8 Asisten Pribadi

2K 77 0
                                    


Pagi hari dijalani Zara seperti biasa. Sarapan di ruang makan bersama seluruh anggota keluarga. Lalu, kembali ke kamar. Merebahkan diri di kasur Erwin dan menutupi seluruh tubuh sampai batas pundak, dengan selimut.

Erwin berdiri di dekat kaki ranjang. Memakai setelan kantornya. Mengamati Zara tanpa berniat mengatakan apa pun. Memang tidak ada lagi yang perlu dia katakan. Semuanya sudah jelas. Zara juga sepertinya sudah paham dan berhenti menyangkal kebenaran.

Setelah berpakaian rapi, Erwin keluar dari kamar. Erwin mewanti Sanji untuk tidak beranjak dari depan pintu sedikitpun. Sampai dirinya pulang. Sudah jelas Erwin tidak mau mempercayai Zara sama sekali. Perempuan itu berani kabur darinya, di hadapannya. Tidak mustahil dia akan mencoba kabur kembali.

Sementara Erwin turun ke lantai dasar, Zara di dalam kamar menenggelamkan sebelah pipinya ke bantal. Matanya berat sekali untuk sekadar membuka. Mungkin karena menangis semalaman. Tadi pagi matanya bengkak. Zara sempat mengompresnya dengan es sebelum anggota keluarganya bangun.

Kamar bergaya industrialis berdominasi warna gelap ini memiliki aircon yang disetel tidak terlalu dingin ... sejuk, sangat nyaman untuk tidur, meski di pagi hari begini, cuaca di luar sana sudah membuat badan berkeringat.

Hari yang cerah untuk berjalan di sekitaran kompleks. Tapi, Zara bahkan tidak punya kekuatan untuk sekadar bangkit dari ranjang.

***

"Ini berkas untuk proyek di Surabaya. Untuk pengecekan tempatnya, saya sudah minta ke Zeff buat berangkat sekitar tiga hari lagi."

Shakira, sekretaris Erwin, memberikan map bersampul warna cokelat ke atas meja bosnya.

Erwin membuka map itu sekilas dan menurunkan kacamata dari pangkal hidungnya. "Schedule saya sabtu ini penuh?"

Perempuan ber-rok span pendek dengan kemeja putih gading itu mengecek notes kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana. "Enggak, hanya ada rapat dengan klien, sekitar jam sembilan pagi." Shakira menutup notes-nya dan memperhatikan bosnya dengan dahi mengerut. "Bapak sendiri yang mau ngecek proyek di Surabaya?"

Setahunya, setelah menikah, Erwin bahkan tidak mau keluar Jakarta. Surabaya tidak dekat, loh. Waktu ada proyek pembangunan di Bandung saja, bosnya itu, tanpa pikir panjang langsung menyuruh bawahannya.

"Nanti saya pertimbangan lagi. Ini proyek yang lumayan besar, 'kan?"

Shakira mengangguk. "More porfitable than proyek yang ada di Bandung kemarin."

"Oke, kamu boleh pergi."

Setelah pintu ruangannya tertutup, Erwin menjatuhkan badan ke sandaran kursi. Berputar menghadap jendela dengan pemandangan gedung-gedung, jalanan, juga langit yang tampak makin menggelap. Sore menggeser siang menjadi malam lebih cepat dari biasanya.

Pantas saja badannya terasa pegal, dan kepalanya pusing, beradu dengan layar laptop seharian penuh. Erwin tidak sadar kalau hari berjalan begitu cepat karena dia bahkan tidak beranjak dari kursi untuk istirahat makan siang. Pekerjaannya terlalu banyak. Menumpuk di mejanya seperti sekumpulan kupu-kupu yang menanti untuk dicumbu, satu per satu.

Tangannya sudah kenyang menorehkan tanda tangan dan menekan-nekan tuts. Erwin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 6 lebih. Masih ada beberapa jam lagi sebelum jam pulang.

Erwin mengambil ponselnya dari atas meja. Men-dial nomor Zeff. "Reservasi resto dekat sini. Dua puluh menit lagi kita pergi," ujarnya, langsung mematikan sambungan telepon begitu Zeff mengiakan perintahnya.

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang