Hal pertama yang Zara sadari setelah membuka mata adalah dirinya tidak lagi terbaring di kasur kamar Erwin, melainkan sebuah brankar berselimut putih yang cukup nyaman. Cahaya matahari dari jendela kaca yang tirainya tidak ditutup itu menampakkan siluet seseorang yang tengah berdiri terdiam menatap keluar. Tidak ada orang lain di ruangan itu membuat keberadaannya begitu menonjol. Seolah ia telah berdiri di sana begitu lama dan tidak bergerak barang seinci pun.
Pening membuat Zara mengaduh hingga membuyarkan lamunan Erwin. Ketika Zara berusaha untuk bangun, Erwin malah mendorongnya untuk kembali tertidur. Zara belum pulih sepenuhnya, katanya.
Sepertinya perkataan Erwin benar, Zara merasa lemas sekali. Pusing di kepalanya juga tidak bisa dia abaikan begitu saja.
Erwin duduk di kursi yang berada di sebelah brankar. Mengelus dahi Zara, pelan dan penuh kesabaran. Menghipnotis Zara untuk kembali menutup mata. "Istirahat saja. Nanti kubangunkan saat dokter datang," katanya.
Tanpa sadar, Zara kembali terlelap. Erwin mencium keningnya dan beranjak keluar kamar. Mendapati Sanji telah berdiri menunggunya. "Biarkan Zara istirahat. Jaga dia, aku akan ke kantor dengan Zeff."
Sanji mengangguk, tapi ia segera teringat akan sesuatu, "Soal kehamilan Nona Zara?"
"Bersikap seolah-olah kita tidak tahu apa pun. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Zara. Jangan sampai pikirannya terbebani." Erwin menghela napas pelan. Masih tidak habis pikir dengan apa yang sebenarnya Zara inginkan di balik keputusan untuk menyembunyikan kehamilannya.
Namun, Erwin juga sadar kalau Zara adalah orang yang keras kepala dan suka bertingkah seenaknya. Pasti ada sesuatu yang Zara sembunyikan. "Jangan biarkan siapa pun mengunjungi Zara."
"Baiklah."
***
"Zara hamil."
Ponselnya turun dari samping telinga, masih berada di dalam genggaman, hanya saja, kali ini tercengkeram lebih kuat. Danta tertawa keras, sangat keras sampai seisi rumah yang tadinya lengang itu kini menggemakan suara tawanya.
Para pelayan yang berdiri di samping meja makan sampai merinding. Seperti mendengar suara tawa dari sosok yang mengerikan dan kejam.
Untung Danta masih bisa berpikir jernih hingga tidak berbuat nekat dengan menghancurkan seluruh benda dan makanan yang tersedia di depannya.
Toh, Danta tidak mau melihat lantai rumahnya kotor. Sarapan pagi ini juga adalah menu kesukaannya, Danta masih waras hingga tidak akan membuang-buang masakan spesial yang dimasak langsung oleh ibunya itu.
Danta meletakkan ponselnya ke atas meja dan menghabiskan sarapannya dengan tenang. Mengabaikan suara gedoran pintu dan teriakan seseorang yang meminta untuk dibiarkan keluar, dilepaskan.
Sepertinya Danta harus kembali menyuntik pemilik suara itu dengan obat bius agar dia diam seperti sebelumnya. Agar rumahnya kembali tenang.
***
Devi baru saja selesai mengaduk cokelat hangatnya ketika Gio datang ke ruang makan dan langsung duduk di salah satu kursi sambil menghela napas, menyenderkan kepalanya dan tampak sangat lelah.
Pakaiannya lusuh dan basah. Pantas saja, karena di luar sedang gerimis, tapi seharusnya Gio tidak kehujanan karena dia membawa mobil. Entah apa yang terjadi kepada pria itu.
Cukup lama, Devi membiarkan waktu diisi dengan keheningan. Menanti Gio untuk mengatakan sesuatu atas inisiatifnya sendiri. Karena jujur saja, Devi sedang tidak berselera mengulik apa pun dari suaminya itu sekarang.
Setelah menghela napas sekali lagi, dalam posisi kepala masih menengadah di atas sandaran kursi dan mata terpejam, akhirnya Gio membuka mulut, "Erwin menuduhku sebagai orang yang telah memberi Zara minuman keras."
Devi hanya mengangguk, menyesap cokelat dalam mug hitamnya dan tampak puas dengan sensasi manis serta hangat yang membuatnya cukup nyaman di cuaca yang tidak menentu ini. Pagi hari sampai siang tadi begitu panas, sementara sore hari mendung membedaki langit, lalu berubah menjadi hujan angin yang cukup lebat. Terkadang berganti gerimis berkepanjangan.
"Aku sungguh tidak tahu apa pun. Zara terlihat mabuk bahkan sebelum aku menyadari keberadaannya di dapur." Jika saja Gio tidak lewat dapur waktu itu dan tidak melihat Zara berjalan sempoyongan, Gio bahkan tidak akan tahu kalau gadis itu masih terjaga.
"Sudahlah, jangan pikirkan soal hal itu." Devi akhinya meletakkan mugnya ke atas meja. "Daripada memikirkan hal tidak penting, aku punya kabar buruk."
"Apa?"
"Zara hamil."
"Apa?" Gio sontak mengerutkan kening. Memiringkan kepalanya dengan wajah tidak percaya. Dia baru saja pulang dari rumah sakit setelah menunggui Zara sejak semalam, tapi tidak tahu-menahu soal keadaan Zara selain bahwa Zara tidak sengaja menelan obat tidur yang tercampur dalam minumannya. Karena itulah perempuan itu pingsan cukup lama.
"Habislah kita sekarang. Erwin akan mendapatkan semua harta ayahmu."
Gio tersenyum mendengus melihat bagaimana Devi mengatakan semua itu tanpa ekspresi yang berarti, seolah apa yang dia katakan itu sama sekali tidak penting baginya. Seolah hal itu tidak memengaruhinya sama sekali.
"Tidak juga." Gio bangkit dari kursinya dan berjalan ke belakang Devi. Memegang sebelah bahu istrinya itu. "Tidak ada yang bisa memastikan apakah anak itu akan lahir atau tidak." Ia menekankan suaranya, "toh, kakakmu pasti tidak akan membiarkan Erwin hidup tenang begitu saja."
Devi setuju dengan perkataan Gio. Danta memang tidak akan pernah membiarkan Erwin hidup tenang, Danta pasti akan melakukan sesuatu.
Dengan senyuman, Devi menggeser tangan suaminya itu untuk menjauh. Bangkit dari kursi dan berjalan ke arah wastafel. Menaruh cangkirnya di dalam sana sembari berkata, "Aku lupa mengatakan kalau kakakku ingin menemuimu sore nanti."
Devi menoleh ke arah Gio yang juga sedang memperhatikannya. Perempuan itu tersenyum dan berkata, "kakakku ingin adik iparnya ikut bergerak alih-alih hanya memperhatikan dan menunggu keberuntungan."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...