36 Kabur, Lagi?

1.3K 49 0
                                    

H-2 sebelum acara ulang tahun Erwin.

Dari lalu-lalang yang melewatinya, Zara terpaku di tempat karena satu orang. Tubuh rentanya dibalut pakaian rumah sakit, rambutnya yang memutih tampak kusut, ada seseorang berjalan mendorong infus yang tersalur ke tangan kanannya.

Namun, bukan itu yang membuat Zara sampai meneteskan air mata, melainkan wajah penuh keriput yang sekarang nampak pucat pasi. Seolah menunjukkan seberapa besar sakit yang dia alami.

Zara memegang dada, sesak yang tidak tertahankan. Satu-satunya keluarga yang dia punya, ayahnya, berapa lama dia menyembunyikan rasa sakit itu? Zara adalah orang bodoh yang tidak peka.

Di sisi lain lorong, Riyan yang berjalan pelan bersama Darren tertegun melihat kehadiran Zara. Anak perempuannya itu berdiri lemas menatapnya dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. Entah sejak kapan.

***

"Ayahmu sakit, kanker stadium akhir." Itulah yang Danta katakan di kolam kemarin. Zara tidak bisa memercayainya, tapi dia membuktikan perkataan Danta sendiri hari ini.

Zara selalu mengira kalau ayahnya benar-benar menikahkannya dengan Erwin hanya demi uang. Ternyata selama ini Riyan khawatir tidak ada yang akan merawat Zara setelah dia tiada. Dia tidak mungkin menitipkan Zara pada anak buahnya atau keluarganya yang lain. Riyan malah takut kalau harta yang dia miliki sekarang akan diperebutkan oleh keluarganya nanti.

Jika sampai hal itu terjadi, maka Zara bisa berada dalam bahaya. Orang bisa melakukan apa pun demi mendapatkan apa yang dia inginkan.

Saat itu, Erwin datang padanya untuk mengambil alih sebuah rumah yang Riyan miliki. Rumah yang pria itu klaim sebagai rumahnya. Erwin rela melakukan apa pun demi mendapatkan rumah itu kembali.

Riyan tahu siapa Erwin. Anak dari pengusaha terkenal, Josef Sanders. Meski perangai yang tersebar di media luas tentangnya tidak terlalu baik, tapi Riyan tidak punya pilihan lain.

Tidak ada yang tahu bagaimana masa depan. Riyan berpikir Zara akan bisa mengubah Erwin, dan kehidupan keduanya akan menjadi lebih baik ketimbang membiarkan Zara hidup sendiri. Riyan membayangkan Zara akan hidup bahagia dengan Erwin dan keluarga kecilnya. Setidaknya, Zara tidak perlu memikirkan hal-hal seperti finansial, karena Erwin sudah cukup mapan.

Riyan mengelus kepala Zara dengan lembut. "Bangun, Zara." Perempuan itu sedari tadi duduk di lantai, menidurkan kepalanya pada pangkuan Riyan. Menangis tanpa suara.

Sudah lama sejak Zara kecil merintih dalam pangkuannya. Suara gadis itu selalu mampu membuatnya merasa bahagia, tangisnya selalu bisa menciptakan sayatan di hatinya.

Bukan tanpa alasan Riyan selalu membuat Zara kewalahan dengan tingkahnya yang superprotektif. Riyan hanya takut terjadi hal buruk kepada Zara, oleh karena itu dia sampai menempatkan dua anak buahnya di samping Zara saat anaknya itu masih sekolah.

Apalagi saat mengingat kalau penyakit Stephanie semakin hari semakin parah, dan di akhir hidup istrinya, Riyan baru menyadari kalau dia juga tidak kalah rapuh.

Tidak ada yang bisa diandalkan untuk menjaga Zara. Meski terlihat dewasa, Zara adalah anak gadis yang penakut. Selalu menutupi rasa takutnya dengan tingkah keras kepala dan sok kuat.

Zara butuh sandaran yang tepat. Entah mengapa, Riyan merasa Erwin adalah orangnya.

"Pikirkan keadaan bayi yang ada dalam kandunganmu." Riyan berusaha agar tangisan Zara tidak menciptakan air mata pada dirinya sendiri. Karena kalau sampai hal itu terjadi, Zara akan lebih sulit untuk melepaskannya nanti.

