjaga yang tidak asing di ingatan Zara, masuk. Menundukkan kepala di belakang perempuan itu.

"Kami akan mengantar Anda pulang, Nona Zara," kata salah satu pria bersetelan serba hitam itu. Zara jelas mengenal suaranya. Karena orang itu adalah pria yang dulu ditugaskan untuk menjadi pengawal pribadi Zara. Darren.

Zara memutar tubuhnya dan berjalan sembari berkata, "Aku akan pulang sendiri." Namun, Darren dan Ian menghadangnya.

Mata Zara kontan menatap mereka dengan tajam. "Minggir!"

"Maaf, Tuan ingin kami mengantar Anda sampai ke rumah suami Anda."

"Aku bilang aku akan pulang sendiri." Zara melewati dua pengawalnya itu. Namun, baru beberapa langkah, tangannya tiba-tiba dipegang dari kedua sisi. "Apa-apaan kalian?"

Darren dan Ian membawa Zara keluar. Memasukkan Zara ke dalam mobil. Zara duduk di kursinya dengan jengkel. Tidak percaya dengan perlakuan ayahnya yang tega memaksa dirinya seperti ini. Bahkan, Zara tidak diizinkan untuk pulang sendiri.

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang