Angin menyapu lapangan golf yang terbentang luas, membawa aroma segar rumput yang dipotong rapi. Matahari meninggi terlalu cepat, menyombongkan sinarnya dengan panas yang menyengat. Erwin berdiri dengan mantap di atas tee, matanya fokus pada bola putih yang diletakkan di atasnya.
Pepohonan rindang memberikan bayangan sejuk. Keberadaan danau di samping lapangan membuat suasana terasa damai.
Erwin memantapkan pijakan, merapatkan bibir, berkonsentrasi. Penuh kehati-hatian, dipegangnya erat grip tongkat golf. Erwin memulai backswing-nya.
Hening menyelimuti lapangan, dan hanya desiran angin yang bersahut-sahutan. Seperti serangkaian gerakan tari yang indah, tongkat itu menyambar udara, menyentuh bola dengan presisi.
Bola meluncur, membentuk lengkungan di udara. Seakan terbang melintasi langit, bola itu melayang melewati hutan pinus dan merintis jalan menuju green yang terletak di kejauhan. Suara 'plonk' samar terdengar ketika bola mendarat dengan lembut di tengah lapangan hijau yang indah.
Erwin menghela napas lega, senyum tipis menghiasi wajahnya. Bersua dengan hal yang dicintainya setelah sekian lama membuat hatinya seakan dipenuhi oleh taburan bunga. Menciptakan hamparan warna-warna yang memikat nan memesona.
Senyum yang terukir di wajahnya begitu hangat dan tulus. Sama seperti indahnya rintik hujan di kala sore yang cerah, dan itu mengejutkan Zara.
Ternyata Erwin bisa juga berekspresi.
***
Setelah sekian lama berjibaku di bawah teriknya matahari, resto dekat lokasi mereka bermain golf menjadi tempat persinggahan. Erwin berkali-kali mengelus punggung Zara dengan bangga, karena dia sama sekali tidak menyangka kalau Zara lumayan mahir bermain golf, meski skill-nya tidak bisa dibandingkan dengan Danta atau Erwin sendiri. Namun, hasilnya lumayan. Jadi, Erwin juga merasa senang.
"Kita harus bermain golf berdua suatu hari nanti," bisiknya, tepat di samping telinga Zara. Embus napas yang hangat menerpa cuping, sempat membuat Zara bergidik.
Erwin hari ini berbeda dengan Erwin yang dia kenal, Erwin yang penuh kepalsuan. Senyum yang terukir di wajahnya sedari tadi begitu hangat, dan tulus.
Entah karena permainan golf atau sesuatu yang lain.
"Karena aku kalah, maka aku yang akan mentraktir kalian makan." Danta menggaruk tengkuk. "Padahal dulu aku sering mengalahkanmu, mungkin karena jarang bermain, jadi skill-ku sedikit melemah."
Celetukan Danta membuat Zara mengernyit heran, tapi dia tidak mau bertanya. Toh, Erwin pasti tidak akan mengatakan padanya, apa hubungannya dengan Danta? Sejak kapan mereka saling mengenal? Kenapa atmosfer di antara keduanya selalu menegangkan? Kemudian, soal Danta yang memberitahu Zara segala kebenaran yang selama ini Erwin sembunyikan ... dari mana pria itu tahu akan fakta yang Zara sendiri bahkan tidak pernah menyangkanya?
Dua orang itu membuat Zara merasa bodoh.
"Erwin juga jarang bermain golf. Akhir-akhir ini dia sibuk sekali. Bahkan, memilih untuk tinggal di tempat lain, ketimbang di rumah sendiri." Devi memasukkan potongan steik ke dalam mulut. "Kita harus sering keluar bersama seperti ini. Aku mulai bosan pergi ke kantor."
"Kau bisa berhenti bekerja kapan pun. Gio tidak menyuruhmu untuk tetap bekerja, 'kan?" tanya Danta, memotong daging steik di piringnya dengan khidmat.
"Gio tidak mungkin menyuruhku untuk bekerja. Hanya saja, diam di rumah seharian sangat membosankan. Tidak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara."
"Sekarang Zara sudah kembali ke rumah." Tatapannya melurus, dan bibirnya mengukirkan senyum tipis yang selalu berhasil membuat Zara merasa kebingungan. Entah arti senyum itu baik atau malah sebaliknya. "Kalian akan tinggal di rumah sampai acara ulang tahun Erwin dilaksanakan, bukan?"
Danta selalu tahu segala hal, seolah bisa membaca pikiran orang lain.
"Oh, ya, ulang tahun. Hadiah apa yang kau inginkan, Erwin?" sambil menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja, Danta menatap Erwin yang duduk di depan Devi. "Bagaimanapun juga, kau adalah temanku, jadi aku akan memberikanmu hadiah yang spesial."
"Tidak perlu." Erwin menginterupsi. "Toh, sebelum acara sialan itu diadakan, kau sudah harus keluar dari rumah Josef Sanders."
"Eeh?" Danta mengerutkan kening.
Erwin tersenyum mendengus. "Kau tidak berpikir akan menginap di rumah orang lain selamanya, 'kan? Dasar tidak tahu malu."
Suara gelas yang diletakkan di meja dengan cukup keras membuat suasana yang sudah tegang, jadi semakin tidak nyaman. "Bersikap sopanlah kepada tamu, Adik Ipar. Kakakku yang tampan ini tetap akan tinggal di rumah ayah mertuaku selagi aku belum mendapat jawaban atas rekomendasiku untuk memberinya jabatan di perusahaanmu."
Gelak tawa keluar dari mulut Erwin dengan aura yang mempu membuat siapa pun bergidik. "Jadi begitu? Pantas saja seluruh penghuni rumah itu bersikap aneh, seolah aku adalah anak emas mereka dengan memperlakukan istriku sebaik mungkin. Sebenarnya aku sudah curiga sedari awal. Kalian semua bersekongkol." Erwin menunjuk Devi dan Danta secara bergantian. "Kalian semua sama saja, sampah!"
Tangan Zara digamit di bawah meja. "Ayo pulang, makan bersama orang-orang munafik membuatku tidak berselera," ajaknya. Zara ditarik pergi begitu saja.
Sementara Erwin dan Zara menjauh, Danta menjatuhkan punggung ke sandaran sofa, lalu menghela napas. Terlihat lelah. Permainan tadi membuatnya berkeringat dan panas terik juga membuatnya sedikit pusing. Lalu, melihat yang terjadi barusan ... Erwin masih saja bersikap seolah Danta adalah musuh yang harus diberantasnya.
"Kau lihat itu? Apa mungkin Erwin benar-benar peduli pada Zara?" Devi bertanya heran.
Ada lima detik hening sebelum Danta akhirnya tersenyum lebar sembari berkata, "Mungkin saja." Sangat mustahil melihat Erwin menaruh perasaan terhadap orang lain saat tatapan mata yang dia tujukan pada Danta masih sama seperti delapan tahun lalu. Semua amarah yang meruak darinya masih menggetarkan hati Danta.
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" Devi menoleh ke arah kakaknya. Mengalihkan perhatian sepenuhnya dari santap siangnya.
Senyum itu makin melebar. Dengan kepala memiring dan mata terpejam, Danta menjawab, "Boleh kupinjam suamimu untuk mementaskan sebuah drama?"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
Chick-LitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...