Zara menegakkan kepala. "Ayah tahu, Ayah tahu segalanya."

Air mata Zara dihapusnya. "Beritahu Erwin. Jangan membuat masalah lagi. Sudah cukup. Hidupmu sekarang bisa membaik."

"Tidak." Zara menggeleng tegas. "Apa yang Ayah harapkan dari pria itu? Dia akan membuangku, Ayah. Dia akan menggunakan anakku sebagai alat untuk mendapatkan apa yang dia inginkan."

"Erwin sudah berubah, dia tidak seburuk yang kamu pikirkan."

"Tidak seburuk yang kupikirkan?" Zara menginterupsi. "Membunuh kakaknya sendiri di usia sekecil itu, bagaimana Ayah bisa mengatakannya? Dia berusaha menghancurkan keluarganya sendiri, apa Ayah tahu? Dia adalah monster."

"Dia akan berubah, Zara. Ayah yakin."

"Ayah tidak mengerti ...."

"Zara, dengarkan Ayah." Riyan mengelus pipi putrinya dengan sebelah tangan. "Pulang dan beritahu Erwin tentang kehamilanmu. Semua akan baik-baik saja."

Tidak ada yang baik-baik saja. Bagaimana Ayah bisa berpikir kalau Mas Erwin akan berubah? Pria seperti itu tidak akan mungkin berubah.

Zara menangkup tangan ayahnya, memaksanya untuk tetap menempel padanya lebih lama. Kehangatan yang dia rindukan, rasa nyaman yang ia dambakan, Zara ingin hal itu tetap berada di dekatnya, jika bisa, selamanya.

Tuhan, jangan ambil dia, Zara merintih dalam hati. Hanya Ayah yang kumiliki.

***

"Saya antar Anda sampai rumah."

Zara tidak protes saat Ian mengikutinya keluar rumah sakit. Tenaganya sudah habis dimakan tangis, Zara lelah. Saat tubuhnya sudah duduk di dalam mobil pribadi ayahnya, Zara memasrahkan diri pada sandaran kursi. Matanya perih, tapi bahkan untuk tidur pun ia tidak mau.

Semuanya terasa salah sekarang. Zara takut ditinggal sendirian.

Zara mengingat perkataan Danta tempo hari, "Erwin yang telah membuat usaha ayahmu hampir hancur, Zara. Dia yang dengan sengaja ingin menjatuhkan ayahmu demi kepuasannya sendiri, karena ayahmu telah mempersulitnya untuk mendapatkan rumahnya kembali. Ke mana saja kamu selama ini? Kamu selalu saja tidak mengerti apa pun."

"Bergabunglah denganku dan balas semua perbuatan Erwin." Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya. Zara menghela napas. Ia mengeluarkan ponsel dan mengetikkan pesan, "Aku berhasil kabur."

Tidak butuh waktu lama, dia segera mendapat balasan atas pesan yang dikirimnya.

Sebuah pesan menyuruhnya untuk pergi ke suatu tempat. Zara segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Jika dia memang memiliki pilihan lain selain berpasrah pada Erwin, maka Zara akan memilihnya.

"Aku ingin mampir ke toserba." Zara mengatakannya pada Ian. Namun, pria itu tidak menjawab, bahkan tidak menoleh sama sekali, atau setidaknya berniat untuk melihat Zara dari spion tengah.

"Ian, aku ingin mampir ke toserba." Masih tidak ada jawaban.

"Cristian!"

"Maaf, Nona. Tidak ada pengawal di samping Anda, itu artinya Anda kabur. Saya diperintah untuk mengantarkan Anda langsung ke rumah. Sendirian di luar sangat berbahaya."

Sudah Zara duga. Ketidakhadiran Sanji di sampingnya memang patut dicurigai. Zara mati-matian sembunyi dan lari darinya, sekarang Zara harus terjebak bersama Ian.

Jika seperti ini, maka Zara tidak akan bisa bertemu dengan Danta.

***

Karena draft yang numpuk-numpuk, aku sampai salah publish. Harusnya hari ini publish part 36. Jadi, yang 37 aku hapus dulu.

Untung ada MarliantiMbo yang sudah berkenan mengingatkan. Thank you so much MarliantiMbo. Big hug buatmu

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang